Pages

Kamis, 28 April 2011

ZAKAT DALAM ISLAM



1.1.Pengertian Zakat
Zakat menurut etimologi (bahasa), berarti nama’ yang artinya kesuburan, taharah berarti kesucian, barakah berarti keberkahan, dan tazkiyah berarti mensucikan. Syara’ memakai kata tersebut untuk kedua arti ini.[1]
Pertama, dengan zakat, diharapkan akan mendatangkan kesuburan pahala. Kedua, zakat itu merupakan suatu kenyataan jiwa suci dari kikir dan dosa. Al Imam An Nawai mengatakan bahwa zakat, mengandung makna kesuburan. Kata zakat dipakai untuk dua arti yaitu subur dan suci.[2] Ibnul ‘Arabi mengatakan bahwa zakat digunakan untuk sedekah yang wajib, sedekah sunat, nafakah, kemaafan dan kebenaran. Abu Muhammad Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa lafadh zakat diambil dari kata zakah yang berarti nama’ atau kesuburan dan penambahan. Harta yang dikeluarkan disebut zakat karena menjadi sebab bagi kesuburan harta.[3]

Sedangkan secara terminologis (istilah) zakat didefinisikan oleh ulama sebagai berikut:
a.       Mazhab Maliki
Zakat merupakan pengeluaran sebahagian dari harta yang khusus yang telah mencapai nisab (batas kuantitas minimal yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
b.      Menurut Hanafi
      Mereka mendefinisikan zakat dengan menjadikan sebagian harta yang khusus, yang ditentukan oleh syari’ah karena Allah.
c.       Mazhab Syafi’
Mereka mendefinisikan zakat sebagai sebuah ungkapan keluarnya harta sesuai dengan cara khusus.
d.      Mazhab Hanbali
      Zakat adalah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula, yaitu kelompok yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
Menurut pandangan ulama lain juga dikemukakan bahwa:
a.       Menurut Yusuf Qardawi
1.      Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya (muzakki), untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya (mustahik) dengan persyaratan tertentu pula.
2.      Zakat merupakan ibadah maaliyah ijtima’iyyah, artinya ibadah di bidang harta yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam membangun masyarakat. Karena itu, di dalam Al-Qur’an dan Hadist, banyak perintah untuk berzakat, sekaligus pujian bagi yang melakukannya.
b.      Nawawi
Zakat adalah “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT diserahkan kepada orang-orang yang berhak”, di samping berarti “mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.” Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan.
c.       Al Mawardi
Zakat adalah sebutan untuk pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu untuk diberikan kepada golongan tertentu.
d.   Asy Syaukani
            Zakat adalah memberi suatu bagian dari harta yang sudah sampai nishab kepada orang fakir  dan sebagainya, yang tidak berhalangan syara’ sebagai penerima.
Para pemikir ekonomi Islam kontemporer mendefinisikan zakat sebagai harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang, kepada masyarakat umum atau individu yang bersifat mengikat, tanpa mendapat imbalan tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta, yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an serta untuk memenuhi tuntutan politik bagi keuangan Islam.[4]
Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan dengan pengertian menurut istilah sangatlah nyata dan erat sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, dan berkembang.
Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa zakat adalah sejumlah harta tertentu dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya.

1.2.Landasan Hukum Zakat
Hukum-hukum mengenai zakat telah ditetapkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan dijelaskan pula oleh Rasulullah  dalam As-Sunnah yang suci. Adanya penjelasan itu perlu  karena manusia memang sangat membutuhkan keterangan tentang masalah zakat karena zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam yang lima, yang merupakan pilar agama yang tidak dapat berdiri tanpa pilar ini. Zakat, hukumnya wajib ai’n (fardhu ai’n) bagi setiap muslim apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at. Zakat, merupakan kewajiban yang disepakati oleh umat Islam dengan berdasarkan dalil Al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’ sebagai dasar tersebut.[5]


1.      Al-Qur’an
Firman Allah SWT tentang  anjuran menunaikan zakat, antara lain terdapat dalam Qur’an Surah Al-Taubah : 103
Artinya :                                                      
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketentraman jiwa buat mereka. Dan Allah Maha Mendengar, Lagi Maha Penyayang.
Pada ayat lain Allah SWT berfirman dalam Qur’an surah Al-Hajj : 41
Artinya :
 (yaitu) orang-orang yang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka dimuka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar dan kepada Allahlah kembalinya segala urusan.




2.      Hadist
Bahkan ketika Rasulullah mengutuskan Mua’adz bin Jabal ke Yaman,beliau memberikan wejangan beberapa hal termasuk diantaranya zakat yang wajib ditunaikan jika penduduk di sana telah masuk Islam. Beliau bersabda :

عن  ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم بعث معاذا رضي الله عنه إلى اليمن فقال: ا أدعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فإن هم أطاعوا لذالك فأعلمهم أن الله قد افتر ض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة، فإن هم أطاعوا لذالك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم تؤخذ من أغنيائهم وترد على  فقرائهم ( رواه البخا ري  ومسلم)[6]
Artinya:
Dari Ibnu Abbas RA bahwa Nabi SAW mengutus Mu’adz RA ke Yaman seraya bersabda, “Serulah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Apabila mereka mentaatinya, maka beritahukan bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu setiap hari dan malam. Apabila mereka menaatinya, maka beritahukan bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sedekah dalam harta mereka yang diambil dari orang- orang kaya diantara mereka lalu diberikan kepada orang- orang miskin mereka”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa, Rasulullah SAW mengutus Mua’adz ke Yaman untuk memberitahukan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Setelah mereka menyakininya, maka suruhlah mereka mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam. Dan setelah itu dikerjakan, maka Allah mewajibkan atas mereka untuk membayar zakat dari harta mereka yang diambil dari orang- orang kaya untuk diberikan kepada orang- orang yang miskin yang membutuhkan di antara mereka.
Ayat-ayat dan hadist di atas menjelaskan tentang anjuran membayar zakat kepada setiap muslim, karena dengan  membayar zakat, harta dan dirinya menjadi bersih dari kotoran dan dosa yang menyertainya yang disebabkan oleh harta yang dimilikinya. Ayat di atas juga menyebutkan kata zakat bersamaan dengan shalat, kata zakat dan shalat  disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 82 kali. Dalam banyak ayat, zakat disebutkan dalam rangkaian kata yang saling beriringan dengan shalat, sehingga zakat memiliki kedudukan yang sama dengan shalat, tidak seperti kewajiban-kewajiban lainnya. Dengan penyebutan yang beriringan ini, shalat dan zakat tidak bisa di pisahkan. Oleh karena itu tidaklah seseorang diterima shalatnya manakala zakatnya tidak ditunaikan.[7]
3.      Ijma’
            Ijma’ ulama adalah kesepakatan ulama salaf (terdahulu) dan ulama khalaf (kontemporer) telah sepakat terhadap kewajiban zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti kafir dan sudah keluar dari Islam.[8] Para ulama klasik dan ulama kontemporer telah sepakat tentang zakat wajib dilakukan oleh setiap muslim yang memiliki harta benda dan telah sampai nisab serta haulnya.[9]

1.3.Penerima atau Mustahik Zakat
Secara khusus Al-Qur’an telah memberikan perhatian dengan menerangkan kepada siapa zakat itu harus diberikan. Firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 60  yaitu :

Artinya:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf, yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Lagi Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah:60).   

Ayat tersebut dengan jelas menerangkan tentang golongan-golongan yang berhak menerima zakat (mustahik zakat). Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas dalam kitabnya beliau menulis sebagai berikut, “Tatkala Allah SWT menyebutkan penentangan orang-orang munafik yang bodoh itu atas penjelasan Nabi SAW dan mereka mengecam beliau mengenai pembagian zakat, maka kemudian Allah menerangkan dengan tegas bahwa Dialah yang membaginya, Dialah yang menetapkan ketentuannya, dan Dia pula yang memproses ketentuan-ketentuan zakat itu sendirian, tanpa campur tangan siapapun. Dia tidak pernah menyerahkan masalah pembagian ini kepada siapapun selain Dia. Maka Dia membagi-bagikan kepada orang-orang yang telah disebutkan dalam ayat di atas.”[10]
Di bawah ini penulis uraikan asnaf atau golongan yang berhak menerima zakat yaitu :
1.      Fakir dan miskin
            Meskipun kedua kelompok ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan, akan tetapi dalam teknis opersional sering dipersamakan, yaitu mereka yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memilikinya akan tetapi sangat tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usahanya.[11]
 Adapun yang dimaksud dengan fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau hasil usaha (pekerjaan) untuk memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan tanggungannya termasuk makanan, pakaian, tempat tinggal keperluan-keperluan lain. Sedangkan yang dimaksud dengan miskin adalah yang mempunyai harta dan hasil usaha (pekerjaan) akan tetapi masih tidak mencukupi untuk menanggung dirinya dan tanggungannya.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa fakir dan miskin adalah dua golongan tapi satu macam. Yang dimaksud adalah mereka yang kekurangan dan dalam kebutuhan. Tetapi para ahli tafsir dan ahli fiqih berbeda pendapat pula dalam menentukan secara definitif arti kedua kata tersebut secara tersendiri, juga dalam menentukan apa makna kata itu.[12]
Pemuka ahli tafsir, Al-thabari menegaskan bahwa, yang dimaksud dengan fakir yaitu orang yang dalam kebutuhan, tapi dapat menjaga diri tidak meminta-minta. Sedang yang dimaksud dengan miskin, yaitu orang yang dalam kebutuhan, tapi suka merengek-rengek dan minta-minta. Diperkuatnya lagi pendapatnya itu dengan berpegang pada arti kata maskanah (kemiskinan jiwa) yang sudah menunjukkan arti demikian.[13]
Kedua kelompok tersebut berhak mendapatkan zakat sesuai kebutuhan pokoknya selama setahun, karena zakat berulang setiap tahun. Patokan kebutuhan pokok yang akan dipenuhi adalah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan pokok lainya dalam batas-batas kewajaran tanpa berlebih-lebihan. Diantara pihak yang dapat menerima zakat dari kedua kelompok ini  yaitu orang-orang yang memenuhi syarat “membutuhkan”. Maksudnya, tidak mempunyai pemasukan atau harta, atau tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya.

2. Amil (pengurus zakat)
Sasaran ketiga dari pada sasaran zakat setelah fakir dan miskin  adalah para amil zakat. Yang dimaksud dengan amil zakat ialah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari  mengumpulkan, menyimpan, menjaga, mencatat berapa zakat masuk dan keluar serta sisanya dan juga menyalur atau mendistribusikannya kepada mustahik zakat. Allah menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan dan tidak diambil dari selain harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintahan dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintahan yang berwenang oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang dikenakan kewajiban membayar zakat.[14]
Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh Amilin adalah sebagai berikut :
a.       Muslim
b.      Mukallaf
c.       Jujur
d.    Memahami hukum-hukum zakat
e.       Kemampuan untuk melaksanakan tugas dan
f.       Amil zakat diisyaratkan laki-laki.
Amil Zakat memiliki dua tugas pokok yaitu :
1. Melakukan pendataan secara cermat dan teliti terhadap muzakki pada saat         menyerahkan zakat, mengadministrasikan serta memeliharanya dengan baik      dan tanggung jawab, melakukan pembinaan, menagih dan menerima zakat.
2.  Melakukan pendataan terhadap mustahik zakat, menghitung jumlah      kebutuhannya dan menentukan kiat pendistribusiannya, yakni diberikan     secara langsung atau sebagai modal usaha.
Amil tetap diberi zakat walaupun ia kaya karena yang diberikan kepadanya adalah imbalan kerjanya bukan merupakan pertolongan bagi yang membutuhkan. Kelompok amil zakat berhak mendapat bagian dari zakat, maksimal 1/8 atau 12,5 %, dengan catatan bahwa petugas zakat ini memang melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-baiknya dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut. Jika hanya di akhir bulan ramadhan saja (dan biasanya hanya untuk pengumpulan zakat fitrah saja), maka seyogianya tidak mendapatkan bagian zakat 1/8, melainkan hanyalah sekedarnya saja untuk keperluan administrasi ataupun konsumsi yang mereka butuhkan, misalnya 5% saja. Bagian untuk amil ini pun termasuk untuk biaya transportasi maupun biaya-biaya lain yang dibutuhkan untuk melaksakan tugasnya. [15]
3. Muallaf (orang-orang yang dibujuk hatinya)
Yaitu kelompok orang yang dianggap masih lemah imannya, karena baru masuk Islam. Mereka diberi zakat agar bertambah kesungguhan dalam memeluk Islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala pengorbanan mereka dengan masuk Islam tidak sia-sia.[16] Dengan menempatkan golongan ini sebagai sasaran zakat, maka jelas bagi kita bahwa zakat dalam pandangan Islam bukan sekedar perbuatan baik yang bersifat kemanusiaan melulu dan bukan pula sekedar ibadah yang dilakukan secara pribadi, akan tetapi juga merupakan tugas penguasa atau mereka yang berwewenang untuk mengurus zakat.
Di antara kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat dari kelompok muallaf  yaitu :
a.          Orang-orang yang diberi sebagian zakat agar kemudian memeluk Islam.
b.         Orang-orang yang diberi zakat dengan harapan agar keistimewaannya      kian baik dan hatinya semakin mantap.
c.          Orang-orang muallaf yang diberi zakat lantaran rekan-rekan mereka yang masih diharapkan juga memeluk Islam.
4.      Riqab (Hamba sahaya)
Riqab adalah, golongan mukatab yang ingin membebaskan diri, artinya budak yang telah dijanjikan oleh tuannya  akan dilepaskan jika ia dapat membayar sejumlah tertentu dan termasuk pula budak yang belum dijanjikan untuk memerdekakan dirinya.[17]
Adapun cara membebaskan perbudakan ini biasanya dilakukan dua hal, yaitu:
a.       Menolong pembebasan diri hamba mukatab, yaitu budak yang telah membuat kesepakatan dan perjanjian dengan tuannya, bahwa ia sanggup membayar sejumlah harta (misalnya uang) untuk membebaskan dirinya.
b.      Seseorang atau kelompok orang dengan uang zakatnya atau petugas zakat dengan uang zakat yang telah terkumpul dari para  muzakki, membeli budak untuk kemudian dibebaskan.
Mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka zakat mereka dialihkan ke golongan mustahik lain menurut pendapat mayoritas ulama fiqh (jumhur). Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan.[18]
5.      Gharimin (orang-orang yang memiliki hutang)
Yaitu orang-orang yang menanggung hutang dan tidak sanggup untuk membayarnya karena telah jatuh miskin.[19] Mereka bermacam-macam di antaranya orang yang mendapat berbagai bencana dan musibah, baik pada dirinya maupun pada hartanya, sehingga mempunyai kebutuhan mendesak untuk berhutang bagi dirinya dan keluarganya.
Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut yaitu :
a.       Hutang itu tidak timbul karena kemaksiatan
b.      Orang tersebut berhutang dalam melaksanakan ketaatan atau mengerjakan sesuatu yang dibolehkan oleh syariat.
c.       Sipengutang tidak sanggup lagi melunasi utangnya
d.      Utang itu telah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberi kepada si pengutang.
Orang yang berhutang karena kemaslahatan dirinya harus diberi sesuai dengan kebutuhannya, yaitu untuk membayar lunas hutangnya. Apabila ternyata ia dibebaskan oleh orang yang memberi hutang, maka ia harus mengembalikan bagiannya itu.
6.      Fi sabilillah
Yang dimaksud dengan fi sabilillah adalah orang yang berjuang di jalan Allah dalam pengertian luas sesuai dengan yang ditetapkan oleh para ulama fikih. Intinya adalah melindungi dan memelihara agama serta meniggikan kalimat tauhid, seperti berperang, berdakwah, berusaha menerapkan hukum Islam.[20] Golongan yang termasuk dalam katagori fi sabilillah adalah, da’i, suka relawan perang yang tidak mempunyai gaji, serta pihak-pihak lain yang mengurusi aktifitas jihad dan dakwah.
Pada zaman sekarang bagian fi sabilillah dipergunakan untuk membebaskan orang Islam dari hukuman orang kafir, bekerja mengembalikan hukum Islam termasuk jihad fi sabilillah diantaranya melalui pendirian pusat Islam yang mendidik pemuda muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah dan kekufuran serta mempersiapkan diri untuk membela Islam dari musuh-musunya.
7.      Ibnu sabil
Yang dimaksud dengan ibnu sabil adalah orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan, untuk saat sekarang, di samping para musafir yang mengadakan perjalanan yang dianjurkan agama. Ibnu sabil sebagai penerima zakat sering dipahami dengan orang yang kehabisan biaya diperjalanan ke suatu tempat bukan untuk maksiat. Tujuan pemberian zakat untuk mengatasi ketelantaran, meskipun di kampung halamannya ia termasuk mampu. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Islam memberikan perhatian kepada orang yang terlantar. Penerima zakat pada kelompok ini disebabkan oleh ketidakmampuan yang sementara. Para ulama sepakat bahwa mereka hendaknya diberi zakat dalam jumlah yang cukup untuk menjamin mereka pulang. Pemberian ini juga diikat dengan syarat bahwa perjalanan dilakukan atas alasan yang bisa diterima dan dibolehkan dalam Islam. Tetapi jika musafir itu orang kaya di negerinya dan bisa menemukan seseorang yang meminjaminya uang, maka zakat tidak diberikan kepadanya.[21] Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut yaitu:   
a.       Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
b.      Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at Islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
c.       Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang belum jatuh tempo, atau kepada orang lain yang tidak diketahui keberadaannya, atau kepada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau kepada orang yang mengingkari hutangnya, maka semua itu tidak menghalanginya.


1.4.Sistem Penyaluran Zakat
Zakat adalah sebuah ibadah yang berkaitan dengan harta benda, dan juga berdimensi sosial ekonomi. Zakat merupakan kewajiban ilahiah dimana menjalankannya merupakan keharusan sangat penting dan tidak bisa dihindarkan. Islam tidak hanya menempatkan kaidah-kaidah formalitas dan aturan cara pelaksanaan. Namun juga menghadapkan kita pada prinsip dasar umum dan aturan-aturan pasti dalam membelanjakan harta di jalan Allah SWT. Prinsip-prinsip menolong masyarakat mencetak dan membentuk sikap dan kehidupan yang teratur dalam Islam.[22]
Islam datang dengan sistem zakatnya yang memungkinkan masyarakat bisa mengembangkan peradabannya. Zakat bila terkumpul melalui lembaga amil, maka ia akan lebih berdayaguna, lebih optimal dan lebih efektif dibandingkan apabila disalurkan secara pribadi lansung kepada mustahik zakat. Penitipan zakat melalui amil  merupakan contoh kongkrit dari manajemen zakat pada masa Nabi SAW dan para khulafa’ur Rasyidin.
Kesuluruhan kegiatan ibadah dalam Islam dilandasi kebersamaan, maka usaha-usaha pengumpulan zakat hendaknya dijalankan agar pembagiannya tersalurkan secara sistematis, penyaluran zakat menjadi kewajiban perorangan yaitu setiap muslim bertanggung jawab penuh terhadap kewajiban ini, pembayaran zakat hendaknya menggunakan pertimbangan terbaiknya untuk menemukan penerima yang paling berhak.[23]
      Mengingat tugas distribusi zakat satu tanggung jawab yang penting, Allah SWT telah menjelaskan golongan yang berhak menerima zakat secara terperinci dalam Surah At-Taubah ayat: 60, dari sini bisa kita fahami bahwa zakat perlu didistribusikan kepada semua golongan dan tidak boleh kepada beberapa golongan saja jika semua mereka ada. Pandangan ini berdasarkan kepada bahwa kedelapan golongan tersebut adalah milik atau tuan punya zakat tersebut. Dengan kata lain, zakat tidak wajar disalurkan kepada kurang dari delapan golongan  jika semua pihak ada pada saat itu.  
Zakat didistribusikan secara langsung kepada orang-orang yang berhak, baik kepada satu atau lebih penerima zakat maupun kepada organisasi kesejahteraan yang mengurus fakir dan miskin. Namun hendaknya harus mencari orang-orang yang benar-benar membutuhkannya. Untuk menghindari penyaluran zakat kepada orang-orang yang salah, maka pembayaran zakat hendaknya memastikan dulu apakah penerima itu orang yang membutuhkan atau tidak. Jika zakat disalurkan tanpa penyelidikan terlebih dahulu, dan kemudian diketahui bahwa penerima itu orang kaya, maka zakat perlu dikeluarkan lagi untuk kedua kalinya.
Pada sisi lain, Imam syafi’, Imam Malik, Abu Yusuf al- Tsawri dan Ibn al-Mansur berpendapat bahwa tidaklah sah bagi pembagian zakat jika memberikan kepada yang tidak berhak, khususnya ketika kesalahan menjadi jelas. Dalam hal ini, pembayaran zakat wajib mengeluarkannya lagi kepada yang berhak.[24]
Masalah penyaluran erat kaitannya dengan hak-hak individu dalam masyarakat. Penyaluran merupakan bagian terpenting dalam bentuk kesejahteraan suatu komunitas. Membahas tentang penyaluran zakat, berarti membicarakan masalah teknis pembagian zakat kepada para mustahik zakat. Penyaluran zakat yang baik haruslah dikelola oleh lembaga yang profesianal dalam mengelola harta agama, seperti yang telah dipraktekkan pada masa Rasulullah.
Setelah datangnya Islam, kaum muslimin diwajibkan untuk membayar zakat sebagaimana pemimpin menyuruhnya untuk mengambil dari orang-orang yang sudah berkewajiban membayarnya. Kemudian mulailah dibuat sistem pendistribusiannya dari wilayah tempat zakat itu diambil. Maka daerah itulah yang pertama mendapatkan pendistribusiannya.[25]
Pada masa Rasulullah Saw pernah muncul masalah sosial-ekonomi, yakni banyaknya warga Madinah yang hidup di bawah kemiskinan sehingga cukup mengkawatirkan. Bagi orang yang hidup dalam kekurangan, hal yang dipertaruhkankan adalah keimanan atau akidahnya. Rasulullah SAW sejak dini telah mengingatkan umatnya agar menghindarkan kefakiran, karena orang fakir pada masa itu nyaris menjadi kafir.
Oleh karena itu sejak empat belas abad yang lalu zakat telah disyariatkan oleh Allah SWT kepada umat Islam, terutama bagi yang mampu (kaya). Zakat fitrah diwajibkan pada tahun kedua, dan zakat mal antara tahun ketujuh atau kedelapan hijriyah.[26] Tujuan utama zakat adalah untuk mengentaskan kemiskinan mustahik, merubah keadaan mustahik menjadi non mustahiq bahkan menjadikan mereka sebagai muzakki. Untuk itu Allah SWT menyiapkan wadah atau lembaga pengelolanya yang disebut amil.
Tugas amil ini kemudian dijelaskan dalam surah at-Taubah; 103 yaitu mengambil zakat dari para muzakki kemudian menyalurkan kepada mustahik.  Di samping itu Rasulullah SAW pernah memperkerjakan seseorang pemuda dari ‘Asad yang bernama Ibnu Luthaibah, untuk mengurus zakat Bani Sulaiman. Beliau juga pernah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk memungut dan mendistribusikan zakat dari dan untuk penduduk Yaman, di samping bertugas menjadi gubernur, juga ditugaskan untuk menangani masalah zakat.[27]
Para petugas yang ditunjukkan oleh Nabi itu dibekali dengan petunjuk-petunjuk teknis operasional dan bimbingan serta peringatan keras dan ancaman sanksi agar dalam pelaksanaan dan pengelolaan zakat benar-benar dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, Nabi dan keluarganya tidak dibenarkan oleh syara’ sebagai penerima zakat.[28]
Pelaksanaan zakat di zaman Rasulullah SAW dan yang kemudian diteruskan para sahabatnya yaitu para petugas mengambil zakat dari para muzakki, atau muzakki sendiri secara langsung menyerahkan zakatnya pada Baitul Mal, lalu oleh para petugasnya (amil zakat) didistribusikan kepada para mustahik.
Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz bin Jabal untuk mengurus zakat orang Yaman, beliau mengatakan: apabila mereka patuh kepadamu untuk (berikrar dua kalimat syahadah dan mendirikan shalat), maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat kepada mereka pada harta-harta mereka, diambil dari orang kaya di antara mereka, lalu dikembalikan kepada yang fakir di antara mereka.
Rasulullah SAW juga mengangkat Umar bin Khatab ra untuk menjadi amil. Ketika Umar menjadi khalifah, beliau mengangkat Ibn al-Sa’dy al-Maliki sebagai amil zakat. Hal ini diriwayatkan oleh Busr bin Sa’ied dari Ibnus Sa’dy al-Maliki, yang berkata “Umar pernah mengangkat aku untuk mengurus zakat (amil). Ketika usai pekerjaanku dan kulaporkan kepadanya, maka dia kemudian mengirimi aku upah. Maka kukatakan: “sungguh, aku melakukan tugas ini karena Allah”. Maka Umar berkata; “ambillah apa yang telah diberikan kepadamu. Aku dulu juga pernah menjadi amil Rasulullah SAW dan beliau memberi upah untuk tugas itu. Ketika kukatakan kepada beliau seperti yang kau katakan tadi, maka Rasulullah SAW berkata, bila engkau diberi sesuatu yang tidak kau pinta, maka makanlah dan sedekahkanlah” (HR Bukhari dan Muslim).[29]
Pada masa Rasulullah SAW masalah pengelolaan zakat, walaupun dalam bentuk yang sederhana namun pengelolaan zakat pada masa itu dapat dinilai berhasil. Karena  amil adalah orang-orang yang amanah, jujur, transparan, dan akuntabel. Hal yang sama juga terjadi pada masa para sahabat setelah Beliau, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Yusuf Qardawi mengatakan bahwa nizham (tata tertib) zakat bukan menjadi urusan perorangan, akan tetapi termasuk tugas pemerintah Islamiyah. Islam menyerahkan urusan koleksi dan distribusi zakat kepada negara, bukan kepada kemauan  hati individu-individu masing-masing. Sehingga pada saat ini adanya lembaga pengelola zakat yang dikenal dengan Baitul Mal yaitu lembaga pengelola zakat.
Dalam praktik para Sahabat Nabi SAW zakat disalurkan tidak disengajakan untuk menciptakan masyarakat yang pemalas, konsumtif dan tidak dedikatif. Akan tetapi, zakat dalam penyalurannya disusaikan dengan kebutuhan faktual mustahiknya. Jadi, penyaluran zakat berbasis kepada kebutuhan mustahik dan bukan kepada keinginan mustahik.
Ulama sangat menganjurkan dalam penyalurkan zakat mal hendaknya disalurkan kepada organisasi pengelolaan zakat (Baitul Mal). Pada dasarnya penyaluran zakat  tanpa adanya lembaga pengelolaan adalah sah, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Meskipun begitu penyaluran zakat sangat dianjurkan melalui sebuah lembaga pengelola zakat (Baitul Mal) agar penyaluran zakat lebih merata.
Salah satu penyaluran zakat yang baik adalah adanya keadilan yang sama di antara semua golongan yang telah Allah tetapkan sebagai penerima zakat, juga keadilan bagi setiap individu di setiap golongan penerima zakat. Yang dimaksud adil disini bukanlah ukuran yang sama dalam pembagian zakat di setiap golongan penerimanya, ataupun di setiap individu. Sebagaiman yang dikatakan Imam Syafi’i, yang dimaksud adil di sini ialah dengan menjaga kepentingan masing-masing penerima zakat dan juga maslahah  bagi dunia Islam.[30]
Penyaluran zakat dapat diartikan sebagai pembagian harta kutipan zakat kepada mereka yang berhak menerimanya. Dengan kata lain harta zakat hendaklah dibelanjakan menurut syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dan ruang lingkup yang dibenarkan syara’.
Selain perancangan program yang baik, lembaga-lembaga pengelola zakat perlu melakukan skala prioritas pogram. Program yang harus diprioritaskan tentu saja program-program yang berefek luas dan jangka panjang, serta tepat pada akar permasalahan.
Kaidah-kaidah yang harus diikuti dalam pendistribusian zakat kepada golongan dan individu penerima zakat adalah sebagai berikut :
a.       Bila zakat yang dihasilkan banyak, seyogyanya setiap golongan mendapatkan bagian yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
b.      Pendistibusiannya haruslah menyeluruh kepada delapan golongan yang telah ditetapkan. Tidak menjadi satu ketentuan untuk menyamakan kadar dan bagian zakat yang sama pada setiap golongan. Namun semua itu dilihat dan ditentukan berdasarkan jumlah dan kebutuhan.  
c.       Menjadikan golongan fakir dan miskin sebagai golongan pertama yang menerima zakat.

1.5.. Pengkhususan Zakat bagi Senif-Senif Tertentu
Dalam surah At-taubah ayat 60 Allah SWT telah menjelaskan tentang sasaran zakat  yang terdiri dari delapan golongan. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah kedelapan golongan tersebut harus mendapatkan haknya. Dalam suatu wilayah tidak semua dijumpai para mustahiknya yang mewakili delapan kelompok secara keseluruhan. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat mengenai keharusan membagikan zakat kepada sebagian diantara mereka, dalam hal ini ada dua pendapat yaitu :
Pendapat pertama mengatakan bahwa  zakat harus dibagikan kepada delapan asnaf secara merata. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan sejumlah ulama yang lain.[31]
Pendapat kedua menyatakan bahwa zakat tidak harus dibagikan kepada delapan asnaf boleh saja dibagikan kepada satu kelompok saja di antara mereka, seluruh zakat diberikan kepada kelompok tersebut, walaupun ada kelompok-kelompok yang lain. Hal ini merupakan ijma’ para sahabat bahkan Imam Malik dan sejumlah ulama salaf dan khalaf, di antaranya ialah Umar bin Khatab, Ibnu Huzaifah, Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair setuju jika hal tersebut diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan.[32] Ibnu jarir mengatakan “Ini adalah pendapat manyoritas ahli ilmu”. Sementara itu menurut jumhur ulama zakat tidak harus dibagikan kepada delapan asnaf melainkan boleh hanya dibagikan kepada salah satu dari delapan asnaf.[33]
Silang pendapat di atas disebabkan karena adanya pertentangan antara kata-kata dengan pengertiannya. Hal itu karena, kata (ayat) menghendaki dilakukan pembagian kepada semua golongan, sedangkan pengertiannya menghendaki diutamakan kepada orang-orang yang sangat dibutuhkan. Jika pemberian zakat itu memang dimaksudkan untuk menutupi kebutuhan, seolah mereka berpendapat penyebutan golongan-golongan yang tersebut dalam ayat tidak lain dimaksudkan untuk memisah-misahkan mereka, yakni golongan-golongan yang berhak menerima zakat, bukan pengikut sertaan mereka bersama dalam penerimaan zakat. Pendapat pertama lebih jelas dari segi kata-kata, sedangkan pendapat kedua lebih jelas dari segi pengertiannya.[34]
Nabi dan para sahabat memperhatikan nasib kaum miskin melalui zakat karena huruf Lam pada Lil-Fuqara Wal Masakin adalah Lam Tamlik. Tetapi  pendapat beberapa mazhab termasuk Syafi’i membantah pernyataan ini karena kata Innama mencakup secara keseluruhan tidak terbatas pada senif tertentu. Artinya jika senif tersebut memenuhi persyaratan untuk diberikan zakat maka zakat tersebut ditunaikan akan tetapi jika tidak terpenuhi serta keutamaanya tetap pada prioritas senif mulai dari faqir sampai dengan ibnu sabil.
Abu Tsaur dan Abu Ubaid berkata,”apabila seorang penguasa yang menyalurkannya, maka harus mengikuti kedelapan kelompok tersebut. Namun, apabila pemilik hartanya sendiri yang menyalurkannya, maka ia boleh membagikannya kepada satu kelompok tertentu saja.[35]
Al-Imam Ibnu Rusyd mengatakan bahwa dasar perselisihan dan sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat ialah pertentangan lafadh dengan makna. Lafadh menghendaki agar pembagian itu dilakukan untuk semua golongan, sedang makna menghendaki agar mengutamakan orang yang berhajat, mengingat bahwa yang menjadi  tujuan zakat adalah menutupi hajat dan kebutuhan. Menyebut delapan macam golongan adalah untuk menerangkan jenis orang yang berhak menerima zakat, bukan mempersekutukan mereka dalam menerimanya. Pendapat pertama, lebih dhahir dari segi lafadh sedang pendapat kedua lebih dhahir dari segi makna.[36]
Pada masa Rasulullah, zakat tidak dibagikan kepada seluruh golongan akan tetapi hanya diberikan kepada golongan yang membutuhkan misalnya pada saat itu fakir miskin yang membutuhkan berarti zakat itu akan diberikan kepada fakir miskin. Bahkan Umar bin Khatab dimasanya tidak lagi memberikan bagian zakat kepada muallaf (orang yang baru masuk Islam). Umar bin Khatab tidak memberikannya karena mereka dulu perlu dijinakkan hatinya karena Islamnya masih lemah. Pada masa Umar, muallaf telah kuat hatinya maka tidak perlu lagi membagikan zakat kepada mereka. Nabi Muhammad SAW dan Umar bin Khatab membagikan zakat dengan melihat kepada kemaslahatan, melihat dari derajat mereka yang berhak menerimanya.[37]  



[1] Wahbah Al- Zuhaili, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Terj. Agus Efendi dan Baharuddin  Fananny), (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2000), hlm. 3.

[2] Muhammad Hasbi Ash Shadieqy, Pedoman Zakat menurut Al-Qur’an Dan As Sunnah, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2006), hlm. 5.

[3] Ibid, hlm. 6.
[4] Ghazi Inayah, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003), hlm. 3

[5]  Hikmat Kurnia, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultummedia, 2008). hlm. 4
[6] Ibnu Hajar Al- Asqalani dan Al Imam Al- Hafizh, Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari jilid 8, (terj. Amiruddin), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 2.

[7]  Ibid. , hlm.  6.
                                                       
[8] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Studi Komparatif  mengenai status & Filsafat Zakat Berdasarkan  Qur’an dan Hadist, (terj. Salman Harun dkk), (Jakarta: Pustaka Mizan,1996), hlm. 87.

[9] Ibid. , hlm.  87.
[10] Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006), hlm. 439.

[11] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002),  hlm. 149.


[12] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, cet ke Sepuluh, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2007), hlm. 510.

[13] Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz, hlm. 511.
[14] Hikmat Kurnia, Panduan Pintar Zakat,, hlm. 142.
[15] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, hlm. 134.

[16] Ibid. , hlm. 135.  
[17] Fatimah Ismail, AI-Umm, (Malaysia: Victory Agencie, 2000), hlm. 5.

[18] Hikmat Kurnia, Panduan Pintar Zakat,  hlm. 146.

[19] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT Alma’arif, 1978), hlm. 120.
[20] Hikmat Kurnia, Panduan Pintar Zakat,  hlm. 148.  
[21] Yasin Ibrahim al-Syaikh, Kitab Zakat,(Bandung : Penerbit Marja, 2008), hlm. 9.
[22] Ibid, hlm. 79.

[23]  Ibid, hlm. 95.

[24] Ibid, hlm. 96
[25] Yusuf Qardawi, Spekrum Zakat, (Jakarta : Zikrul Hakim, 2005), hlm. 141.

[26] Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, (Malang: Uin Malang Press, 2008), hlm. 219.

[27] Abdurrachman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan sosial, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2001), hlm, 89.

[28] Ibid, hlm. 89.
[29] Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, hlm. 222.
[30] Yusuf Qardawi, Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), hlm.  148
[31] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm, 439.

[32] Amir Said Az-Zibari, 124 Tanya Jawab Masalah Zakat (Jakarta : Akbar 2006). Hlm. 153.

[33] Ibid. , hlm. 439.

[34] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (terj. M. A Abdurrahman & A. Harus Abdullah), (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1990), hlm. 569.

[35] Abu Malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah Lengkap (terj. Besus Hidayat Amin), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 101.

[36] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, hlm. 196.  

[37] Ibid. , hlm. 194.