Pages

Senin, 06 Juni 2011

KONGSI DAGANG MENURUT KONSEP MUDHARABAH DALAM FIQH MUAMALAH


KONGSI  DAGANG MENURUT KONSEP MUDHARABAH
DALAM FIQH MUAMALAH
Oleh: KHAIRUMAN[1]


1.1.Pengertian Mudharabah, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Sah Akad  Mudharabah
1.1.1.      Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Kata mudharabah berasal dari bahasa Arab yaitu ضارب – يضارب – مضاربة  [2]. Mudharabah juga berarti berdagang dan memperdagangkan.[3] Dengan pengertian “berniaga ia pada hartanya atau memperjual belikan hartanya”, kata tersebut dapat dilihat dalam firman Allah SWT dalam Surat al-Muzzammil ayat 20:
...وءاخرون يضربون في الأرض يبتغون من فضل الله  ...  (المزميل : 20)

Artinya : “....Dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah....” (Q.S.  Al-Muzzammil: 20)
Pada ayat di atas tidak secara langsung menyebutkan tentang mudharabah, namun dalam pengertiannya  في الأرض يبتغون  (berpergian di muka bumi) tersirat makna berpergian untuk bermudharabah. Menjalankan usaha dagang dalam berbagai bentuk aktifitas ekonomi terutama pengelolaan modal usaha dengan cara yang dibenarkan dalam syari’at Islam.
Sedangkan definisi mudharabah menurut bahasa yaitu akad antara kedua belah pihak, salah satu pihak mengeluarkan sejumlah modal kepada pihak yang lain untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.[4] Selain itu, menurut para ulama fiqh sebagaimana dinyatakan oleh Imam Hanafi, menyatakan bahwa mudharabah adalah akad atas suatu syarikat dalam keuntungan dengan modal harta dari satu pihak dan dengan pekerjaan (usaha) dari pihak lain. Dengan demikian, mereka secara tekstual menegaskan bahwa syarikat mudharabah adalah suatu akad (kontrak) dan mereka juga menjelaskan unsur-unsur pentingnya yaitu berdirinya syarikat ini atas usaha fisik dari satu pihak dan atas modal dari pihak yang lain. Namun tidak menjelaskan dalam definisi tersebut cara pembagian keuntungan antara kedua orang yang bersyarikat itu, sebagaimana mereka juga tidak menyebutkan syarat yang harus dipengaruhi pada masing-masing pihak yang melakukan kontrak dan syarat harus dipenuhi pada modal.[5]
Imam Syafi’i menyatakan bahwa “Mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan keuntungannya dibagi antara mereka berdua.” Meskipun ia telah menegaskan kategorisasi mudharabah sebagai suatu akad, namun ia tidak menyebutkan apa yang harus dipenuhi dari persyaratan kedua pihak melakukan akad, sebagaimana ia juga tidak menjelaskan cara pembagian keuntungan.[6]
Selain dari definisi beberapa madzab di atas, Ibnu Qudamah dalam al-Mughni memberikan definisi mudharabah dengan qiradh yaitu “Seseorang yang memberikan hartanya kepada orang lain untuk berdagang dengan harta tersebut sehingga menghasilkan keuntungan di antara keduanya dan dibagi sesuai dengan apa yang telah mereka sepakati”.[7] Menurut Abdurrahman al-Jaziri, “Mudharabah adalah akad antara dua orang yang berisi kesepakatan bahwa salah seorang dari mereka akan memberikan modal usaha produktif dan keuntungan usaha itu akan diberikan sebagian kepada pemilik modal dalam jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui bersama”.[8]
Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa, “Mudharabah adalah usaha bersama di mana satu pihak menyediakan modal sedangkan pihak lainnya sebagai pihak yang mengerjakannya atau sebagai pekerja. Keduanya menerima sejumlah hasil dari kerja sama tersebut”.[9] Selain itu, Harahap juga mendefinisikan mudharabah secara singkat, yaitu “kerja sama antar bank dengan pengusaha yang diyakini sepenuhnya”.[10] Afzalul Rahman juga menjelaskan bahwa, ”Mudharabah adalah suatu kontrak kemitraan yang berdasarkan prinsip pembagian hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada orang lain melakukan bisnis, dan kedua belah pihak membagi keuntungan untuk memikul beban berdasarkan isi perjanjian bersama”.[11]
Beberapa pengertian di atas diperkuat lagi oleh pendapat Muhammad Syafi’i Antonio, yang memberikan pengertian mudharabah sebagai berikut:
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama (sahib al-maal) menyediakan seluruh modal (100%). Sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola dengan membagi keuntungan usaha menurut kesepakatan yang telah dituangkan dalam kontrak. Apabila terjadi kerugian, maka akan ditanggung oleh pemilik modal selama bukan diakibatkan oleh kelalaian dari si pengelola. Namun, jika seandainya terdapat kerugian yang diakibatkan karena adanya kecurangan atau kelalaian dari si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.[12]

Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mudharabah adalah suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau semaknanya dalam jumlah, jenis dan karakternya (sifatnya) dari orang yang diperbolehkan mengelola harta (jaiz al-tasharruf) kepada orang yang ‘aqil, mumayyiz dan bijaksana, yang dipergunakan untuk berdagang dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah pembagiannya dalam kesepakatan bersama.
1.1.2.    Dasar Hukum Mudharabah
Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan (mubah), karena bertujuan untuk saling membantu antara shahib al-mal (pemilik modal) dengan pengelola (mudharib).[13] Banyak di antara pemilik modal yang tidak ahli dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula orang yang mempunyai skill berdagang yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik  modal dengan seorang yang terampil dalam mengelola dan  memproduktifkan modal itu.[14] Dalam kaidah fiqh juga tidak ada larangan untuk melakukan semua akad selama belum ada dalil yang melarangnya. Begitu juga dengan akad mudharabah, selama akad tersebut belum ada dalil yang melarangnya, akad tersebut bisa dilakukan. Adapun kaidah fiqh tersebut yaitu:
الأ صل في المعاملا ت الاء باحة الا أن  يد ل دليل على تحر يمها .
Artinya : “Pada dasarnya, segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil  yang mengharamkannya”.[15]
Landasan dasar mudharabah secara syariah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha, adapun ayat-ayat dan hadist yang berhubungan dengan mudharabah adalah sebagai berikut.
a.         Dalil al-Qur’an
Firman Allah dalam Surat al -Baqarah ayat 273 :

للفقراء الذين أحصروا في سبيل الله لا يستطيعون ضربا في الأرض...  (البقرة  : 273 )
Artinya : “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi ....” (Q.S. Al-Baqarah : 273).
Menurut Ibnu Katsir, maksud ayat di atas adalah berjalan untuk berdagang dalam mencari penghidupan.[16] Selain itu, Abu Bakr Jabir Al-Jazaa’iri juga berpendapat bahwa berjalan di bumi untuk mencari rezki dengan berdagang dan lainnya, berjalan di bumi untuk mengepung (memblokade) musuh orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah.[17]
Selanjutnya dalam Surat Ali Imran ayat 156 berbunyi:
يا أيها  الذين ء امنو ا لا تكونوا  كالذين كفروا وقالو ا لإ خو ا نهم  إذا ضربوا في الأرض...
(ال عمران  : 156)

Artinya : “Apabila ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT…” (Q.S. Ali Imran : 156).
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa mereka berpergian untuk berdagang dan lainnya (إذا ضربوا في الأرض ).[18] Menurut Abu  Bakr Jabir Al-Jazaa’iri, ayat tersebut berarti, berjalan di bumi dengan jalan kaki dan terkadang berjalan untuk kebaikan orang-orang muslim.[19] Di antara ayat-ayat Al Qur’an di atas, terdapat kata yang dijadikan oleh sebagian besar ulama fiqh adalah kata dharaba fil ardhi menunjukkan arti perjalanan atau berjalan di bumi yang dimaksud perjalanan untuk tujuan berdagang (mudharabah).[20]
Perjanjian mudharabah dapat dibuat secara formal maupun nonformal, secara tertulis maupun lisan. Namun mengingat ketentuan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 282 yang menekankan agar perjanjian-perjanjian pinjaman dibuat secara tertulis, maka sebaiknya perjanjian mudharabah dibuat secara tertulis dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang memenuhi syarat dan dirumuskan secara tegas dan jelas untuk menghindari salah tafsir yang secara lebih lanjut dapat menimbulkan salah pengertian yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat yang tidak perlu diantara shahib al-mal dan mudharib.[21]
b.         Hadits
Rasulullah SAW bersabda:
روى  ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال : كان سيدنا العباس بن عبدالمطلب  اذا دفع المال مضار بة  اشتر ط على صا حبه أن لا يسلك به بحرا ولا ينز ل به و اد يا و لا يشتر ى به دابة ذ ات  كبد رطبة  فاءن فعل ذ الك ضمن فبلغ شرطه رسو ل  الله صلى عليه  و سلم فأ جازه . (رواه الطبر اني)[22]
Artinya : “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib, jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah, maka ia mensyaratkan agar dananya tidak di bawah mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya”. (H.R Thabrani).

Hadist riwayat Ibnu Majah berbunyi:

عن صالح بن صهيب عن أبيه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ثلاث فيهن البركة: البيع إلى أجل و المقارضة و خلط البر بالشعير للبيت لا للبيع. (رواه ابن ماجة)[23]

Artinya : “Dari Shahih bin Suhaib dari bapaknya berkata : bahwa Rasullullah SAW bersabda, tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkatan yaitu jual beli sampai batas waktu. Muqaradhah (memberi modal) dan mencampurkan gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”(HR.Ibnu Majah)

Di samping itu, para ulama juga beralasan dengan praktek mudharabah yang dilakukan sebagian sahabat, sedangkan sahabat lain tidak membantahnya. Bahkan harta yang dilakukan secara mudharabah di zaman mereka kebanyakan adalah harta anak yatim, karena di Hijaz/Iraq lebih popular kata qiradh untuk mudharabah tersebut. Oleh sebab itu, berdasarkan ayat, hadits dan praktek para sahabat tersebut, para ulama fiqh menetapkan bahwa aqad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syarat, maka hukumnya adalah boleh.
Ayat dan hadist di atas menunjukkan bahwa mudharabah merupakan aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan satu sama lainya. Dalam aktivitas muamalah sebagaimana yang dianjurkan dalam agama untuk saling tolong-menolong pada jalan yang benar. Mudharabah juga suatu usaha yang mendapat tempat yang baik dalam Islam dan Rasullulah SAW pun dalam masa hidupnya mempraktekkan mudharabah bersama-sama para sahabat dan hal itu memenuhi ketentuan-ketentuan syariat Islam.
Karena sebagai makhluk sosial, kebutuhan kerja sama antara satu pihak dengan pihak lain guna untuk meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup, atau keperluan-keperluan lain yang tidak bisa diabaikan. Pada kenyataannya, bahwa manusia memiliki modal, tetapi tidak bisa menjalankan usaha-usaha produktif, atau memiliki modal yang besar dan bisa berusaha produktif, tetapi berkeinginan untuk membantu orang lain yang kurang mampu dengan jalan mengalihkan sebahagian hartanya sebagai modal kepada pihak yang memerlukan. Namun ada juga pihak-pihak yang memiliki kemampuan dan keahlian berusaha secara produktif, tetapi kekurangan atau bahkan tidak memiliki modal sama sekali. Melihat kondisi masyarakat yang seperti inilah diperlukan suatu kerja sama antara pemilik modal dengan pihak yang tidak memiliki atau kekurangan modal.
1.1.3.   Rukun dan Syarat Sah Akad Mudharabah
Mudharabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk digunakan dalam aktifitas ekonomi. [24] Pembiayaan mudharabah tersebut tidaklah terlepas dari mekanisme pelaksanaan perjanjian yang telah ditetapkan berdasarkan syarat dan rukun dalam akad, sesuai dengan yang dikemukakan oleh ulama Fiqhiyah dan juga Dewan Syariah Nasional MUI tentang mudharabah (qiradh). Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi sedangkan syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Namun syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh dicampurkan.[25] Oleh karena itu keabsahan suatu perjanjian pembiayaan mudharabah tidak terlepas dari pada pemenuhan rukun dan syarat mudharabah itu sendiri.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan menurut ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, rukun mudharabah ada enam yaitu:
1.      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya
2.      Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
3.      Aqad mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
4.      Mal, yaitu harta pokok atau modal
5.      'Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba atau keuntungan
6.      Keuntungan.[26]
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian, selain itu rukun mudharabah terbagi kepada lima, yaitu:[27]
a.       Pemodal
b.      Pengelola
c.       Modal
d.      Nisbah keuntungan
e.       Sighat atau Akad.
Selanjutnya faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah yaitu:
  1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
  2. Objek mudharabah
  3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab qabul)
  4. Nisbah keuntungan.
Pada dasarnya syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut:[28]
a.       Modal atau barang yang diserahkan berbentuk uang tunai. Apabila barang berbentuk emas atau perak batangan (tabar), emas hiasan (imitasi) atau barang dagangan lainnya, maka mudharabah tersebut batal dengan sendirinya.
b.      Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf. Sedangkan akad yang dilakukan anak-anak yang masih kecil, orang gila dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan, maka akadnya batal atau tidak sah.
c.       Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
d.      Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, seperti setengah, sepertiga atau seperempat.
e.       Melafazdkan ijab dari pemilik modal, misalnya: "Aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang, jika ada keuntungan akan dibagi dua" dan kata-kata qabul dari pengelola.
f.       Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara di waktu-waktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat Imam Syafi'i dan Malik. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, mudharabah tersebut sah hukumnya.
Menurut Sayyid Sabiq, syarat-syarat mudharabah yaitu:[29]
1.      Perjanjian mudharabah dapat dibuat secara formal maupun informal, secara tertulis maupun lisan.
2.      Perjanjian mudharabah dapat pula dilangsungkan antara beberapa shahibul mal dan beberapa mudharib.
3.      Pada hakikatnya kewajiban utama shahib al-mal ialah menyerahkan modal mudharabah kepada mudharib. Jika hal itu tidak dilakukan, maka perjanjian mudharabah menjadi tidak sah.
4.      Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi harus orang yang cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.[30]
5.      Shahib al-mal berkewajiban menyediakan dana yang dipercayakan kepada mudharib untuk membiayai suatu proyek atau kegiatan usaha. Sedangkan mudharib berkewajiban menyediakan keahlian, waktu, pikiran dan upaya untuk mengelola proyek atau kegiatan usaha tersebut dan berusaha untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin.
6.      Shahib al-mal berhak memperoleh kembali investasinya dari hasil likuidasi usaha mudharabah tersebut bila usahanya telah diselesaikan oleh mudharib dan jumlah hasil likuidasi usaha mudharabah cukup untuk pengembalian dana investasi.
7.      Shahib al-mal tidak dapat meminta jaminan dari mudharib atas pengembalian investasinya. Persyaratan yang demikian itu dalam perjanjian mudharabah batal dan tidak berlaku.
8.      Shahib al-mal berhak melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa mudharib mentaati syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian mudharabah.
9.      Modal yang harus disediakan oleh shahib al-mal disyaratkan berbentuk uang, jelas jumlahnya dan tunai.
10.  Keuntungan bersih dibagi antara shahib al-mal dan mudharib berdasarkan prinsip profit and loss sharing (PLS).
11.  Apabila terjadi kerugian, maka shahib al-mal akan kehilangan sebagian atau seluruh modalnya, sedangkan mudharib tidak menerima remunerasi (imbalan) apa pun untuk kerja dan usahanya (jerih payahnya). Jadi, baik posisi shahib al-mal maupun mudharib harus menghadapi resiko (mukhatara).
Berdasarkan pembahasan mengenai rukun dan syarat mudharabah menurut konsep fiqh muamalah di atas, menunjukkan bahwa segala rukun dan syarat mudharabah harus lengkap dan terpenuhi menurut aturannya, karena apabila salah satu rukun dan syarat mudharabah tidak ada, maka segala transaksi yang berkaitan dengan mudharabah tidak akan sah dan sempurna.

1.2.Bentuk, Fungsi, dan Tujuan Mudharabah

1.2.1.      Bentuk-Bentuk Mudharabah
Secara umum mudharabah dibagi kepada dua jenis, yaitu mudharabah mutlaqah  dan mudharabah muqayyadhah.[31]
a.       Mudharabah muthalaqah (general investment), yaitu transaksi di mana shahib al-mal memberikan keleluasaan penuh kepada mudharib untuk menggunakan dana tersebut yang dianggap baik dan menguntungkan.
b.      Mudharabah muqayyadah (restricted investment), di mana dalam hal ini mudharib dibatasi oleh jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Secara umum landasan hukum mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha.
Rasulullah bersabda:
عن ابى قتادة قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عما حنين فأعطاه يعن درعا فبعت به مخرقا فى بنى سلمة فأنه لأول مال تأثلته فى الاسلام.{رواه البخارى}[32]

Artinya:     Dari Abu Qatadah r.a berkata: “Kami pergi beserta Rasulullah SAW dalam tahun (peperangan) Hunain. Ketika itu Nabi SAW memberikan baju besinya kepadaku. Baju besi itu lalu kujual dan kubelikan sebidang kebun dari Bani Salamah. Kebun itulah harta yang pertama-tama saya kumpulkan sebagai modal dalam Islam”. (HR. Bukhari).

Aplikasinya untuk perbankan adalah, dalam mudharabah muthalaqah berbentuk tabungan berjangka seperti, tabungan haji atau tabungan kurban, sehingga bank dapat menyalurkan pada proyek usaha bank. Sedangkan mudharabah muqayyadah, dalam terminologi perbankan syariah lazim disebut special insvestment yaitu proyek yang dibiayai langsung oleh nasabah. Bank hanya bertindak sebagai wakil yang mengatur administrasi proyek itu.[33] Di mana dana khusus dengan penyaluran yang khusus dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal.

1.2.2.   Fungsi Mudharabah
Bermuamalah merupakan salah satu cara manusia dalam mencari rezeki untuk menutupi keperluan hidupnya beserta tanggungannya. Dengan cara ini pula manusia dapat menolak sistem riba dan spekulasi yang tidak sehat sebagai alternatif sistem ekonomi. Mudharabah biasanya diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan usaha, dalam sistem ini terjadi kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan suatu usaha tertentu. Setelah usaha selesai maka pihak pengelola dan pihak pemilik modal sama-sama melakukan pembagian hasil sebagaimana yang telah disepakati dalam kontrak perjanjian. Keuntungan ataupun resiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Pola ini juga dapat membantu perkembangan ekonomi di sektor riil, yaitu dengan adanya pembiayaan yang diberikan para pemilik modal untuk pihak pengelola yang ingin mengembangkan usahanya dalam bentuk kerjasama.
Keberadaan sistem mudharabah berdasarkan prinsip syariah bukan hanya untuk mencari keuntungan dan meramaikan bisnis di Indonesia, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan bisnis yang aman. Adapun fungsi pembiayaan mudharabah yaitu:[34]
1.      Akses masyarakat untuk mendapatkan pembiayaan dengan prinsip syariah yang menerapkan sistem bagi hasil.
2.      Membantu kaum dhuafa yang tidak tersentuh oleh bank konvensional karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank konvensional.
3.      Dapat menimbulkan motivasi masyarakat untuk berusaha dalam melakukan kegiatan ekonomi, dengan cara berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena akses pembiayaan mudah didapatkan oleh masyarakat.[35]
4.      Membantu masyarakat ekonomi lemah yang selalu dipermainkan oleh rentenir melalui pendanaan untuk usaha yang dilakukan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi pembiayaan mudharabah secara umum yaitu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga dengan adanya pembiayaan mudharabah banyak usaha serta kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan mudah dan tidak terkendala lagi dengan masalah permodalan.

1.2.3.  Tujuan Mudharabah
Secara teknis mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama shahib al-mal menyediakan seluruh modal, sedang pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Jika kerugian itu disebabkan kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.[36]
Tujuan utama bermuamalah adalah untuk mensejahterakan umat manusia. Secara ekonomis, banyak tujuan dan manfaat serta dampak positif apabila pembiayaan mudharabah dijadikan salah satu pola pembiayaan utama. Karena skema pembiayaan mudharabah dapat menjadi solusi dalam meningkatkan lapangan kerja. Ada beberapa dampak positif dari tujuan pembiayaan mudharabah antara lain yaitu:[37]
1.      Akan menggairahkan sektor riil, investasi akan meningkat dan disertai dengan pembukaan lapangan kerja baru, sehingga tingkat pengangguran akan dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat akan bertambah.
2.      Akan mendorong tumbuhnya pengusaha/investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang beresiko. Hal ini akan menyebabkan berkembangnya berbagai inovasi baru yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing umat Islam pada dunia global.
Sistem mudharabah berdasarkan prinsip syariah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, sistem mudharabah dapat berperan lebih signifikan dalam upaya pengembangan perekonomian nasional yang masih terpuruk. Tujuan mudharabah pada dasarnya ada dua, yaitu investasi dalam suatu proyek yang sepenuhnya dimiliki oleh badan usaha tertentu dan membiayai pengelola yang telah diketahui kredibilitas dan bonafiditasnya serta diharapkan usaha yang dikelolanya cukup feasible dan profitable.[38]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan dari akad mudharabah adalah supaya adanya kerja sama dalam perniagaan/perusahaan atau tidak ada peluang untuk berusaha sendiri dalam lapangan perniagaan, perindustrian dan sebagainya dengan orang berpengalaman di bidang tersebut tetapi tidak mempunyai modal. Hal ini merupakan suatu langkah untuk menghindari dan menyia-nyiakan modal pemilik harta dan menyia-nyiakan keahlian tenaga ahli yang tidak memiliki modal untuk memanfaatkan keahliannya.
1.3.Share Profit dan Kerugian dalam Kongsi Dagang Mudharabah             
Share profit (bagi hasil) diartikan sebagai pemberian perolehan suatu usaha kepada mitra usaha atas keikutsertaan modal atau kerja pengelolaan dalam jumlah yang ditentukan bersama sebelumnya. Secara rinci pengertian kata “hasil” menunjukkan pada perolehan atau pendapatan.[39] Share profit dapat mengandung pengertian bagi perolehan (revenue sharing), bagi untung rugi (profit-and loss sharing) dan bagi untung (profit sharing). Tetapi dalam teknik penghitungan, dikenal dua istilah bagi hasil yang terdiri dari bagi hasil (profit sharing) dan bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi untung (profit sharing) adalah pembagian keuntungan usaha yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana dan pola ini juga digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaganya pada penabung (depositor).[40]
Bagi hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar-kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi.[41] Metode share profit (bagi hasil) terdiri dari dua sistem, yaitu:
  1. Profit sharing (bagi untung/laba kotor) adalah bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Dalam sistem syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah.
  2. Revenue sharing (bagi hasil/laba bersih) adalah bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana. Dalam sistem syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah.[42]
Prinsip profit sharing diterapkan berdasarkan pendapat Imam Abu Hanifah, Malik dan Zaidiyah yang mengatakan bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya apabila perdagangannya itu diperjalanan saja baik itu berupa biaya makan, minum, pakaian dan sebagainya. Hambali mengatakan bahwa mudharib boleh menafkahkan sebagian dari harta mudharabah baik dalam keadaan menetap atau bepergian dengan izin shahib al-mal, tetapi besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal (menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros. Sedangkan untuk prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan pendapat Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun berpergian (di perjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan maka ia tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapatkan yang lebih besar dari bagian shahib al-mal.[43]

Share profit adalah bagi hasil yang dihitung dari seluruh total pendapatan pengelolaan dana. Demikian juga, pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan Islam. Karena itu sistem bagi hasil merupakan sistem yang diterapkan dalam ekonomi yang diatasnamakan Islam yang menekankan pada pembagian hasil usaha yang besarannya sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terkait. Dalam perkembangannya Lembaga Keuangan Syariah biasanya memberlakukan pola bagi hasil itu untuk pembiayaan perdagangan. Dalam hukum Islam (fiqh), bagi hasil terdapat dalam mudharabah dan musyarakah (syirkah). Kedua bentuk perjanjian keuangan itu dianggap dapat menggantikan riba, yang mengambil bentuk bunga. [44]
Antara bunga dan bagi hasil, keduanya sama-sama memberikan keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dilihat dari tabel berikut :[45]




Tabel 2.1.  Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA
BAGI HASIL
1.      Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
1.      Penentuan besarnya rasio /nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan ganti rugi
2.      Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
2.      Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
3.      Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
3.      Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Apabila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
4.      Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.
4.      Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
5.      Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
5.      Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
6.      Jika terjadi kerugian ditanggung nasabah saja.
6.      Jika terjadi kerugian ditanggung kedua belah pihak, nasabah dan lembaga.
Sumber : Muhammad Syafi’i Antonio, 2001:61

Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shahib al-mal dengan mudharib. Dengan demikian semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shahib al-mal dan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian pada saat aqad dilakukan. Tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shahib al-mal telah dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian, maka akan dianggap sebagai pembagian keuntungan di muka.[46]
Dinarasikan bahwa dalam menjalankan sebuah usaha/proyek dibutuhkan suatu keahlian atau keterampilan dari pihak pertama dan modal (100%) dari pihak kedua untuk memperoleh keuntungan dalam sebuah sistem perjanjian bagi hasil. Dalam menjalankan sebuah usaha/proyek, biasanya konsumen (mudharib) memerlukan sebuah modal yang dapat dipinjam pada shahib al-mal (bank/lembaga keuangan). Dengan adanya keuntungan yang diperoleh dari pihak mudharib atas usaha/proyek yang dijalankan, maka pihak mudharib harus memberikan pengembalian modal pokok dan pembagian hasil/keuntungan (profit sharing) kepada shahib al-mal, setelah melakukan perhitungan dan kerugian yang telah dikeluarkan selama usaha/proyek yang berlangsung. Perjanjian bagi hasil tersebut dilakukan menurut kesepakatan bersama antara pihak mudharib dengan shahib al-mal dan menurut jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan.
Selain itu, perhitungan laba atau rugi dalam praktik mudharabah dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil dari pihak mudharib yang diterima oleh shahib al-mal. Bagi hasil berdasarkan profit sharing (bagi laba), dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah, sedangkan revenue sharing (bagi pendapatan), dihitung dari total pendapatan pengelolaan mudharabah. Kerugian pembiayaan mudharabah yang diakibatkan penghentian mudharabah sebelum masa akad berakhir diakui sebagai pengurang pembiayaan mudharabah. Kerugian pengelolaan yang timbul akibat kelalaian atau kesalahan pihak mudharib akan dibebankan pada pihak mudharib. Bagian laba yang tidak dibayarkan oleh pihak mudharib pada saat mudharabah selesai atau dihentikan sebelum masanya berakhir diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada pihak mudharib.
Implementasi konsep pembiayaan dengan berbasis pola bagi hasil akan menimbulkan konsekuensi lebih lanjut bahwa seluruh kerugian dalam usaha yang dibiayai akan ditanggung oleh shahib al-mal, kecuali jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian nasabah atau melanggar persyaratan yang telah disepakati. Selain itu juga pihak shahib al-mal harus aktif berusaha mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerugian nasabah sejak awal, sehingga keduanya cenderung bekerja sama untuk mengatasi masalah yang timbul. 
Nisbah keuntungan adalah proporsi pembagian keuntungan dari hasil aktivitas mudharabah. Nisbah harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu. Penentuan nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan pada porsi setoran modal, walaupun dapat juga apabila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal. [47]
Ketentuan bagi untung dan bagi rugi merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi (natural uncertainty contracts). Dalam kontrak ini, return dan timing cash flow tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Apabila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula dan apabila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal rupiah tertentu.[48]
Menurut Madzhab Hanafi dan sebagian Madzhab Syafi’i, keuntungan harus diakui seandainya keuntungan usaha sudah diperoleh (walaupun belum dibagikan). Sedangkan, Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali menyebutkan bahwa keuntungan hanya dapat diakui hanya ketika dibagikan secara tunai kepada kedua pihak.[49]
Pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan mengembalikan lebih dahulu modal yang ditanamkan shahib al-mal, namun kebanyakan ulama menyetujui apabila kedua belah pihak sepakat membagi keuntungan tanpa mengembalikan modal dan hal ini berlaku sepanjang kerjasama masih berlangsung. Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menahan untung, apabila keuntungan telah dibagikan, setelah itu usaha mengalami kerugian, sebagian ulama berpendapat, bahwa pengelola akan diminta menutupi kerugian tersebut dari keuntungan yang telah dibagikan kepadanya.[50] Keuntungan adalah milik bersama antara shahib al-mal dan mudharib, karena modal dan kerja adalah sejajar, saling berkepentingan, dan membutuhkan, maka keduanya harus berhak atas keuntungan dengan nisbah masing-masing.
Dalam pembagian hasil keuntungan mudharabah, nisbah mudharib dapat lebih besar atau sebaliknya lebih kecil daripada shahib al-mal tergantung pada kesepakatan dalam akad mudharabah. Sebagaimana para ulama sepakat bahwa keuntungan yang didapat oleh masing-masing pihak (shahib al-mal dan mudharib) harus dalam jumlah nisbah tertentu, jika keduanya telah sepakat bahwa seperempat (25%) atau setengah (50%) bagi mudharib misalnya, maka hal itu sudah cukup dimengerti karena bagian sisa tentunya adalah bagi  shahib al-mal, semuanya itu tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, baik nisbah masing-masing sama atau lebih besar atau lebih kecil dan harus ditepati. Sebab umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati.[51]
Dalam dunia ekonomi, keuntungan merupakan tujuan setiap aktivitas bisnis, karena semua pihak yang terkait di dalamnya selalu berorientasi pada keuntungan. Prinsip ekonomi mengatakan bahwa dengan segala modal minimal bertujuan untuk memperoleh keuntungan maksimal. Namun dalam realitas dunia bisnis kadang terjadi sebaliknya, yaitu terjadi kerugian. Hal ini berarti bahwa untung atau rugi adalah realitas dunia ekonomi. Namun kerugian bukanlah keinginan, karena setiap perilaku bisnis pasti tidak menginginkan kerugian, tetapi selalu menginginkan keuntungan. Oleh karena itu, setiap aktivitas bisnis selalu menginginkan keuntungan, maka selalu berusaha untuk menghindari kerugian.
Untuk menghindari kerugian, bisa jadi seseorang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain atau bahkan untuk menambah keuntungan, seseorang kadang merugikan orang lain. Namun demikian, setiap aktivitas bisnis selalu mempunyai teka-teki untung rugi, bisa jadi untung dan bisa jadi rugi. Maka persoalannya adalah jangan sampai terjadi seseorang yang berkecimpung di dalam dunia bisnis tidak mau rugi dengan cara merugikan pihak lain. Bisa jadi seseorang dalam melakukan aktivitas bisnis selalu berusaha sedemikian rupa berbuat sesuatu agar bisnis yang akan dilakukan tidak menderita kerugian. Jika ini dilakukan dalam batas-batas wajar yang diperbolehkan oleh hukum, tidaklah menjadi persoalan.
Namun jika seseorang melakukan perjanjian bisnis dengan pihak lain dan menempatkan pihak lain dalam kedudukan yang tidak seimbang, maka keadaannya tidak menjadi wajar dan akan merugikan orang lain. Ketidakseimbangan kedudukan di antara pihak-pihak dalam suatu perjanjian berpotensi menimbulkan eksploitasi. Dalam keadaan yang demikian, hukum mengambil peranan untuk mengatur hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang terkait di dalamnya, agar keuntungan yang menjadi tujuan setiap aktivitas ekonomi dapat berjalan tanpa melanggar hak orang lain. Setiap aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk mencari keuntungan harus tidak menimbulkan kerugian pihak lain.
Kerjasama mudharabah selalu berdasarkan prinsip mencari keuntungan, maka keuntungan merupakan persoalan yang harus secara tegas ditentukan cara-cara pembagiannya, maka secara hukum, perjanjian mudharabah harus mengatur persoalan keuntungan. Sebaliknya, tidak pernah ada keinginan untuk menderita kerugian dalam mudharabah.[52]
Para ilmuwan hukum Islam klasik tidak mengharuskan adanya pengaturan kerugian dalam perjanjian mudharabah. Namun sesuatu yang tidak diinginkan kadang-kadang terjadi dalam kenyataan. Jika ternyata bisnis yang dibiayai oleh pemilik modal, menderita kerugian, maka kerugian yang bersifat finansial, yaitu berkurangnya modal, maka harus menjadi tanggung jawab pemilik modal. Pelaku usaha tidak dapat dibebani kerugian finansial, karena hanya dapat menanggung kerugian waktu, tenaga dan keahliannya. Namun demikian, jika kerugian yang diderita pelaku usaha adalah akibat kesalahannya, kelalaiannya, atau karena melanggar perjanjiannya, maka tetap menjadi tanggung jawab pelaku usaha dan pemilik modal tidak dapat dibebani kerugian yang terjadi.[53]
Jika sistem mudharabah tidak menghasilkan suatu keuntungan, maka si mudharib tidak akan mendapatkan sedikitpun bagi hasil atas kerjanya. Dalam hal ini mengalami kerugian sepanjang tidak ditemukan bukti salah guna dan salah urus mudharib atas dana mudharabah atau sepanjang tidak ditentukan pelanggaran atas syarat-syarat yang ditetapkan oleh shahib al-mal. Jika terbukti demikian, maka mudharib sendiri yang akan menanggung kerugian, dalam kasus jaminan yang terkait dengan tanggung jawab mudharib harus diberikan kepada shahib al-mal.

1.4.Hak dan Kewajiban Para Pihak yang Berserikat Pada Kongsi Dagang Mudharabah
Pembiayaan mudharabah seperti kongsi dagang pada umumnya melibatkan dua pihak yaitu pemberi pembiayaan/modal dan penerima pembiayaan atau dengan istilah shahib al-mal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola). Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak yang berserikat pada kongsi dagang mudharabah, dapat dilihat dalam isi akad pembiayaan yang telah mereka sepakati. Tetapi mengingat banyaknya ragam pembiayaan tersebut dan semua jenis itu kemungkinan besar mempunyai dan mengandung hak serta kewajiban yang lebih khusus, maka dalam uraian ini akan dikemukakan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pembiayaan secara garis besar saja.
1.4.1.      Hak dan Kewajiban Pemberi Pinjaman/Pemodal
Pemilik usaha/pemodal (shahib al-mal) selaku pemberi modal mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi untuk pengelola usaha, yaitu menyediakan dana untuk dipergunakan sesuai dengan rencana penggunaan pembiayaan yang dicantumkan dalam perjanjian dengan pengelola (mudharib). Selain kewajiban tersebut di atas, pemodal juga berkewajiban untuk mengawasi dan memberikan bimbingan atau petunjuk-petunjuk kepada pengelola sehubungan dengan pembiayaan yang diberikannya.
Di samping kewajiban-kewajiban sebagaimana tersebut di atas, dengan adanya perjanjian pembiayaan dan penyerahan modal kepada pengelola, maka pemodal juga memperoleh hak-hak sebagai berikut:
1.      Menerima laba dan pembagian keuntungan (bagi hasil) atas pinjaman atau pembiayaan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang telah dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan.
2.      Meminta kembali uang pinjaman yang telah diterima oleh pengelola apabila baik dengan sengaja atau tidak, telah melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama.
3.      Menagih/menarik modal dan keuntungan tersebut dari pengelola apabila telah jatuh tempo sesuai surat perjanjian.
4.      Setiap waktu yang diperlukan, maka pemodal berhak meminta keterangan tentang pembukuan yang telah ditulis oleh pengelola terhadap penggunaan modal yang diberikan.
5.      Pemodal secara sepihak dapat mengakhiri perjanjian pembiayaan dan mencabut/menyita barang-barang dagang yang dikelola oleh pengelola dan menutup kongsi dagang apabila:
a)      Usaha dagang dinyatakan pailit atau mengalami kerugian, baik yang bersifat sementara maupun tetap;
b)      Apabila pengelola melakukan tindakan anarkis dan penipuan dengan cara mencuri barang dagang milik pemodal, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja.
c)      Jika pengelola secara langsung atau tidak langsung ikut terlibat tidak pidana atau gerakan anti pemerintahan yang diancam pidana penjara, untuk itu pemodal tidak menunggu keputusan pengadilan.
d)     Jika peminjam meninggal dunia.[54]

1.4.2.      Hak dan Kewajiban Pengelola Usaha
Sebagaimana yang telah dikemukakan mengenai hak dan kewajiban pemberi pembiayaan (pemodal) yang timbul karena adanya perjanjian pembiayaan, maka kebalikan dari uraian yang telah diuraikan di atas, maka hak dan kewajiban dari pengelola kepada pemodal yaitu:
a.       Wajib mengikuti tata tertib dan peraturan yang telah dibuat oleh pemodal
b.Wajib membayar provisi atas pinjaman yang diberikan
c.       Wajib mengembalikan pinjaman dalam jumlah yang sama berserta keuntungan menurut yang telah diperjanjikan.
d.      Mengikuti petunjuk-petunjuk dan teknik yang diberikan oleh pemodal
e.       Melaporkan sesuatu yang terjadi terhadap usaha yang dijalankan dalam waktu yang secepat-cepatnya, apabila terjadi hal diluardugaan dari perjanjian.
f.       Tetap menjalankan usaha sendiri atau oleh ahli waris yang masih menjadi tanggung jawab, tidak memindahkantangankan kepada pihak lain sebelum mendapat persetujuan dari pemodal.
g.      Memanfaatkan modal usaha dari pemodal untuk menjalankan tugasnya.[55]
            Kewajiban-kewajiban tersebut timbul karena adanya perjanjian pembiayaan, sedangkan hak-hak pengelola yang lahir dari perjanjian pembiayaan adalah:
a.       Menerima sistem bagi hasil sebesar jumlah yang tercantum dalam perjanjian pembiayaan mudharabah.
b.      Menerima bimbingan, arahan dan petunjuk dari pemodal sehubungan dengan kegiatan peningkatan usahanya.
c.       Menerima tanda bukti atas pembiayaan mudharabah dan pembebanan-pembebanan atau pembiayaan-pembiayaan lainya yang dilaksanakan oleh pemodal.
d.      Memiliki dan melakukan kegiatan selanjutnya, semua kewajiban-kewajiban dengan pemodal telah dipenuhi dengan baik menyangkut dengan pengembaliaan modal usaha maupun pembagian keuntungan yang diperoleh.
Hak-hak dan kewajiban pemberian dan penerima pembiayaan sebagaimana yang telah diuraikan di atas tercamtum dalam akad pembiayaan maupun peraturan lainnya pada kongsi dagang pada sebuah usaha yang telah disepakati bersama.
1.5.  Risiko Kongsi Dagang dalam Kerjasama Mudharabah

Mudharabah adalah suatu kerjasama melalui suatu perjanjian untuk berkongsi dalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain atau penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.[56] Keberadaaan sistem mudharabah dalam sistem ekonomi Islam memberikan keamanan, karena sistem bagi hasil yang dipergunakan menghindarkan dari virus negative spread yaitu kerugian akibat bunga simpanan lebih tinggi dari bunga kredit, sehingga apabila pereokonomian negara sedang dalam keadaan goncang, tidak sedikit pembisnis yang mempergunakan sistem bunga akan mengalami kebangkrutan, karena perkiraan kebijakan yang meleset.
Kerjasama mudharabah dalam Islam kebanyakan digunakan untuk tujuan perdagangan jangka pendek (short-term comercial) dan jenis usaha tertentu (specific venture). Kerjasama tersebut memberikan wewenang terhadap segala macam yang menyangkut pembelian (buying) dan penjualan (selling) barang, yang indikasinya untuk merealisasikan tujuan utama dari perdagangan yang didasarkan pada kontrak.[57] Dalam kerjasama mudharabah, pemodal (shahib al-mal) memberikan modal dan pengelola (mudharib) akan memberikan keahliannya, sedangkan keuntungan dibagi menurut rasio yang disetujui, sehingga seorang mudharib akan mengoptimalkan segala kemampuannya dalam memanage usaha yang dilakukannya supaya menghasilkan keuntungan.[58] Dalam kerjasama mudharabah, diberikan peluang bagi para pembisnis yang tidak mempunyai modal, sehingga dengan sistem ini sedikit banyaknya akan memberdayaakan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi atas dasar kemitraan antara dirinya dan pemberi modal dalam menghasilkan keuntungan untuk dibagihasilkan sesuai dengan rasio yang telah disepakati.
Namun pembiayaan mudharabah mempunyai resiko yang tinggi karena akan selalu menghadapi adanya assymmetric information dan moral hazard, maka shahib al-mal dapat menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib. Batasan-batasan itu dikenal dengan incentive-compatible constraints dan melalui incentive-compatible constraints ini, mudharib secara sistematis “dipaksa” untuk berperilaku memaksimalkan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi mudharib itu maupun bagi shahib al-mal.
Pada dasarnya, ada empat panduan bagi incentive-compatible constraints, yaitu:[59]
1.      Menetapkan kovenan (syarat) agar porsi modal dari pihak mudharibnya lebih besar dan/atau mengenakan jaminan (higher stake in net worth/or collateral). Dalam praktiknya, kovenan yang dapat diterapkan berupa:
a)      Penetapan nilai maksimal rasio hutang terhadap modal. Apabila porsi modal mudharib dalam suatu usaha relatif tinggi, maka insentifnya akan berkurang dengan signifikan, karena ia juga akan menanggung kerugian atas tindakannya.
b)      Penetapan agunan berupa fixed asset. Pengenaan jaminan juga mencegah mudharib melakukan penyelewengan karena jaminan yang sudah diberikannya menjadi harga dari penyelewengan perilakunya (character risk).
c)      Penggunaan pihak penjamin. Seringkali shahib al-mal sebagai pemilik dana tidak mengenal dekat karakter calon mudharib. Menghadapi situasi ini, shahib al-mal dapat saja meminta agar calon mudharib untuk menyediakan pihak penjamin yang mengenal dekat karakter calon mudharib, dan bersedia menjadi penjamin atas character risk calon mudharib.
d)     Penggunaan pihak pengambil alih hutang. Dalam beberapa kasus, pihak penjamin bersedia mengambil alih kewajiban calon mudharib apabila terjadi kerugian yang disebabkan charactervrisk calon mudharib.
2.      Menetapkan kovenan agar mudharib melakukan bisnis yang risiko operasinya lebih rendah (lower operating risk). Dalam prakteknya, kovenan yang dapat diterapkan yaitu:
a)      Penerapan rasio maksimal fixed asset terhadap total aset. Hal ini dimaksudkan agar dana mudharabah tidak digunakan untuk investasi pada fixed asset secara berlebihan, misalnya menentukan rasio maksimal sebesar 20 %. Investasi berlebihan pada fixed asset akan berarti besarnya biaya depresiasi yang akan mendorong besarnya harga pokok penjualan dan akan menyebabkan produk yang dihasilkan kurang kompetitif. Selain itu juga akan berkurangnya ketersediaan dana modal kerja, padahal tanpa modal kerja yang cukup segala investasi fixed asset yang telah dilakukan tidak dapat produktif.
b)      Penerapan rasio maksimal dan biaya operasional terhadap pendapatan operasi. Hal ini dimaksudkan agar mudharib menjalankan operasi bisnisnya secara efesien. Apabila rasio ini mencapai 100%, berarti bisnis mudharib tidak menghasilkan keuntungan operasional, karena tidak ada yang dapat dibagihasilkan. Apabila rasio ini mencapai 80%, berarti ada marjin keuntungan operasional sebesar 20%; keuntungan inilah yang dapat dibagihasilkan dengan shahib al-mal. Untuk memastikan agar mudharib menjalankan bisnis mudharabahnya dengan efisien, maka dapat ditetapkan syarat agar mudharib harus selalu menjaga rasio ini maksimal, misalnya 80%.
3.      Menetapkan kovenan agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan (lower fraction of unobservable cash flow). Dalam prakteknya, kovenan yang dapat diterapkan berupa:[60]
a)      Monitoring secara acak. Inspeksi mendadak (sidak) sempat menjadi istilah populer di Indonesia yang menunjukan keefektifan metode ini dalam mengatasi adanya arus kas yang tidak masuk ke kas negara. Dalam konteks pembiayaan mudharabah, ada jenis bisnis yang arus kasnya tidak dapat dilihat secara transparan. Apabila arus kas bisnis banyak, maka mudharib tidak dapat diketahui secara transparan oleh shahib al-mal, maka besar kemungkinan bagi mudharib untuk berperilaku menyimpang. Pembiayaan mudharabah pada supermarket yang seluruh transaksinya menggunakan cash-register tentu memelukan kovenen yang berbeda dengan pembiayaan mudharabah pada toko yang transaksinya tidak menggunakan cash register. Monitoring secara acak dimaksudkan untuk mengambil sampel ada tidaknya penyimpanan arus kas. Cara ini biasanya diterapkan pada bisnis yang skala usahanya tidak cukup besar untuk dilakukan monitoring secara periodik atau pada bisnis yang musiman (berjangka pendek ).
b)      Monitoring secara periodik. Monitoring ini tentu saja lebih mahal biayanya dibandingkan monitoring secara acak, meskipun tujuannya sama. Dalam metode ini, mudharib didorong untuk menyiapkan laporan periodik atau bisnis yang dibiayai oleh dana mudharabah. Cara ini biasanya diterapkan pada bisnis yang skala usahanya cukup besar untuk dilakukan monitoring secara periodik atau bisnis yang kontinyu (jangka panjang).
c)      Laporan keuangan yang diaudit. Cara monitoring yang lebih kompleks adalah dengan melibatkan pihak ketiga sebagai auditor. Apabila pada metode monitoring secara berkala mudharib dituntut untuk memberikan laporan periodik pada metode ini, maka laporan tersebut akan diperiksa kebenarannya oleh pihak ketiga (auditor), sehingga si shahib al-mal benar-benar yakin bahwa laporan yang disampaikan tersebut benar adanya.
4.      Menetapkan kovenen agar mudharib melakukan bisnis yang biayanya tidak terkontrol rendah (lower fraction of non-controlable costs). Dalam prakteknya, kovenen yang diterapkan berupa: [61]
a)      Revenue sharing. Dalam bisnis yang biaya tidak terduganya besar, tentu hal ini akan menjadi sumber perselisihan antara shahib al-mal dengan mudharib tentang siapa yang harus menanggung biaya-biaya tersebut. Dalam proposal yang diajukan oleh mudharib, biaya tersebut terlihat kecil sehingga shahib al-mal mengharap keuntungan yang besar dari bisnis mudharib tersebut, yang juga berarti bagi hasil yang besar bagi shahib al-mal. Namun timbulnya biaya tidak terduga yang sebelumnya tidak dikomunikasikan oleh mudharib kepada shahib al-mal, tentunya akan mengakibatkan margin keuntungan yang kecil sehingga bagi hasilnya pun kecil.
Munculnya non-controllable cost ini dapat disebabkan oleh faktor mudharib mengetahui bahwa nature of business-nya mengandung non controllable cost yang tinggi, tetapi hal tersebut tidak disampaikan secara transparan kepada shahib al-mal. Selain itu, mudharib mengetahui bahwa nature of business-nya mengandung non controllable cost tinggi, dan mudharib secara transparan menyampaikan hal ini kepada pemilik dana. Jika mudharib telah menyampaikan secara transparan, tanggung jawab sepenuhnya berada pada shahib al-mal, karena berarti shahib al-mal sudah mengetahui risiko bisnis (busssiness risk) yang dihadapinya. Dalam hal mudharib tidak menyampaikan secara transparan, maka untuk menghindari perselisihan mengenai siapa yang harus menanggung biaya tidak terduga ini, maka shahib al-mal dapat menetapkan kovenan bahwa biaya-biaya yang tidak terduga tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab mudharib dan seluruh biaya ditanggung oleh mudharib, atau dengan kata lain, yang dibagihasilkan adalah reveneu.
b)      Penetapan minimal profit marjin. Ada kalanya mudharib lebih mementingkan volume penjualan yang besar dengan mengorbankan tingkat profit marjinnya. Bila ia melakukan bisnis tersebut dengan modalnya sendiri, tentu hal itu sah-sah saja. Namun apabila ia melakukan bisnis tersebut dengan modal orang lain, dalam hal ini shahib al-mal dalam akad mudharabah, tentu ini dapat menzalimi shahib al-mal. Apabila suatu bisnis yang berkembang dengan cepat, didukung oleh biaya promosi yang besar, volume usahanya meningkat tajam, dan melakukan ekspansi dengan membuka cabang-cabang baru, maka usaha mudharib ini akan sehat dan maju. Namun promosi yang besar dan ekspansi ini telah menyebabkan keuntungan bisnis mudharib sangat kecil, sehingga bagi hasil yang dibayarkan kepada shahib al-mal juga sangat kecil.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sistem mudharabah yang ada sekarang merupakan salah satu langkah untuk menjembatani antara pihak yang mempunyai modal dan pihak yang mempunyai skill wirausaha sehingga keduanya terjalin sebuah akad untuk memperoleh keuntungan. Selain itu risiko kongsi dagang dalam kerjasama mudharabah relatif kecil terjadi dibandingkan dengan sistem pembisnis konvensional, karena menerapkan unsur bunga. Keberadaan sistem mudharabah bertujuan untuk memberdayakan masyarakat yang mempunyai keterampilan usaha namun tidak mempunyai banyak modal untuk mengoperasikan usahanya tersebut, sehingga keberadaan mudharabah dapat menjadi sebuah alternatif untuk melakukan kontrak kerjasama yang didasarkan atas semangat Islam yakni keadilan. Namun, tentu saja dalam akad tersebut mengedepankan rasa keadilan sehingga antara satu dengan yang lainnya tidak ada unsur dzalim atau pun eksploitasi yang hanya akan merugikan salah satu pihak saja.




[1] Jurusan Muamalah wa al-Iqtishad Fakultas Syariah IAIN Ar Raniry.

[2]  Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 11, Cet 2, (Beirut: Dar Al-Fikri, 1980), hlm. 212.

[3] Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia,  (Jakarta: Insani Press, 2000), hlm. 32.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 212.

[5] Imam Hanafi, Al-Asybah Wa An-Nadair fi Al-Furu', (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 98.
[6] Imam Syafi’i, Al-‘Umm, Juz II, (Mesir: Maktabah al-Kulliyati, 1961), hlm. 91.

[7] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, al-Mughny, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz 5, 1405), hlm. 134.

[8] Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ‘Ala Madzhabi al-Arba’ah, Juz. III, (Beirut: Darul Fikri, t.t.), hlm. 34.

[9] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkasan), (Terj. The Concise Encyclopedia of Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 276.

[10] Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 95.
[11] Afzalul Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid VI, (Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1990), hlm.  380.

[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta: Bank Indonesia, 1999), hlm. 171.
[13] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 138.

[14] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 176.

[15] Tim Penyusun, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional untuk Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Bank Indonesia, 2001), hlm. 89.
[16] Syekh al-Imam al-Jalil Imam al-din Abu al-Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Beirut: Al-Resalah Publishers, 2000), hlm. 210.

[17] Abu Bakr Jabir Al-Jazaa’iri, Aisaru al- Tafasirli Kalami al-‘Ali al-Kabir, (Damanhur: Daru Lina, 2002), hlm. 128.

[18] Syekh al-Imam al-Jalil Imam al-din Abu al-Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, hlm. 266.

[19] Abu Bakr Jabir Al-Jazaa’iri, Aisaru al- Tafasirli, hlm. 191.
[20] Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, (Gibraltar: Dar al andalus,1984), hlm. 92, dalam  Zaenal Arifin, Realisasi Akad Mudharabah dalam Rangka Penyaluran Dana dengan Prinsip Bagi Hasil di Bank Muamalat Indonesia Cabang Semarang, (Thesis), (Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2007), hlm. 72.

[21] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005), hlm. 30-31.

[22] Hadits Thabrani dikutip oleh Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 96.
[23]  Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz II, (Kairo: Dar Al-Hadist, t.t.), hlm. 768.
[24] Abdullah Saed, Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 91.
[25] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi Ketiga, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 46-47.

[26] Ibid., hlm. 44.

[27] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 39, dan lihat juga dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta: Bank Indonesia, 1999), hlm. 171 dan Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi Ketiga, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 193.
[28] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 139-140.
[29] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 40, dan lihat juga dalam Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005), hlm. 30-36.
[30] Cakap adalah orang dewasa yang telah mengetahui tentang persoalan hukum berdasarkan ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Hadits dan dapat menyelesaikan sesuatu perkara yang berkaitan dengan transaksi maupun hal-hal lainnya.
[31] Zainul Arifin, Akad dan Pengawasan dalam Transaksi Ekonomi Syariah, Makalah Semiloka Program Pasca Sarjana IAIN Jakarta, 2001, hlm. 3, dan lihat juga dalam M. Husain Az-Zihabi, Asy-Syariah al-Islamiyyah, (Mesir: Dar At-Ta'lif, 1968), hlm. 67.
[32] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Sha’bi, t.t.), hlm. 261.

[33] Zainul Arifin, Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Cet. I, (Jakarta: Alvabet, 1999), hlm. 203.
[34] Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan dalam Islam, Cetakan III, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 56.

[35] Muhammad, Manajemen Bank, hlm. 20.
[36] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Diskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonesia, 2004), hlm. 69.

[37] Anonymous, Manajemen Pembiayaan Pada Lembaga Keuangan Syariah, Diakses pada tanggal 30 Desember 2010 dari situs http:// multiplycontent.com/.html.
[38] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, hlm. 18.
[39] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 300.

[40] M. Ridwan, Pemahaman Nasabah terhadap Konsep Akad Pembiayaan Mudharabah dan Kesepakatan Nisbah Pada BMT Bina Ihsanul Fikri Yogyakarta, (Thesis), (Jakarta: Universitas Islam Indonesia, 2007), hlm. 88.

[41] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 191.
[42] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 264.

[43] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: Grasindo, 2005), hlm. 118.
[44] Waqaar Msood Khan, Towards, An Interest-Free Islamic Economic System, (UK: The Islamic Foundation UK and The International Association For Islamic Economies, Islamabad, 1985), hlm. 28, dalam Slamet Margono, Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syariah (Tinjauan Umum Pada BTN Syariah Cabang Semarang), (Thesis), (Semarang: Universitas Diponegoro, 2008), hlm. 69.

[45] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 61.
[46] Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 24.

[47] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI), 2003), Cet-1, hlm. 184.

[48] Ahmad Sumiyanto, Problem dan Solusi Transaksi Mudharabah, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2005), hlm. 10-11.
[49] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 128.

[50] Ibid.
[51] Muhammad, Teknik Perhitungan, hlm. 63-64.
[52] Tim Penyusun Yustisia, Kedudukan, Fungsi, dan Problematika Bisnis, Nomor 69, Edisi September - Desember 2006, hlm. 49.
[53] Muhammad Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law, (New York: The Islamic Foundation Leicester, 1985), hlm. 16.    
[54] Sutan Remy Syahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas Pokok dan Masalah  yang Dihadapi oleh Perbankan, (Bandung: Alumni, Cet. 1, 1999), hlm. 11.
[55] Ibid, hlm. 13.
[56]  Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: AMP YKPN, 2004), hlm. 82.

[57] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 99.
[58] M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dhana Bakti Primayasa, 1997), hlm. 168.

[59] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi II, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. 202-206.
[60] Adiwarman Karim, Bank Islam, hlm. 204.
[61] Adiwarman Karim, Bank Islam, hlm. 205.