Pages

Senin, 02 Mei 2011

PENGERTIAN DAN KONSEP AQAD IJARAH BI AL-MANFA’AH
TERHADAP KEABSAHAN BIAYA OPERASIONAL PASAR ACEH BARU
Oleh: Fadhilatussa’adah [1]


1.1. Pengertian Ijarah Bi Al-Manfa’ah dan Landasan Hukumnya
1.1.1. Pengertian Ijarah Bi Al-Manfa’ah
Kata ijarah tidak saja dibaca dengan hamzah berbaris di bawah (kasrah) tetapi juga dibaca dengan berbaris di atas (fathah) dan berbaris depan (dhammah). Namun demikian pelafalan yang paling populer adalah dengan berbaris dibawah (al-ijarah). Secara bahasa ia digunakan sebagai nama bagi al-ajru yang berarti “ imbalan terhadap suatu perkerjaan ” ( الجزاء على العمل ) dan “pahala” (الثواب).[2] Dalam bentuk lain, kata ijarah juga biasa dikatakan sebagai nama bagi al-ujrah yang berarti upah atau sewa. Selain itu menurut al-Ba’liy,[3]  arti pembahasan lain dari al-Ajru tersebut yaitu “ganti” baik ganti itu diterima dengan didahului akad atau      tidak

Dalam fiqh sunnah, sewa-menyewa disebut dengan kata ijarah. Ijarah berasal dari kata "al-ajru" yang secara bahasa berarti "al-'iwadhu" yaitu ganti. Sedangkan menurut istilah syara', ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.[4] Dalam arti yang luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu.
Nasrun  Haroen dalam bukunya Fiqh Muamalah mengatakan bahwa, lafal al-ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain sebagainya.[5] Sedangkan menurut Sunarto Zulkifli mendefinisikan ijarah dengan transaksi pertukaran antara ‘ayn berbentuk jasa atau manfaat dengan dayn.[6]
Selain pengertian di atas, para Ulama Mazhab juga memberikan definisi terhadap ijarah bi al-manfa’ah. Kelompok Hanafiyah mengartikan ijarah bi al-manfa’ah dengan menggunakan akad yang berisi pemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam jumlah yang disepakati.[7] Definisi lain menurut ulama Hanafiyah ijarah bi al-manfa’ah yaitu transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.[8] Ulama syafi’iyah mendefinisikan ijarah sebagai transaksi terhadap suatu manfa’at yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfa’atkan dengan imbalan tertenntu. Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[9]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa ijarah bi al-manfa’ah adalah pengambilan manfaah suatu benda, dalam hal bendanya tidak berkurang sama sekali. Dengan perkataan lain, dalam praktik sewa-menyewa yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan, sedangkan kepemilikan tetap pada pemilik barang. Sebagai imbalan pengambilan manfaah dari suatu benda, penyewa berkewajiban memberikan bayaran. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ijarah bi al-manfa’ah merupakan suatu kesepakatan yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang yang melaksanakan kesepakatan yang tertentu dan mengikat, yaitu dibuat oleh kedua belah pihak untuk dapat menimbulkan hak serta kewajiban antara keduanya.

1.1.2. Landasan Hukumnya
Dasar hukum merupakan suatu hal yang melandasi lahirnya sesuatu atau menjadi pedoman atas suatu permasalahan. Hukum ijarah banyak di jumpai  dalam nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW serta juga dapat diteliti dalam penjelasan-penjelasan ijma’ para ulama ahli fiqh serta Qiyas. Semuanya merupakan landasan hukum Islam untuk menentukan halal atau haramnya, boleh atau tidak boleh, serta dibenarkan atau dilarangnya suatu tindakan hukum dalam syari’at.
Adapun dasar hukum dari ijarah terdapat dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 233 Allah SWT berfirman:
...وإن أردتم أن تسترضعوا اولادكم فلا جناح عليكم إذا سلمتم ما ءاتيتم بالمعروف واتقوا الله واعلموا أن الله بما تعملون بصير.
Artinya:  ...Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Baqarah: 233)
Dengan demikian surat al-Baqarah ayat 233 merupakan dasar yang dapat dijadikan landasan hukum dalam persoalan sewa-menyewa. Sebab pada ayat tersebut diterangkan bahwa memakai jasa juga merupakan suatu bentuk sewa-menyewa, oleh karena itu harus diberikan upah atau pembayarannya sebagai ganti dari sewa terhadap jasa tersebut. [10]
Adapun dasar hukum dari hadits Nabi SAW adalah:
عن سعدبن ابى وقاص ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:كنا نكرى الأرض بما على السواقى من الزرع فنهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك وامرنا ان نكريها بذهب أو ورق. {رواه  أحمد, ابو  داود و النسائى}[11]
Artinya: Dari Sa’ad bin Abi Waqqash sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: dahulu kami menyewa tanah dengan (jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas dan perak. (HR. Ahmad, Abū Dāwūd dan Nasa'ī).
Hadits tersebut menerangkan bahwa pada zaman dahulu praktik sewa-menyewa tanah pembayarannya dilakukan dengan mengambil dari hasil tanaman yang ditanam di tanah yang disewa tersebut. Oleh Rasululla SAW, cara seperti itu dilarang dan beliau memerintahkan agar membayarkan upah sewa tanah tersebut dengan uang emas dan perak.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
عن ابى هريرة  ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه .{رواه  ابن ماجه}[12]
Artinya: Dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Mājah).
Hadits di atas menjelaskan bahwa, dalam persoalan sewa-menyewa, terutama yang memakai jasa manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan, upah atau pembayaran harus segera diberikan sebelum keringatnya kering. Maksudnya, pemberian upah harus segera dan langsung, tidak boleh ditunda-tunda pembayarannya.
Dari semua ayat dan hadits di atas, Allah menegaskan kepada manusia bahwa apabila seseorang telah melaksanakan kewajiban, maka mereka berhak atas imbalan dari pekerjaan yang telah dilakukan secara halal sesuai dengan perjanjian yang telah mereka perjanjikan. Allah juga menegaskan bahwa sewa-menyewa dibolehkan dalam ketentuan Islam, karena antara kedua belah pihak yang melaksanakan perjanjian (akad) sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang harus mereka terima.
Dengan demikian, dalam ijarah pihak yang satu menyerahkan barang untuk dipergunakan oleh pihak yang lainnya dalam jangka waktu tertentu dan pihak yang lain mempunyai keharusan untuk membayar harga sewa yang telah mereka sepakati bersama. Dalam hal ini, ijarah benar-benar merupakan suatu perbuatan yang sama-sama menguntungkan antara kedua pihak yang melakukan perjanjian (akad).
Sayyid Sabiq menambahkan landasan ijma' sebagai dasar hukum berlakunya sewa-menyewa dalam muamalah Islam. Menurutnya, dalam hal disyari'atkan ijarah, semua umat bersepakat dan tidak seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ini.[13] Para ulama menyepakati kebolehan sewa-menyewa karena terdapat manfaat dan kemaslahatan yang sangat besar bagi umat manusia.



1.2 Rukun dan Syarat Ijarah Bi Al-manfa’ah
Ijarah merupakan bagian dari muamalah yang sering diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian muamalah adalah hubungan antara sesama manusia, maksudnya di sini adalah hubungan antara penyewa dengan orang yang menyewakan harta benda dan lainnya. Di mana dalam kehidupan, manusia tidak dapat terlepas dari manusia lainnya untuk saling melengkapi dan membantu serta bekerja sama dalam suatu usaha.[14] Oleh sebab itu, muamalah menyangkut hubungan sesama manusia dan kemaslahatannya, keamanan serta ketenteraman, maka pekerjaan ini harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas oleh penyewa dan yang menyewakan.
Rukun merupakan hal yang sangat esensial artinya bila rukun tidak terpenuhi atau salah satu di antaranya tidak sempurna (cacat), maka suatu perjanjian tidak sah (batal).
Para ulama telah sepakat bahwa yang menjadi rukun ijarah adalah:
1.      Aqid (pihak yang melakukan perjanjian atau orang yang berakad).
2.      Ma'qud 'alaihi (objek perjanjian atau sewa/imbalan).
3.      Manfaat.
4.      Sighat.[15]
Aqid adalah para pihak yang melakukan perjanjian, yaitu pihak yang menyewakan atau pemilik barang sewaan yang disebut "mu’ajjir" dan pihak penyewa yang disebut "musta’jir" yaitu pemilik barang dan "mu’tari" kepada pihak yang mengambil manfaat dari suatu benda.[16]
Para pihak yang mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap hukum artinya mampu. Dengan kata lain, para pihak hendaklah yang berakal dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak-anak yang belum dapat membedakan, maka akad itu tidak sah. Mazhab Imam Syafi’i dan Hambali bahkan menambahkan satu syarat lagi yaitu, baligh (sampai umur dewasa). Menurut mereka, akad anak kecil sekalipun sudah dapat membedakan, dinyatakan tidak sah.[17]
Ma'qud 'alaihi adalah barang yang dijadikan objek sewa, berupa barang tetap dan barang bergerak yang merupakan milik sah pihak mu’ajjir. Kriteria barang yang boleh disewakan adalah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara agama dan keadaannya tetap utuh selama masa persewaan.[18]
Rukun ijarah yang terakhir adalah sighat. Sighat terdiri dari dua yaitu ijab dan qabul. Ijab merupakan pernyataan dari pihak yang menyewakan dan qabul adalah pernyataan penerimaan dari penyewa. Ijab dan qabul boleh dilakukan secara sharih (jelas) dan boleh pula secara kiasan (kinayah).[19]
Dewasa ini perjanjian ijarah lazimnya dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis, oleh karenanya ijab dan qabul tidak lagi diucapkan, tetapi tertuang dalam surat perjanjian. Tanda tangan dalam surat perjanjian berfungsi sebagai ijab dan qabul dalam bentuk kiasan (kinayah).[20]
Di samping rukun yang telah disebutkan di atas, ijarah juga mempunyai syarat-syarat tertentu, yang apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ijarah menjadi tidak sah. Syarat-syarat tersebut adalah:
a.       Adanya kerelaan para pihak dalam melakukan perjanjian sewa-menyewa
Maksudnya bila di dalam perjanjian sewa-menyewa itu terdapat unsur pemaksaan, maka sewa-menyewa itu tidak sah.[21] Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa' ayat 29:
ياأيها الذين ءامنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ...
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu ... (QS. An-Nisa’: 29).
Berdasarkan ayat ini dapat dijelaskan bahwa ijarah yang dilakukan secara paksaan ataupun dengan jalan yang batil, maka akad ijarah tersebut tidak sah, kecuali apabila dilakukannya secara suka sama suka di antara kedua belah pihak.
Hal senada juga di ungkapkan oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy dalam bukunya terjemahan singkat tafsir ibnu katsier, bahwa berdasarkan ayat di atas Allah melarang hamba-Nya yang mukmin memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil dan cara mencari keuntungan yang tidak sah dan melanggar syari’at, seperti tipu daya yang tampak seakan-akan sesuai dengan hukum syari’at. Allah menyuruh hambanya mencari harta dengan jalan perniagaan yang dilakukan atas dasar suka sama suka oleh kedua balah pihak yang bersangkutan.[22]
Imam Syafi'i berpendapat bahwa ijarah tidak sah menurut syari'at kecuali bila disertai dengan kata-kata yang menunjukkan persetujuan. Sedangkan Imam Malik, Hanafi dan Imam Ahmad cukup dengan serah terima barang yang bersangkutan karena sudah menandakan persetujuan dan suka sama suka.[23]
  1. Segala hal yang berhubungan dengan objek sewa-menyewa harus jelas dan transparan
Segala hal yang berhubungan dengan objek sewa-menyewa harus jelas dan transparan Layaknya suatu perjanjian, para pihak yang terlihat dalam perjanjian sewa-menyewa haruslah merundingkan segala sesuatu tentang objek sewa, sehingga dapat tercapai suatu kesepakatan. Mengenai objek haruslah jelas barangnya (jenis, sifat serta kadar) dan hendaknya si penyewa menyaksikan dan memilih sendiri barang yang hendak disewanya. Di samping itu haruslah jelas tentang masa sewa, saat lahirnya kesepakatan sampai saat berakhirnya. Besarnya uang sewa sebagai imbalan pengambilan manfaat barang sewaan[24]
Di samping hal tersebut di atas tata cara pembayaran uang sewa haruslah jelas dan harus berdasarkan kesepakatan kedua pihak.
c.       Hendaklah barang yang menjadi objek transaksi (akad) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, realita dan syara'
Sebagian di antara para ulama ahli fiqh ada yang membebankan persyaratan ini. Menyewakan barang yang tidak dapat dibagi kecuali dalam keadaan lengkap (seperti kendaraan) hukumnya tidak boleh, sebab manfaat kegunaannya tidak dapat ditentukan. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Abu Hanifah. Akan tetapi jumhiur ulama (mayoritas para ulama ahli fiqh) menyatakan bahwa menyewakan barang yang tidak dapat dibagi dalam keadaan utuh secara mutlak diperbolehkan, apakah dari kelengkapan aslinya atau bukan. Sebab barang dalam keadaan tidak lengkap itu termasuk juga dapat dimanfaatkan dan penyerahan dilakukan dengan mempraktikkan atau dengan cara mempersiapkannya untuk kegunaan tertentu, sebagaimana hal ini juga diperbolehkan dalam masalah jual beli. Transaksi sewa-menyewa itu sendiri adalah salah satu di antara kedua jenis transaksi jual beli dan apabila manfaat barang tersebut masih belum jelas kegunaannya, maka transaksi sewa-menyewa tidak sah atau batal.[25]
d.      Dapat diserahkan sesuatu yang disewakan berikut kegunaan (manfaat)
Tidak sah penyewaan binatang buron dan tidak sah pula binatang yang lumpuh, karena tidak dapat diserahkan. Begitu juga tanah pertanian yang tandus dan binatang untuk pengangkutan yang lumpuh, karena tidak mendatangkan kegunaan yang menjadi objek dari akad itu.[26]
e.       Bahwa manfaat adalah hal yang mubah, bukan diharamkan
Tidak sah sewa-menyewa dalam hal maksiat, karena maksiat wajib ditinggalkan. Orang yang menyewa seseorang untuk membunuh seseorang atau menyewakan rumah kepada orang yang menjual khamar atau digunakan untuk tempat main judi atau dijadikan gereja, maka ia termasuk ijarah fasid (rusak). Demikian juga memberi upah kepada tukang ramal atau tukang hitung-hitung dan semua pemberian dalam rangka peramalan dan berhitung-hitungan, karena upah yang ia berikan adalah sebagai pengganti dari hal yang diharamkan dan termasuk dalam kategori memakan uang manusia dengan batil. Tidak sah pula ijarah puasa dan shalat, karena ini termasuk fardhu 'ain yang wajib dikerjakan oleh orang yang terkena kewajiban.[27]
Dalam buku Fathul Qarib, dijelaskan bahwa untuk sahnya ijarah sebagai berikut:
1.      Untuk sahnya ijarah bahwa setiap benda dapat diambil manfaat serta tahan keadaannya tetapi jika tidak kuat maka tidak sah sewa-menyewa.
2.      Harus adanya ucapan ijab kabul antara kedua belah pihak, lafadznya yaitu: "Saya menyewakan rumah ini kepadamu" dan jawabannya: "saya terima rumah ini".[28]
Namun untuk tercapainya akad-akad yang sah dan mengikat bagi mereka yang mengadakan akad tersebut secara keseluruhan dapat di lihat sebagai berikut:
1)      Tidak menyalahi hukum syari'at
Hal ini adalah suatu akad (perjanjian) yang telah disepakati oleh para pihak dan bukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan syari'at. Sebab perjanjian (akad) yang bertentangan dengan hukum syari'at bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian (akad) yang bertentangan dengan ketentuan hukum syari'at, maka perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum.[29]
2)      Harus sama ridha dan ada pilihan
Maksudnya apa yang hukum telah diakadkan para pihak haruslah didasarkan oleh kesepakatan para pihak, yaitu masing-masing pihak harus ridha akan isi perjanjian tersebut atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak.
Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya, dengan sendirinya perjanjian (akad) yang diadakan tidak didasarkan kepada kehendak bebas para pihak yang mengadakan perjanjian.[30]
3)      Harus jelas dan gamblang
Maksudnya apa yang diperjanjikan para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian (akad), sehingga tidak mengakibatkan kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.[31]
Dengan demikian semua perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak harus sama dengan apa yang telah mereka perjanjikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 34:
...وأوفوا بالعهد إن العهد كان مسئولا.
Artinya: ...Dan tepatilah janji sesungguhnya janji itu diminta pertanggungjawaban. (QS. Al-Isra: 34).
Demikianlah pembahasan mengenai rukun dan syarat ijarah sebagaimana telah diatur menurut ketentuan hukum Islam.





1.3.Macam-Macam Ijarah Bi Al-Manfa’ah
Akad ijarah atau sewa-menyewa merupakan salah satu transaksi dalam muamalat Islam, yang mana manusia tidak akan terlepas darinya. Setiap manusia pasti akan melaksanakan kegiatan sewa menyewa baik dalam skala besar maupun kecil. Oleh karena itu penulis ingin melihat beberapa jenis atau macam ijarah yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembagian ijarah biasanya dilakukan dengan memperhatikan objek ijarah tersebut.
Dilihat dari segi objeknya, para ulama fiqh membagi akad ijarah kepada dua macam:[32]
1.      Ijarah bil 'amal, yaitu sewa-menyewa yang bersifat pekerjaan/jasa. Ijarah yang bersifat pekerjaan/jasa ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut para ulama fiqh, ijarah jenis ini hukumnya dibolehkan apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik dan tukang sepatu. Ijarah seperti ini terbagi kepada dua yaitu:
a.       Ijarah yang bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga.
b.      Ijarah yang bersifat serikat yaitu, seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik dan tukang jahit.
Kedua bentuk ijarah terhadap pekerjaan ini (buruh, tukang dan pembantu), menurut para ulama fiqh hukumnya boleh.[33]
2.      Ijarah bil manfaah, yaitu sewa-menyewa yang bersifat manfaat. Ijarah yang bersifat manfaat contohnya adalah:
a.       Sewa-menyewa rumah.
b.      Sewa-menyewa toko.
c.       Sewa-menyewa kendaraan.
d.      Sewa-menyewa pakaian.
e.        Sewa-menyewa perhiasan dan lain-lain.
Apabila manfaah dalam penyewaan sesuatu barang merupakan manfaah yang dibolehkan syara' untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa.[34]
Dalam pembahasan lain, menurut ketentuan fiqh sunnah, ijarah bi al-manfa’ah dibagi kepada 3 macam yaitu:
1)      Sewa-menyewa tanah
Melihat betapa pentingnya keberadaan tanah, Islam sebagai agama yang luwes membolehkan persewaan tanah dengan prinsip kemaslahatan dan tidak merugikan para pihak, artinya antara penyewa yang menyewakan sama-sama diuntungkan dengan adanya persewaan tersebut. Sebagai agama yang mencintai perdamaian dan persatuan, Islam mengatur berbagai hal mengenai persewaan tanah agar terhindar dari kesalahpahaman dan perselisihan di antara para pihak yang melakukan perjanjian sewa-menyewa.
Dalam suatu perjanjian persewaan tanah, haruslah disebutkan secara jelas tujuan persewaan tanah tersebut, apakah untuk pertanian, mendirikan tempat tinggal atau mendirikan bangunan lainnya yang dikehendaki penyewa.
Bila persewaan tanah dimaksudkan untuk pertanian, maka penyewa harus menyebutkan jenis tanaman yang akan ditanaminya kecuali pemilik tanah memberikan kebebasan kepada penyewa untuk menanam sesuai dengan yang diinginkannya. Menurut Sayyid Sabiq, jika syarat tersebut di atas tidak terpenuhi, maka rusaklah sewa-menyewa tersebut, karena pada dasarnya kegunaan tanah sangatlah beragam.[35]
Dengan tidak jelasnya penggunaan tanah dalam perjanjian dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada hakikatnya akan menimbulkan persengketaan antara kedua pihak. Di samping itu penyebutan jenis tanaman yang akan ditanam akan berpengaruh terhadap waktu sewa dan dengan sendirinya berpengaruh pula terhadap jumlah uang sewa.
2)      Sewa-menyewa binatang
Dalam perjanjian sewa-menyewa binatang, hendaklah disebutkan dengan jelas jangka waktu penyewaan, kegunaan atau tujuan penyewaan, apakah untuk alat pengangkutan atau untuk kepentingan lainnya.
Sebagaimana halnya dengan persewaan lainnya maka persewaan binatang juga mengandung resiko. Resiko dalam persewaan binatang adalah terjadinya kecelakaan atau matinya binatang sewaan. Bila binatang sewaan sejak awal sudah mempunyai cacat atau aib kemudian mati ketika dalam tanggungan penyewa maka persewaan menjadi batal. Tetapi bila binatang tersebut tidak cacat kemudian terjadi kecelakaan dan mati ketika berada dalam tanggungan penyewa maka persewaan itu tidak batal dan orang yang menyewakan wajib menggantinya.[36]
3)      Sewa-menyewa toko dan rumah
Toko merupakan tempat seseorang menjalankan usahanya dengan cara berdagang. Tidak semua orang bisa mempunyai toko pribadi, tetapi bila seseorang berkeinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan cara berdagang. Islam memberikan kemudahan dengan membolehkan persewaan toko atau rumah untuk dijadikan tempat usaha atau sebagai tempat tinggal.
Menurut Abdul Rahman Al-Jaziry dalam bukunya Al-Fiqh ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, ulama fiqh yang sangat populer pembahasannya tentang persewaan toko dan rumah adalah ulama Hanafiyah. Mereka memasukkan persewaan toko dan rumah ke dalam pembahasan barang-barang yang sah disewakan, di samping persewaan tanah, binatang, tenaga manusia dan pakaian. Menurut beliau toko-toko dan rumah-rumah boleh disewakan tanpa disertai dengan penjelasan tentang tujuan penyewaan.
Berdasarkan pendapat ulama Hanafiyah di atas dapat dipahami, bahwa penyewa mempunyai kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang dikehendakinya dalam batas-batas yang wajar, artinya tidak mengakibatkan kerusakan pada bangunan yang disewa. Namun wajib menggantikannya apabila terjadi kerusakan terhadap rumah atau toko yang dikhususkan untuk didiami namun dipergunakan dalam bentuk yang lain.[37]
Menurut Ascarya dalam bukunya Akad dan Produk syari’ah, dalam hukum Islam ijarah di bagi dua yaitu:
1.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
2.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa.[38]
Sedangkan menurut Ali Hasan, ijarah dapat dibagi ke dalam dua macam yaitu Ijarah yang bersifat manfaat dan ijarah yang bersifat pekerjaan.
1.      Ijarah yang bersifat manfaat
Ijarah yang bersifat manfaat adalah setiap objek yang dijadikan barang untuk penyewaan dapat dimanfaatkan dan manfaat tersebut dibolehkan syara’ seperti sewa-menyewa toko, mobil, rumah, pakaian pengganti dan perhiasan.[39]
2.      Ijarah yang bersifat pekerjaan
 Ijarah yang bersifat pekerjaan adalah dengan cara memperkerjakan seseorang untuk melakukan pekerjaan. apabila orang yang dipekerjakan itu bersifat pribadi, maka seluruh pekerjaan yang ditentukan menjadi tanggung jawabnya. Ijarah semacam ini ini dapat dicontohkan seperti buruh bangunan, tukang jahit, atau yang bersifat pribadi seperti menggaji pembantu rumah, tukang kebun, dan satpam.[40]



1.4.Konsep Aqad Ijarah Bi Al-Manfa’ah
 Akad ijarah atau perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu transaksi dalam muamalah Islam, yang mana manusia tidak akan terlepas darinya. Setiap manusia pasti akan melaksanakan kegiatan sewa menyewa baik dalam skala besar maupun kecil. Imam Syafi’i dan Ahmad mengatakan berlangsungnya akad ijarah manfaah jika seseorang menyewakan barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.[41]
Dalam hukum Islam, orang yang menyewakan diistilahkan dengan "mu’ajjir", sedangkan penyewa disebut "musta’jir" dan benda yang disewakan disebut "ma’jur". Imbalan atas pemakaian manfaat disebut "ajran" atau "ujrah".[42] Perjanjian sewa-menyewa dilakukan sebagaimana perjanjian yang didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu setelah berlangsung akad, maka para pihak saling serah terima. Pihak yang menyewakan (mu’ajjir) berkewajiban menyerahkan barang (ma’jur) kepada penyewa (musta’jir) dan pihak penyewa berkewajiban memberikan uang sewa (ujrah). Dalam arti yang luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Kelompok Hanafiyah mengartikan ijarah dengan menggunakan akad yang berisi pemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam jumlah yang disepakati.[43]
Dalam sewa menyewa barang, musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad, seperti penyewaan toko untuk berjualan baju, ketika akad dinyatakan bahwa toko itu disewa untuk berjualan baju, kemudian toko tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka toko itu pun harus digunakan untuk berjualan baju. Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja, boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang.[44]
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemillik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir. Bila kecelakaan atau kerusakan benda akibat kelalaian Musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri, misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang layak.[45]
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.      Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa
2.      Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan  sebagainya.
3.      Terpenuhnya barang yang diupahkan (ma’jur alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan. Serta pendapat menurut Hanafiyah, boleh fasakh kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.[46]
Sedangkan menurut para ulama Akad Al-Ijarah akan berakhir apabila:
1.      Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir. Apabila    rumah yang disewakan, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya
2.      Objek ijarah hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahid hilang. Kedua hal ini disepakati oleh para ulama fiqih.[47]
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap (‘iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya. Sedangkan Mazhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak mesti mengembalikan untuk menyerah terimakan barang sewaan tersebut, seperti barang titipan.[48]
Pada dasarnya Islam membolehkan persewaan berbagai barang yang mempunyai manfaat dan memberikan keuntungan kepada manusia. Islam hanya memberikan batasan-batasan agar terciptanya kerja sama yang baik antar berbagai pihak dan terlaksananya prinsip sewa-menyewa itu sendiri yaitu "keadilan" dan "kemurahan hati", sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 90:
إن الله يأمر بالعدل والإحسان...
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan... (QS. An-Nahl: 90)
Selain itu, tidak saling menzalimi antara kedua belah pihak (penyewa dan yang menyewakan), sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 279:
...لا تظلمون ولا تظلمون .
Artinya:...Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) teraniaya. (QS. Al-Baqarah: 279)
Berlaku adil dan berbuat kebajikan menjadi kewajiban setiap muslim dalam segala aktivitas kehidupan, begitu pula dengan perintah Allah untuk tidak saling menyakiti dan menganiaya orang lain. Dalam hubungannya dengan sewa-menyewa merupakan  suatu bentuk transaksi bisnis yang melibatkan banyak pihak, sehingga dituntut untuk berlaku adil dan saling menghormati.
1.5.Pendapat Ulama Tentang Konsep Ijarah Bi Al-Manfa’ah
Ijarah mempunyai konsep dasar yang kuat dalam hukum Islam. Hal ini dapat dilihat pada berbagai dalil yang membicarakannya, baik yang bersumber dari Al-Qur'an, hadits, ijma' dan qiyas. Menurut pendapat para ulama ijarah atau sewa menyewa barang  dibolehkan syara’.[49]
Menurut Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatul Mujtahid mengatakan sewa menyewa dibolehkan menurut seluruh para Fuqaha segenap daerah serta generasi pertama, dikisahkan dari Al-Asham dan Ibnu Aliyah. Adapun syubhat orang yang melarang sewa menyewa adalah bahwa tindakan saling mengganti hanya didapatkan pada penyerahan harga dengan diserahkannya barang seperti keadaan yang ada pada barang-barang yang dapat diraba, sedangkan manfa’ah yang ada dalam sewa menyewa pada saat terjadinya akad tidak ada. Maka hal tersebut merupakan penipuan dan termasuk jual beli sesuatu yang tidak ada. Sedangkan menurut Fuqaha sewa menyewa meski tidak ada terdapat manfa’ah pada saat transaksi akad, pada dasarnya manfa’ah itu akan dapat dipenuhi. Sedangkan dari manfaah tersebut, syara’ hanya memperhatikan transaksi yang pada dasarnya akan dapat dipenuhi. Atau adanya keseimbangan antara dapat dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi, menurut Fuqaha diantara masalah yang disepakati yang tidak sah adalah semua jenis sewa menyewa barang yang manfaahnya diharamkan karena dzat barang itu sendiri. Fuqaha telah bersepakat tentang kebolehan menyewakan rumah. Kendaraan (hewan), dan jasa yang tidak dapat dilarang (mubah). [50]
Mengenai kebolehan sewa menyewa manfa’ah, Syafi’i dan Malik mensyaratkan agar manfaah mempunyai nilai secara mandiri. Karena itu, tidak boleh menyewakan apel untuk dicium, atau makanan sebagai penghias toko, karena manfaah ini tidak mempunyai nilai secara mandiri (independent).[51] Hal  senada juga diungkapkan oleh Ulama Fikih akad ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad ijarah tidak berlaku bagi pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu adalah materi (benda), sedangkan akad ijarah itu hanya berlaku kepada manfaah saja.[52]
Menurut pendapat Malik dan Ahmad akad ijarah (sewa menyewa) harus dikerjakan oleh kedua belah pihak. Tidak boleh salah seorang sesudah akad yang shahih itu membatalkan, walaupun karena uzur melainkan kalau terdapat sesuatu yang memasakhkan akad, seperti terdapat cacat pada benda yang disewa itu.[53] Transaksi sewa menyewa harus dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu pihak penyewa dan yang menyewa. Apabila dilakukan oleh sebelah pihak maka akad tersebut batal karena dapat mengakibatkan cacat pada benda yang sewakan.
Berdasarkan pendapat ulama di atas, maka konsep sewa menyewa barang dibolehkan syara’. Meskipun tidak terdapat manfaah pada saat transaksi akad, karena syara’ hanya memperhatikan transaksi yang pada dasarnya manfaah itu akan dapat dipenuhi atau adanya keseimbangan antara dapat dipenuhi dan tidak. Dalam hal sewa menyewa manfa’ah tidak berlaku sewa menyewa pohon untuk di ambil buahnya karena buahnya itu adalah materi (benda). Karena akad ijarah itu hanya berlaku manfa’ah saja.


[1] Mahasiswi Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Jurusan Muamalah wal Iqtishad
[2]Muhammad bin Mukram bin Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, t. th. ), Juz 4, hlm. 10.

[3]Muhammad bin Abi al-Fathal al-Ba’liy al-Hanbaliy, al-Muthli’ ‘Ala Abwah al-Muqni’, (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1984), hlm. 224.


[4] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 13, (bandung: PT. Alma’arif, 1987),hlm. 7.

[5] Nasrun  Haroen, Fiqh Muamalah, Cet II, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). hlm. 228.

[6]Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari.ah, (Jakarta: Zikru Hakim, 2003), hlm. 42.
 
[7] Helmi Karim, Fiqh Mu'amalah, (Bandung: Al-Ma'arif, 1997), hlm. 73.

[8] Al-Kasani, Al-Bada'i ash-Shana'i, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 174.

[9] Ibnu Qudamah, Al- Mughniy, Jilid V, (Terj. Amir Hamzah), (bandung: PT. Toha putra), hlm. 398.
[10] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly), (Semarang: Toha Putra, 1993),  hlm. 67.

[11] Imam Nasaiy, Sunan Nasaiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 271.

[12] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Kairo: Darul Fikri, t.t.), hlm. 87.
[13] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 18.

[14]Ibid., hlm. 19.
[15] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 231.

[16]Khairunnisa’,”Analisis Terhadap Penggunaan Akad Rahn Dan Ijarah Dalam Objek Gadai Emas Diperum Pegadaian Cab Banda Aceh”, Banda Aceh, 26 Januari 2011, hlm. 32. Abdul Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, Juz III, (Beirut: Dar al Fikr, t.t.), hlm. 100.

[17]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah hlm. 19.

[18] Ibid.
[19] Ibid., hlm. 101.

[20]Khairunnisa’.” Analisis Terhadap Penggunaan Akad Rahn Dan Ijarah Dalam Objek Gadai Emas Diperum Pegadaian Cab Banda Aceh”, Abdul Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, Juz III, hlm. 101.

[21] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 12
[22] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, (Surabaya: Bina Ilmu, 1989), hlm. 361.

[23]Ibid., hlm. 362
[24]  Sayed Sabiq, Fiqh Sunnah,  Jilid 13, hlm. 12
[25]Ibid . hlm. 13.

[26] Ibid.,
[27] Ibid.hlm. 14

[28] Syekh Muhammad Bin Qasim Asy-Syafi’i, Fathul Qarib, (Terj. Imran Abu Umar), Jilid I, (Surabaya: Menara Kudus, 1992), hlm. 298.

[29] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Islam, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 3.

[30] Ibid,

[31] Ibid., hlm. 4.
[32] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 759-761.

[33] Ibid.

[34] Ibid.
[35] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 24.
[36]  Ibid.
[37] Abdul Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, Juz III, hlm, 129.

[38] Ascarya, Akad dan Produk Syari’ah, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 99.

[39]M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), hlm. 229.

[40] Ibid.,

[41] Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 121-122.

[42]Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian Islam, hlm. 92.

[43]Helmi Karim, Fiqh Mu’amalah, hlm. 73.

[44] Ibid.
,
[45]Ibid.,
[46] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm.20.

[47] Wahbah Zuhaili,  al-fiqhal-islam wa adillatuh, jilid IV, hlm. 791.
[48]Habib Nazir & Muh. Hasan, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, (Bandung:  Kaki Langit, 2004), hlm. 246.
[49]Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Mazhab), ( Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 428.
[50] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Terj. Abu Usman fakhtur rokhman), (jakarta: pustaka azzam, 2007), hlm. 436.

[51] Ibid., hlm. 75.

[52] Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam ( Fiqh Muamalah), hlm. 228.

[53]Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab,  hlm. 428.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar