Pages

Rabu, 29 Desember 2010

Rukun Dan Syarat Aqad Murabahah dan Ijarah Muntahiya Bi Al-Tamlik

A. Rukun dan Syarat Aqad Murabahah dan Ijarah Muntahiya Bi Al-Tamlik
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat suatu rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah “yang harus dipenuhi utnuk sahnya suatu pekerjaan” , sedangkan syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan”. Dalam syariat, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan atau tidaknya sesuatu itu” . Definisi syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.
Perbadaan antara rukun dan syarat menurut ulama Ushul Fiqh bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri. Sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum tapi ia berada diluar hukum itu sendiri.
Mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun aqad dalam Hukum Islam, terdapat beraneka ragam pendapat dikalangan para ahli fiqh. Dikalangan mazhab Hanafi bahwa rukun aqad hanya sighat al-‘aqad, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat aqad adalah al-‘aqidain (subyek aqad) dan mahallul-‘aqd (obyek aqad). Alasannya adalah al-‘aqidanin dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum aqad). Kedua hal tersebut berbeda diluar perbuatan aqad. Berbeda halnya dengan pendapa dari kalangan Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun aqad karena hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya aqad.
1. Rukun dan Syarat Murabah
Dari segi hukumnya bertransaksi dengan menggunakan sistem murabahah adalah suatu hal yang dibenarkan dalam Islam. Keabsahannya juga bergantung pada syarat-syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Adapun rukun jual beli murabahah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah:
1) Penjual (ba’i), yaitu pihak yang memiliki barang untuk dijual atau pihak yang ingin menjual barangnya. Dalam transaksi pembiayaan murabahah di perbankan syariah merupakan pihak penjual.
2) Pembeli (musytari) yaitu pihak yang membutuhkan dan ingin membeli barang dari penjual, dalam pembiayaan murabahah nasabah merupakan pihak pembeli.
3) Barang/objek (mabi’) yaitu barang yang diperjual belikan. Barang tersebut harus sudah dimiliki oleh penjual sebelum dijual kepada pembeli, atau penjual menyanggupi untuk mengadakan barang yang diinginkan pembeli.
4) Harga (tsaman). Harga yang disepakati harus jelas jumlahnya dan jika dibayar secara hutang maka harus jelas waktu pembayaranya.
5) Ijab qabul (sighat) sebagai indikator saling ridha antara kedua pihak (penjual dan pembeli) untuk melakukan transaksi.
Dalam penentuan rukun jual beli, terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari penjual) dan Kabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka yang mejadi rukun jual beli hanyalah kerelaan kedua belah pihak melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsure kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindera sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli, menurut mereka boleh tergambar dalam dan Kabul atau melalui cara saling memberikan barang dengan barang. Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad barang yang dibeli dan nilai tukar barang, termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Sedangkan syarat untuk jual beli bai’ al- murabahah menurut Syafi’I Antonio adalah sebagai berikut.
1) Penjual member tahu biaya modal kepada nasabah.
2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3) Kontrak harus bebas dari riba
4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembeli, misalnya jika pembeli dilakukan secara utang.
Secara prinsib, jika syarat dalam (1), (4), atau (5) tidak terpenuhi, pembeli memiliki pilihan.
a. Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
b. Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual.
c. Membatalkan kontrak.
Jual beli secara murabahah di atas hanya untuk barang atau produk yang telah dikuasai atau dimiliki penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak.
Adapun syarat yang ditetapkan Bank Aceh Syariah dalam pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut.
a. Pihak aqad sama-sama iklas, mempunyai kekuasaan melakukan jual beli.
b. Barang atau objek
1. Barangnya ada
2. Barangnya milik sah dari penjual
3. Tidak termasuk kategori yang diharamkan
4. Barang tersebut sesuai dengan pernyataan penjual
c. Harga
1. Harga jual bank adalah harga beli ditambah margin
2. Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian
3. System pembayaran dan jangka waktu disepakati bersama.

2.

Rukun dan Syarat Ijarah Muntahiya Bi Al- Tamlik
Dalam aqad ijarah mempunyai rukun dan syarat serta objek yang harus dipenuhi oleh kedua pihak agar aqad tersebut menjadi sah.
a. Rukun Ijarah, rukun ijarah di antaranya adalah :
1. Mu’jar (orang/pihak yang diupah/ disewa).
2. Mustajir (orang yang menyewa/ mengupah).
3. Shighab (ijab dan qabul)
4. Upah dan manfaat
5. Mu’ajir (pemilik barang)
6. Manfaat sewa.
Sunarto Zulkifli dalam bukunnya penduan praktis transaksi perbankan syariah menjelaskan bahwa manfaat sewa termasuk dalam rukun ijarah, sedangkan Andiwarman A Karim tidak menyebutkan manfaat dalam rukun sewa, karena dalam melakukan aqad sewa secara otomatis manfaat terhadap barang sewaan menjadi bagian dari rukun ijarah.
b. Syarat ijarah, syarat-syarat ijarah di antaranya adalah :
1. Mu’jar dan munstajir baligh dan berakal
2. Mustajir harus benar-benar memiliki barang yang disewakan itu atau mendapatkan wilayah untuk menyewakan barang itu.
3. Kedua belah pihak harus sama ridha dalam menjalakan aqad.
4. Manfaat yang disewakan harus jelas, keadaanya maupn lama masa penyewaan sehingga tidak menimbulkan persengketaan.
5. Manfaat atau imbalan sewa harus dapat dipenuhi secara syar’i, misalnya : tidak boleh menyewakan mobil yang dicuri atau perempuan haid untuk menyapu mesjid.
6. Manfaat yang dinikmati sewa harus halal dan mubah karena adanya kaidah : menyewakan sesuatu untuk kemaksiatan haram hukumnya.
7. Pekerjaan yang diupahkannya itu bukan kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang diupahkan sebelum terjadinya aqad, seperti : menyewa orang untuk melakukan shalat.
8. Upah harus secara syar’i dan bernilai.
9. Barang yang disewakan tidak cacat yang dapat merugikan pihak penyewa dan orang lain.
c. Objek ijarah, ketentuan objek ijarah adalah:
1. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang atau jasa.
2. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3. Pemenuhan menfaat harus yang bersifat dibolehkan.
4. Kesanggupan memenuhi harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5. Manfaat harus dikenali secara spesifik untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifik manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Biasa juga dikenal dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syari’ah sebagai pembayaran menfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
8. Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan).
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Ketiga poin di atas sangat jelas bahwa sebelum melakukan transaksi ijarah maupun ijarah muntahiya bi tamlik harus terpenuhi semua rukun dan syarat tersebut agar aqad ini menjadi sah. Selain itu objek yang disewakan juga harus jelas dan juka ada kriteria terhadap barang tertentu harus disebutkan dalam aqad tersebut agar tidak terjadi perselisihan.
Dalam menjelaskan aqad ijarah maupun ijarah muntahiya bi al tamlik kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditunaikan selama pelaksanaan aqad ini hingga mencapai tujuan aqad tersebut.
Orang yang beraqad mempunyai hak dan kewajiban, termasuk bagi yang melakukan aqad ijaran muntahiya bi al tamlik. Hak dan kewajiban adalah dua sisi yang paling bertimpal balik dalam suatu transaksi. Hak salah satu pihak merupakan kewajiaban bagi pihak lain, begitu pun sebaliknya, kewajiban salah satu pihak menjadi hak bagi pihak lain. Kedua saling berhadapan dan diakui dalan hukum islam. Dalam hukum islam, hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat, atau pada keduanya, yang diakui oleh syara’. Berhadapan dengan dengan hak seseorang terdapat kewajiban orang lain untuk menghormatinya.
Hak dan kewajiban pemberi sewa atau pemberi jasa dan penyewa atau pengguna jasa menurut Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang aqad-aqad yang digunakan dalam penerbitan efek Syari’ah adalah:
1) Hak dan kewajiban pemberi sewa atau pemberi jasa adalah
a) Menerima pembayaran harga sewa atau upah (ujrah) sesuai yang disepakati dalam ijarah;
b) Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan;
c) Menanggung biaya pemeliharaan barang yang disewakan;
d) Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan;
e) Bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewakan yang bukan disebabkan oleh pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan atau bukan karena kelalaian pihak penyewa;dan
f) Menyatakan secara tertulis bahwa pemberi sewa atau jasa menyerahkan hak penggunaan atau pemanfaatan atau suatu barang dan atau memberikan jasa yang dimilikinya kepada penyewa atau pengguna jasa (pernyataan ijab).
2) Hak dan kewajiban penyewa atau pengguna jasa adalah:
a) Memanfaatkan barang dan atau jasa sesuai yang disepakati dalam ijarah;
b) Membayar sewa harga sewa atau upah (ujrah) sesuai yang disepakati dalam ijarah;
c) Bertanggung jawab untuk menjaga ketentuan barang serta menggunakanya sesuai yang disepakati dalam ijarah;
d) Menanggung biaya pemeliharan barang yang sifatnya ringan (tidak material) sesuai yang disepakati dalam ijarah;
e) Bertanggung jawab atas kekurangan barang yang disewakan yang disebabkan oleh pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan dan atau karena kelalaian pihak penyewa
f) Menyatakan secara tertulis bahwa penyewa atau penerima jasa menerima hak penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang atau pemberian jasa yang dimiliki pemberi sewa atau pemberi jasa (pernyataan qabul).

Pengertian dan Landasan Hukum Aqad Murabahah

A. Pengertian Aqad Murabahah
Murabahah berasal dari kata ribhun yang artinya keuntungan. Murabahah adalah aqad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembelik. Margin keuntungan merupakan selisih harga jual dikurangi harga asal yang merupakan pendapatan atau keuntungan bagi penjual. Penyerahan barang dalam jual beli murabahah dilakukan pada saat transaksi, sementara pembayarannya dilakukan secara tunai, tangguhan dan cicilan.
Menurut Syyid Sabiq, murabahah adalah penjualan dengan harga pembelian barang berikut untung yang diketahui. Wahbah Zuhaili mendifinisikan murabahah sebagai jual beli dengan harga asal ditambah keuntungan yang disepakati antara pihak-pihak yang berakad (penjual dan pembeli). Penjual juga harus memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang berikut keuntungan yang ingin diperoleh. Jumhur ulama sepakat bahwa murabahah ialah transaksi jual beli antara penjual dan pembeli dimana penjual menyebutkan harga pembelian dan ia mensyaratkan laba dalam jumlah tertentu. Ibnu Qadamah dalam kitab al-Mughni mendifinisikan murabahah sebagai jual beli dengan harga pokok dan jumlah keuntungan yang diketahui.
Pada perbankan syari’ah jual beli yang paling sering digunakan adalah jual beli yang memakai murabahah. Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjual kembali dengan keuntungan tertentu berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20%. Aqad murabahah ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contract, karena dalam murabahah ditentukan beberapa required rate of profit-nya (keuntungan yang ingin di peroleh) .
Berdasarkan pengertian dari beberapa pakar dan di lihat dari gambaran implementasi murabahah diperbankan maka penulis dapat menyimpulakan bahwasanya murabahah adalah suatu transaksi jual beli dengan keuntungan (laba) yang diketahui (transparansi) antara pembeli dan penjual, di mana pihak bank sebagai penjual bekerjasama dengan supplier sebagai perantara yang menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah sebagai pembeli. Harga jual yang ditetapkan adalah harga beli bank dari supplier atau pemasuk dengan penambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak yaitu harga jual yang sudah termasuk margin keuntungan yang diperoleh dan jangka waktu pembayaran dengan menuliskannya di dalam aqad perjanjian jual beli. Praktek murabahah pada perbankan selalu dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (Bai’u Bithaman Ajil) di mana dalam transaksi ini barang diserahkan setelah aqad, sedangkan pembayaran dilakukan secara angsuran, atau tangguhan. Dalam jual beli murabahah ini adanya “Keuntungan yang disepakati” yang mana penjual harus memberitahukan pembeli tentang harga beli barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada pembiayaan tersebut.
Murabahah akan sangat berguna sama sekali bagi seseorang yang membutuhkan barang secar mendesak tetapi kekurangan dana pada saat itu ia anggab kekurangan likuiditas. Ia meminta pada bank agar membiayai pembeli barang tersebut dan bersedia menebusnya pada saat diterima. Harga jual pada pemesanan adalah harga beli pokok plus margin keuntungan yang telah disepakati.
B. Landasan Hukum Aqad Murabahah
Para ulama fiqh telah banyak membahas bentuk-bentuk aqad jual beli dalam bermu’amalah meskipun demikian, dari sekian banyak bentuk-bentuk aqad jual beli tersebut, ada tiga jenis bentuk aqad jual beli yang perlu dilakukan dan dikembangkan pada zaman Rasulullah dan Sahabat sebagai sandaran pokok dalam investasi dan pembayaran model kerja dalam bermuamalah dan aqad ini masih terus dikembangkan dalam penerapan perbankan syaria’ah saat ini, yaitu bai’as-salam , bai’ al-istishna dan bai’ al-murabahah.
Secara umum para pakar ekonomi perbankkan syari’ah berpendapat bahwa membolehkan jual beli murabahah sebagai transaksi pembiayaan dalam perbankan, dalam hal ini mereka berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits. Adapun penulis penulis tidak menemukan secara khusus ayat Al-Qur’an ataupun hadits yang membahas tentang murabahah tersebut. Yang lebih banyak ditemukan adalah ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai jual beli secara umum, seperti secara umum dibahas tentang dibolehkannya jual beli yaitu pada Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 berbunyi :
و ا حل ا لله ا لبيع و حر م ا لر با....( البقراة :٢٧٥)

Artinya : “dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riab”. (QS. Al-Baqarah: 275).
Dari ayat di atas diterangkan bahwa al-bai’ yang artinya jual beli disamakan dengan murabahah, para ulama mengartikannya sebagai penjualan barang sebagai biaya atau harga pokok barang tersebut. Dan apabila transaksi yang dilakukan oleh penjualan dan pembelian tidak disepakati bersama, ini sudah termasuk riba. Maka dapat disimpulkan bahwa murabahah yang dilakukan adalah suatu pembelian suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Adapun Hadits yang digunakan sebagai landasan Bai’ murabahah adalah hadits riwayat Al-Bazar dan Al-Hakim sebagai berikut :
عن ر فع ا بن خد يج ق ل : قيل يا ر سو ل ا لله أ ي ا لكسب أ طيب ؟ قا ل : عمل ا لر جل بيد ه و كل بيع مبر و ر (ر و ا ه ا لبنر ا ر و ا لحا كم)
Artinya : “Dari Rafi’ Bin Khudaij ia berkata : Rasulullah pernah ditanya “ya Rasulullah pekerjaan apa yang paling baik ?” Rasulullah menjawab : “usaha dengan tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”. (HR. Al-Bazar dan Al-Hakim).
Hadits di atas menjunjukan jual beli dan perniagaan selalu dihubungkan dengan hal-hal makruh dan halal, artinya jual beli yang jujur tanpa diiringi dengan kecurangan-kecurangan dan semua transaksi jual beli yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits (tidak terdapat unsut kebajikan) tidaklah dibolehkan atau diharamkan karena termasuk riba.
Dari ayat dan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum jual beli murabahah dalam Islam adalah boleh, yang mana dalam implementasi perbankan syariah’ah dilakukan antara penjual (bank) dan pembeli (nasabah) berdasarkan harga barang yaitu harga asli pembelian di mana pembeli harus diberi tahu oleh penjual akan keuntungan terhadap barang yang dijual (salah satu cara terhindar riba).
Hal ini juga berdasarkan pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 04 / DSN – MUI / IV / 2000, dalam fatwa tersebut disebutkan ketentuan umum mengenai murabahah, yaitu :
1) Bank dan nasabah harus melakukan aqad murabahah yang bebas riba.
2) Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syari’at Islam.
3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang talh disepakati kualifikasinya.
4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bak sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada basabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga plus keuntunganya. Dalam kaitan ini bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7) Nasabah membayar harga barang yang talah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang talah disepakati.
8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan aqad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, aqad jual beli murabahah harus dilakukan setalah barang, secara prinsip menjadi milik bank.
Ketentuan umum murababah dalam fatwa di atas dengan jelas menyebutkan bahwa aqad murabahah yang dilakukan harus bebas riba dan objeknya murabahab bukan barang yang diharamkan serta milik bank secara utuh. Bank harus menyampaikan kepada nasabah harga pokok pembelian dan keuntungan yang ingin diperoleh termasuk cara dan jangka waktu pembayaran jika dilakukan secara cicilan. Transaksi murabahah antara bank dan nasabah merupakan aqad pembiayaan yang mewajibkan nasabah untuk mengembalikan pembiayaan tersebut dalam jangka waktu yang disepakati. Maka bank dapat melakukan perjanjian khusus dengan nasabah, hal ini untuk mencegah terjadinya hal-hal yang dapat merugikan kedua belah pihak yang beraqad.
Aturan yang dikenakan kepada nasabah dalam murabahah ini dalam fatwa adalah sebagai berikut :
1) Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau asset kepada bank.
2) Jika bank menerima permohonan tersebut ia harus membeli dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membelinya)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, karena secara hokum perjenjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6) Jika uanga muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7) Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternative dari uang muka, maka :
a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga;
b. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketentuan mengenai jaminan dalam murabahah adalah, bank berhak meminta jaminan kepada nasabah agar nasabah serius dangan pesanannya. Selanjutnya mengenai hutang, nasabah berkewajiban untuk menyelesaikan hutanggnya kepada bank sesuai kesepakatan awal. Dan apabila nasabah menunda pembayaran dengan sengaja, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah. Adapun jika nasabah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutanggnya, bank harus menunda tagiahan hutang sampai nasabah menjadi sanggub kembali berdasarkan kesepakatan.
Kesimpulan yang dapat dilihat dari ketentuan di atas adalah jika nasabah ingin memperoleh pembiayaan murabahah maka nasabah harus mengajukan permohonan terlebih dahulu, baik pembiayaan konsumtif atau pembiayaan investasi. Aqad murabahah antara bank dan nasabah merupakan aqad yang mengikat, dimana nasabah wajib membeli barang tersebut. Bank dapat meminta uang muka dari nasabah, jika nasabah menolak untuk membeli barang tersebut maka biaya rill harus ditutupi dari uang muka tersebut dan jika jumlah uang muka tidak mencukupi maka nasabah harus membayar kekurangannya.