Pages

Selasa, 29 November 2011


PENGUASAAN DAN PENGELOLAAN BARANG TAMBANG SEBAGAI
 MILK AL-DAULAH  DALAM PERSPEKTIF FIQH MUAMALAH
Oleh Hamidi[1]

1.1.Pengertian Milk al-Daulah dan Dasar Hukum Tambang Sebagai Milik Negara

1.1.1.      Pengertian Milk al-Daulah
              Milk dan daulah berasal dari kata bahasa Arab, di mana kata milk  dalam kamus bahasa Arab berasal dari kata: (ملك ،يملك، ملكا) yang berarti menguasai, memiliki dan mempunyai sesuatu.[2] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), milik mempunyai arti: kepunyaan atau peruntungan[3]. Secara bahasa milik mempunyai arti Pemilikan atas sesuatu (al-mal, atau harta benda) dan kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya.[4] Dengan demikian milik atau kepemilikan merupakan penguasaan seseorang terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta tersebut dalam hal mentasharufkannya.
              Secara istilah milik atau kepemilikan diartikan


Sebagai sebuah اختصاص (keistimewaan), yakni: keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa kehendak atau keizinan pemiliknya dan keistimewaan dalam bertasharruf.[5] Artinya: benda yang dikhususkan kepada seseorang itu sepenuhnya berada dalam penguasaannya, sehingga orang lain tidak bisa bertindak dan memanfaatkannya tanpa izin dari pemiliknya. Dalam hal ini, Pemilik harta itu bebas untuk bertindak hukum terhadap hartanya, seperti jual-beli, hibah, wakaf, dan meminjamkannya kepada orang lain selama tidak ada halangan dari syara’.
              Terdapat beberapa definisi tentang milik atau milkiyah yang disampaikan oleh para fuqaha, antara lain :
              Menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi dalam kitabnya al-Madkhal fī Ta’rīf bi al- Fiqh Islāmī wa al-Qawaid al-Milkiyyah wa al-’Uqūd fīh jilid. II,  mendefinisikan hak milik sebagaimana yang dikutip Ghufron A. Mas’adi hak milik adalah اختصاص (keistimewaan) atas sesuatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atas beberapa definisinya dan memungkinkan pemiliknya ber-tasharuff secara langsung atasnya selama tidak ada halangan syara’.[6]
              Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya -Fiqh al-Islami wa al-Adillatuh, jilid. VI mengatakan sebagaimana yang dikutip Ghufron A. Mas’adi bahwa milik adalah اختصاص (keistimewaan) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syar’i.[7]
              Ali al-Khafifi dalam kitabnya Ahkām al- Mu’āmalah al-Syar’iyyah mengatakan sebagaimana yang dikutip Ghufron A. Mas’adi bahwa hak milik adalah اختصاص (keistimewaan) yang memungkinkan pemiliknya bebas bertasharuff dan memanfaatkanya sepanjang tidak ada halangan syara’.[8]
              Seluruh definisi yang disampaikan oleh para ulama diatas menggunakan kata “اختصاص” sebagai kata kunci milkiyah. Jadi hak milik adalah sebuah اختصاص (keistimewaan). Dalam definisi tersebut terdapat dua  اختصاص(keistimewaan) yang diberikan oleh syara’ kepada pemilik harta, yakni:
              Pertama, keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memiliki dan memanfaatkan harta tanpa kehendak atau tanpa izin pemiliknya.
              Kedua, keistimewaan dalam bertasharuf, yakni sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah (kehendaknya) dan syara’ menetapkan atasnya beberapa konsekuensi yang berkaitan dengan hak.
              Jadi pada prinsipnya atas dasar kepemilikan, seseorang mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam bertasharruf (berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu) pada harta kecuali ada halangan tertentu yang diakui syara’. Mengenai larangan hukum syara’ dalam mengatur masalah kepemilikan ini, juga mencakup kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah/negara yang mengatur masalah kepemilikan harta kekayaan yang terdapat dimuka bumi ini.[9]
              Sedangkan kata دولة dalam Ensiklopedi Islam berasal dari kata dasar yaitu: (دال ، يدول، دولة )  artinya: bergilir, beredar, dan berputar.[10] Dalam kamus Arab-Indonesia kata دولة mempunyai arti sebagai negara, pemerintah, kerajaan dan kekuasaan.[11] Secara istilah dalam arti teoritisnya, دولة  (negara) adalah kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka.
              Dalam al-Qur’an terdapat dua ayat yang menggunakan kata daulah, keduanya dengan arti bergilir dan beredar, yaitu yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 140 yang berbunyi:
وَتِلْكَ اْلأَيــَّامُ نُدَاوِلُهـَا بَــْيـنَ النَّاسِ ... (ال عمران: ١٤٠)
Artinya: ”Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia...”. (QS. Ali Imran: 140).
                 Dalam surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
كَيْ لاَ َيكُوْنُ دُوْلَةَ بَـيْـنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ... (الحشر:٧)
Artinya: “Dan supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya…”.          (QS. Al-Hasyr: 7).
                 Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada suatu definisi khusus tentang negara, namun secara umum dapat dijadikan pegangan sebagaimana yang lazim kita kenal dalam hukum internasional bahwa suatu negara memiliki tiga unsur pokok/ketentuan dalam suatu negara, yaitu: adanya rakyat, wilayah dan pemerintah.[12] Pertama, rakyat merupakan salah satu yang esensial bagi terwujudnya daulah, dimana rakyat merupakan gabungan individu yang berdomisili di wilayah daulah dan tidak semua yang menetap di wilayah daulah dianggap sebagai warga. Kedua, wilayah. Yang dimaksud wilayah di sini mencakup wilayah darat, laut, dan udara. Untuk mewujudkan daulah, sekelompok orang harus menetap pada suatu wilayah tertentu. ketiga, pemerintah merupakan unsur utama dalam pembentukan daulah, di mana pemerintah berkuasa dalam hal mengatur dan mengurus urusan rakyatnya. Sebagai unsur komplementer dapat ditambahkan pengakuan oleh masyarakat internasional atau negara lain.[13]
                 Dari arti dua kata diatas dapat kita simpulkan bahwa milk al-daulah adalah milik negara/ kepemilikan negara. Adapun pengertian milik negara adalah merupakan harta yang ditetapkan Allah menjadi hak bagi seluruh kaum muslim (harta milik umum) dan wewenang pengelolaannya dan hak penguasaanya atas properti milik pemegang mandat ilahiah (tertinggi) negara Islam, yakni nabi SAW atau imam (kepala negara/pemerintah).[14] Makna pengelolaan oleh kepala negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya. Misalnya: penguasaan dan pengelolaan atas barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).  Bahwa pengelolaan dan penguasaannya adalah milik negara dan negara berhak mengatur masalah pengelolaan dan penguasaannya untuk kemaslahatan masyarakat sebagaimana yang dijelaskan dalam sejumlah teks hukum.[15]
                 Bahan-bahan mentah dan barang-barang tambang yang terkandung dalam perut bumi memiliki peran penting setelah tanah dalam kehidupan produktif dan ekonomi manusia, karena faktanya komoditas material apapun yang manusia nikmati adalah produk dari tanah dan kekayaan tambang yang terkandung di dalam perut bumi. Oleh sebab itu, barang-barang tambang yang dihasilkan dalam perut bumi adalah barang-barang yang memenuhi hajat orang banyak dimana barang-barang tambang tersebut dibawah pengelolaan dan penguasaan negara atau dalam kata lain disebut dengan milik negara/milik umum seluruh bangsa.[16]
                 Mengenai bahan-bahan mentah atau barang tambang yang dihasilkan dalam perut bumi ini para fakih membagi barang-barang tambang ini ke dalam dua bagian, yakni: al-dhāhir (terbuka) dan al-bāthin (tersembunyi).
                 Tambang  al-dhāhir (terbuka) adalah tambang yang tidak membutuhkan usaha serta proses tambahan dalam mencapai bentuk akhirnya dan substansi barangnya tampak dengan sendirinya, seperti garam dan minyak. Jika kita ke sebuah sumur minyak, maka kita akan menemukan tambang di sana dalam keadaan aktual yakni tidak perlu melakukan proses lebih lanjut guna mengubahnya menjadi minyak, walaupun kita memang mencurahkan usaha yang besar untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumur minyak tersebut serta memurnikan minyak yang dihasilkan.
                 Sedangkan Tambang al-bāthin (tersembunyi) adalah setiap tambang yang membutuhkan usaha serta proses lebih lanjut agar sifat-sifat mineralnya tampak, seperti emas dan besi. Tambang-tambang emas dan besi tidak mengandung emas dan besi dalam keadaan sempurnanya dikedalaman bumi, dimana tambang-tambang tersebut mengandung substansi yang membutuhkan usaha yang besar guna mengubahnya menjadi emas dan besi.[17]

1.1.2. Dasar Hukum Tambang Sebagai Milik Negara
                 Dalam pandangan Islam kepemilikan terhadap sumber daya alam yang ada di dalam perut bumi seperti barang tambang (emas, perak, besi dan lain sebagainya) pada dasarnya ialah milik Allah SWT,[18] sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 31 yang berbunyi:
وَللهِ مَا ِفي السَّمَوَاتِ وَمَا فِى اْلأَرْضِ ... (النجم: ۳۱)

Artinya: ”Dan kepunyaannya (Allah) apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi...”.(Q.S. an-Najm: 31).
                 Kepemilikan yang ada pada Allah pada dasarnya ialah semata untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi segenap manusia. Untuk mengatur penggunaan kepemilikan yang ada di muka bumi, Allah mengaturnya lewat al-Qur’an dan Sunnah yang kemudian pesan al-Qur’an dan Sunnah inilah yang melahirkan ijtihad ulama.
                 Mengenai kepemilikan sumber daya alam dalam Islam ditegaskan sangat spesifik. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang berbunyi:
وعن ابى خراشى عن بعض اصحاب النبى صلى الله عليه وسلم قال : قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  المسلمون شركاء في ثَلاَث في اْلكلاَء والماء والنار ( رواه احمد و ابو داود )[19]
Artinya : Hadist yang bersumber dari Abu Kharrasy dari sebagian sahabat Nabi SAW, ia berkata: Rasulullah bersabda: “kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yakni:   padang rumput, air dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
              Para imam mujtahid mengqiaskan barang-barang lain yang  mempunyai peranan penting serta memenuhi hajat orang banyak, yakni: barang-barang tambang baik yang padat (emas, perak, besi) maupun yang cair (minyak). Bahwa kepemilikan barang tersebut adalah menjadi milik negara atau termasuk hak milik seluruh bangsa, sedang pengelolaan dan penguasaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara/pemerintah.[20] Pada dasarnya hak milik negara secara aktual merupakan hak milik umum (publik), dimana kepala negara/pemerintah hanya bertindak sebagai pemegang amanah dan merupakan kewajiban bagi negara untuk mengeluarkannya guna untuk kepentingan publik.[21] Namun demikian, cakupan keumuman hak milik yang dapat dikuasai oleh pemerintah lebih luas daripada sekedar hak milik umum dengan kata lain merupakan hak seluruh rakyat dalam suatu negara yang wewenang pengelolaannya ada pada tangan pemerintah yang digunakan untuk kepentingan masyarakat demi untuk kemaslahatan.[22]
                 Menurut sebahagian pendapat ulama, bahwa barang-barang tambang adalah kekayaan bersama, individu  hanya diizinkan untuk mengambil kekayaan tersebut sebanyak yang mereka butuhkan/sebatas kewajaran dan tidak diperkenankan untuk memonopoli  dan menguasai tambang-tambang tersebut. Di mana kewajiban negara atau imamlah sebagai pemimpin masyarakat yang merupakan pemegang hak kepemilikan atas kekayaan alam sebagai milik bersama untuk membuat tambang-tambang tersebut produktif dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.[23]
              Larangan hukum yang telah diterbitkan negara yang mengatur perihal kepemilikan harta kekayaan, dimana harta benda dan sumber-sumber kekayaan alam yang ditetapkan sebagai milik negara atau harta benda yang tidak dapat dimiliki dan dikuasai oleh perorangan tidak termasuk al-mubāhāt (harta yang boleh dimiliki oleh siapapun). Penguasaan seseorang untuk memiliki harta benda atau sumber-sumber kekayaan alam, seperti barang tambang tergolong penjarahan hak dari masyarakat umum. Sekiranya sumber kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tambang bebas dimiliki oleh siapapun dan tidak dikuasai oleh negara, maka akan terjadi kesewenang-wenangan dalam penguasaan dan pemilikan sehingga akan menimbulkan kerusakan alam dan malapetaka di bumi ini.[24]

1.2.       Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tambang Sebagai Milik Negara
   Dalam pandangan Islam, Sumber Daya Alam (SDA) pada hakikatnya pemilik absolut hanyalah Allah SWT yang diamanatkan pengelolaan, pemanfaatan dan pelestariannya kepada manusia melalui hukum-hukumnya. SDA yang berupa barang tambang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Dalam pengelolaan, eksplorasi dan eksploitasi barang tambang harus memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan serta keberlanjutan pembangunan.[25]
   Pengelolaan SDA, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui, harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat, untuk mencapai efisiensi secara ekonomis dan ekologis dengan menerapkan teknologi dan cara yang ramah lingkungan. Penegakan hukum merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan SDA untuk menghindari perusakan SDA dan pencemaran lingkungan.[26]
Barang tambang adalah harta yang memenuhi hajat orang banyak/milik negara, dimana pengelolaannya harus dilakukan oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat. Dalam hal ini, khalifah/pemerintah diberi wewenang secara syar’i untuk mengatur urusan kaum muslimin dalam meraih kemaslahatan mereka dan memenuhi kebutuhan mereka sesuai dengan ijtihadnya dalam meraih kebaikan dan kemaslahatan. Maka dalam hal ini pemerintah harus mengelola harta-harta milik negara (milk al-daulah) semaksimal mungkin agar pendapatan Baitul Mal bertambah dan dapat dimanfaatkan  oleh kaum muslimin, sehingga milik negara dapat menghasilkan dengan baik, tidak sia-sia, hilang manfaatnya dan pendapatannya terputus.[27]
Dalam hal ini, Rasulullah SAW dan para khalifah  beliau dimana mereka  mengelola harta milik negara dan mengaturnya dalam rangka meraih kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin. Pada pengelolaan harta milik negara ini bukan berarti negara berubah menjadi pedagang, produsen, ataupun pengusaha. Sehingga negara seenaknya melakukan aktivitas layaknya seorang pedagang, produsen atau pengusaha, akan tetapi dalam hal ini negara hanya sebagai pengatur dalam pengelolaan. Maka dari  pengelolaan harta yang ditonjolkan adalah pengaturan urusan masyarakat, meraih kamaslahatan mereka dalam memenuhi kebutuhannya, tujuan utamanya adalah untuk pengaturan (ri’ayah)  bukan mencari keuntungan.[28]
Paradigma ri’ayah adalah paradigma yang menjadikan pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat sebagai kebijakan (ri’ayatu al-su’un al-ummah). Maksudnya setiap pemegang kebijakan pemerintahan dia harus menjadikan kebijakannya dalam rangka pemeliharaan urusan rakyat. Dalam konsepsi Islam, maka pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat tersebut dilakukan menurut syariat Islam.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya”.
Barang tambang yang jumlahnya banyak dan depositnya tidak terbatas, tergolong pemilikan umum bagi seluruh kaum Muslim/milik negara. Sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang dan tidak boleh diberikan kepada seseorang ataupun beberapa orang tertentu. Demikian juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya, akan tetapi negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama mereka masyarakat, dan menyimpan hasil penjualannya di baitul mal kaum Muslim.[29]
Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang depositnya  berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai bagian dari pemilikan umum/milik negara dan penguasaan dan pengelolaan menjadi tanggung jawab pemerintah adalah hadits yang diriwayatkan dari Abyadh bin Hammal al-Mazaniy:
وعن ابيض بن  حمال أنـه وفد إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم استــقْطعه الملح فَقَطع له فلما أَن ولى قَال رجل من الـمجلس أتَدري ماا     قَطعت لَه إنـما اقَطعته  الماء العد قَال فانـتـزع منه ( رواه التر مذى و ابو داود)[30]
Artinya: Hadist yang bersumber dari Abyadh bin Hammal Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis. ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: (Kalau begitu) tarik kembali darinya. (HR. Abu Dawud).

            Tindakan Rasulullah SAW yang meminta kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abyadh bin Hammal dilakukan setelah mengetahui bahwa tambang garam tersebut jumlah depositnya sangat banyak dan tidak terbatas. Ini merupakan dalil larangan atas individu untuk memiliki dan menguasainya, karena hal itu merupakan milik seluruh kaum Muslim. Larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja, akan tetapi mencakup barang-barang tambang lain, yaitu:  yang memenuhi hajat orang banyak dan barang tambang tersebut jumlah depositnya banyak yakni laksana air yang mengalir yang tidak boleh dimiliki oleh siapapun dan hak penguasaan dan pengelolaan dilakukan oleh pemerintah/negara.[31]
            Adapun barang tambang yang jumlah depositnya tidak terbatas merupakan milik umum seluruh rakyat, maka negara tidak boleh memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan untuk memilikinya. Demikian juga negara tidak boleh mengizinkan perorangan atau perusahaan melakukan eksploitasi untuk menghidupi mereka. Dalam hal ini, pemerintah/negara wajib melakukan eksploitasi barang tambang (sumber daya alam) tersebut mewakili kaum Muslim. Kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara urusan-urusan mereka. Jadi, apapun yang dikeluarkan dari barang tambang ditetapkan sebagai milik umum seluruh rakyat.[32]
            Eksploitasi barang-barang tambang, terutama yang berada di dalam perut bumi, baik berbentuk cair maupun padat memerlukan peralatan dan proses industri. Negara wajib mengeluarkannya untuk memenuhi kebutuhan kaum Muslim, karena tergolong harta milik umum. Eksploitasinya dapat saja langsung dilakukan negara dengan menggunakan peralatan dan industri yang dimilikinya atau yang berasal dari pemilikan umum lainnya. Bisa juga dilimpahkan kepada seseorang (swasta), yang menerima upah dari negara atas usaha atau jasanya itu atau karena menggunakan (menyewa) peralatan milik mereka.[33]
            Perlu diperhatikan bahwa pemilikan seseorang atas alat-alat dan industri ini bukan berarti boleh melakukan eksploitasi barang tambang yang jumlahnya banyak untuk kepentingan mereka sendiri. Hal ini karena barang tambang itu merupakan milik umum/seluruh bangsa, sehingga seseorang/sekelompok orang tidak boleh menguasai dan memilikinya. Namun demikian, negara boleh menyewa (membayar upah yang wajar dan terbatas) terhadap mereka untuk mengeksploitasi barang-brang tambang tersebut, apa yang dihasilkannya menjadi milik umum atas seluruh kaum Muslim dan hasil pendapatannya ditempatkan di Baitul Mal atau kas milik negara. Khalifah adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya yang dijamin hukum-hukum syara’, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim.[34]
Dengan demikian menurut Zallum dalam bukunya “Sistem Keuangan Negara Khalifah”, bahwa pemerintah boleh menggunakan peralatan dan industri milik negara atau milik individu untuk mengekploitasi barang-barang tambang yang jumlah depositnya banyak termasuk juga minyak bumi dan gas. Dalam hal mengekploitasinya pemerintah juga boleh menyewa peralatan atau industri milik individu maupun perusahaan.[35]
Menurut pendapat Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni”, menyatakan: “Bahwa barang-barang tambang yang didambakan dan dimanfaatkan oleh manusia tanpa biaya, seperti: garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok orang selain oleh seluruh masyarakat, sebab hal itu akan merugikan mereka”.
Maksud pendapat Ibnu Qudamah tersebut adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak/milik negara meskipun diperoleh dari tanah hak milik pribadi atau kelompok. Siapa saja yang menemukan barang tambang pada tanah miliknya, ia tidak boleh untuk menguasai dan memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.
Barang-barang tambang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia dan mempunyai hajat orang banyak, dimana dalam hal penguasaan dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara/pemerintah setempat.  Dalam pengelolaannya pemerintah harus menerapkan azas keadilan supaya terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat. Pengelolaan yang dilakukan oleh negara/pemerintah bukan berarti negara berubah menjadi produsen, pedagang atau pengusaha. Akan tetapi negara hanya sebagai pengatur, yakni: pengatur urusan rakyat dalam meraih kemaslahatan dan kesejahteraan.
1.3.       Pendapat Ulama Tentang Kepemilikan Barang Tambang
   Dalam hal kepemilikan barang tambang, para ahli hukum Islam tidak berselisih pendapat mengenai bahwa barang-barang tambang seperti: emas, perak, besi, dan lain sebagainya yang muncul pada tanah yang bukan milik seseorang, maka menjadi milik negara atau termasuk milik umum seluruh bangsa.[36] Adapun yang terjadi perbedaan pendapat para ulama adalah mengenai kalau barang-barang tambang itu muncul pada tanah hak milik individu atau milik kelompok tertentu. Dalam hal ini, para ulama fiqh berselisih pendapat, yaitu:
1.      Pendapat ulama Malikiyah
Apapun yang terdapat di dalam perut bumi dari bermacam-macam barang tambang baik yang padat maupun yang cair harus diqiaskan pada hal-hal yang telah dinashkan dalam hadist di atas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud, yaitu: air, padang rumput dan api. Karena itu, semua penemuan di bidang ini adalah semata-mata milik negara atau Baitul mal. Jadi, hak milik atas barang tersebut adalah hak milik bersama yang orang banyak berhajat kepadanya, dimana barang tambang ini tidak dapat dimiliki oleh penemunya dan begitu juga tidak dapat dimiliki oleh pemilik tanah di mana harta itu ditemui. Tetapi ia dimiliki oleh pemerintah/negara yang berhak mengurus dan betindak atasnya untuk kepentingan bersama/kemaslahatan ummat.[37]
Dalam hal kepemilikan barang tambang, ulama Malikiyah membagi kepada tiga bahagian, yaitu:
a.       Di tanah yang tidak dimiliki oleh individu maka ia menjadi milik negara. Dalam hal ini pemerintah boleh memberikan barang tambang tersebut kepada siapa saja dari pada orang Islam, untuk diusahakan dan dimanfaatkan bukan untuk dimiliki atau hasil tambang dijadikan hak baitul mal untuk kepentingan dan kemaslahatan orang banyak.
b.      Di tanah yang dimiliki oleh orang tertentu pendapat yang mashyur ia menjadi milik negara juga, disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan ia menjadi milik pemilik tanah.
c.       Di tanah yang dimiliki oleh orang yang tidak diketahui, seperti tanah yang diperoleh melalui peperangan atau perjanjian damai. Pendapat yang kuat mengatakan ia menjadi milik negara dan ada juga pendapat yang mengatakan ia menjadi milik penggalinya.[38]
            Ringkasannya, semua barang tambang yang terdapat di perut dan muka bumi ini adalah milik negara hal ini mengikut pendapat termashyur dikalangan ulama malikiyah karena barang-barang tambang tersebut adalah barang yang memenuhi hajat orang banyak dan kalau dimiliki oleh individu/kelompok akan  merugikan orang banyak dan menimbulkan kekeruhan dikalangan masyarakat sekitarnya.


2.      Pendapat ulama Hanafiyah
Tanah yang mengandung barang tambang, seperti: emas, perak, garam, gas, dan lain sebagainya yang tidak boleh dipisahkan dari pada kehidupan atau keperluan orang muslimin. Oleh karena itu, pemerintah/negara tidak boleh memberikan kepada siapapun karena ia menjadi milik orang banyak. Sekiranya negara memberikan tambang itu kepada seseorang warga negaranya berarti ia telah merampas hak mereka.[39]
Dalam hal kepemilikan barang tambang ini para ulama Hanafiyah membagi  barang tambang  kepada empat bagian, yaitu:
1.      Barang tambang yang terdapat di kawasan yang tidak dimiliki oleh siapapun seperti: emas, perak, besi, tembaga dan sebagainya sedikit atau banyak kadarnya. Maka zakatnya sebanyak 20% hendaknya diserahkan kepada negara/baitul mal, selebihnya 80% adalah menjadi milik pengusahannya.
2.      Barang tambang seperti batu intan, berlian dan batu-batu lain yang bernilai, maka kesemuanya menjadi milik pengusahanya dan penemunya karena ia dianggap sebagai bahan tanah seperti: pasir dan batu-batu biasa. Cuma bedanya ia berkilat dan bercahaya.
3.      Barang tambang yang cair seperti minyak, maka keseluruhannya milik pengusahanya dan penemunya karena ia dikira seperti air dan penemunya tidak bertujuan untuk penguasaan.
4.      Kalau barang tambang itu ditemui di sebuah kawasan kepunyaan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, maka galian itu menjadi milik orang yang punya tanah tersebut. Jika barang tambang itu didapati dalam tanah milik negara maka barang tambang tersebut milik negara. Sebaliknya jika barang tambang tersebut terdapat dalam tanah mawat ia menjadi hak milik orang yang mula-mula mengusahakannya.[40]
3.      Pendapat Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah
Mereka mendefinisikan barang tambang adalah sesuatu yang dikeluarkan dari perut bumi dan ia merupakan bahagian asal bumi. Dalam hal kepemilikan barang tambang ini, mereka membagikan barang tambang kepada dua bahagian, yaitu:
            Pertama, barang tambang zahir, yaitu barang tambang yang diambil tanpa mempergunakan tenaga atau belanja, usaha dan pemberlanjaan hanya dalam pengangkutan seperti:air, garam dan lain-lain. Jenis barang tambang ini tidak boleh diberikan kepada siapapun baik dalam memiliki atau memanfaatkannya karena ia adalah kepunyaan orang banyak yang digunakan untuk kemaslahatan. Ini adalah pendapat ulama Syafi’iyah dan pendapat terkuat dikalangan ulama hanbaliyah karena mereka memasukkan barang tambang jenis ini dalam katagori milik bersama sebagaimana yang dijelaskan oleh hadist di atas. Ia bukan bahagian tanah dan tidak boleh dimiliki oleh pemilik tanah.[41]
            Kedua, barang tambang batin (dalam perut bumi) yaitu barang tambang di mana mengambil dan mendapatinya melalui penggalian, hukumnya tidak boleh menjadi milik pengusahanya ini mengikuti pedapat yang terkuat di kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah. Kedudukan sama dengan bahan galian zahir di atas yaitu tidak boleh dimiliki melalui pembangunan tanah karena tujuan utama pembangunan tanah ialah supaya diusahakan secara terus menerus bukan hanya sekali kerja dan kemudian dibiarkan. Oleh karena itu, jika seseorang hanya menemui barang tambang dan tidak mengusahakannya secara serius maka ia tidak boleh memilikinya.[42]
            Ringkasannya adalah bahwa barang tambang zahir adalah menjadi milik kerajaan/negara, ini mengikuti pendapat yang terkuat dikalangan ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah dan barang tambang bathin juga menjadi milik kerajaan/negara bukan milik penemunya. Jika barang tambang yang bathin ditemukan di tanah milik seseorang maka menjadi miliknya, dalam hal ini ulama Syafiiyah dan Hanbaliyah berpendapat hanya barang tambang besi saja yang menjadi milik penemunya. Mengikuti pendapat imam Syafi’i kewajiban yang dikenakan atas barang tambang 25% untuk baitul mal, sekiranya barang tambang itu emas dan perak. Kadar yang sama juga dikenakan atas barang tambang yang lain jika sampai nisabnya, hal ini mengikuti pendapat imam Hanbali.[43]
            Dalam hal kepemilikan barang tambang ini, kami sependapat dengan pendapat yang menganggap bahwa apa-apa yang dikeluarkan oleh bumi dari barang-barang tambang, seperti: emas, perak, besi dan sebagainya adalah milik negara, meskipun timbulnya dari tanah milik pribadi dan kelompok. Karena pendapat ini sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat demi terjalinnya keadilan dan kesejahteraan. Adapun dalil atau bukti yang kami jadikan sebagai hujjah bahwa barang-barang tambang adalah sebagai milik bersama/milik negara, yaitu:
1.      Tanaman yang ditanami di bumi dapat menghasilkan melalui pekerjaan manusia melalui izin dan kehendak Allah. Maka manusia yang menanamnya dialah yang akan mengambil hasilnya/pemiliknya, sedangkan barang-barang tambang yang terdapat dalam perut bumi dan manusia tidak pernah menitip dan menyimpannya. Oleh karena itu, hak milik barang tambang bukan milik pemilik tanah akan tetapi menjadi milik bersama/negara yang penguasaan dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara/pemerintah.
2.      Barang-barang tambang seperti: emas, perak, besi dan sebagainya adalah harta yang berhajat orang banyak serta bermanfaat bagi orang banyak adalah serupa dengan barang-barang yang disebutkan dalam hadist Rasulullah SAW sebagai barang yang tidak boleh dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang. Adapun yang berhak mengatur dalam pengelolaan adalah negara/pemerintah.
3.      Barang-barang tambang hanya terdapat di daerah tertentu saja akan tetapi semua orang membutuhkannya, maka kalau diizinkan memiliki secara pribadi atau kelompok tertentu akan merugikan orang banyak.
1.4.       Peraturan Hukum Tentang Tambang Sebagai Milik Negara di Indonesia


   Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), salah satu SDA tersebut adalah barang-barang tambang yang diperoleh dari kegiatan pertambangan. Barang-barang tambang yang ada di Indonesia ini memiliki keberagaman jenis, seperti: emas, minyak, gas, besi, batubara dan barang-barang tambang lainnya. Mengingat potensi Indonesia yang kaya dari segi kekayaan barang-barang tambang yang lebih bila dibandingkan dengan Negara lain, maka oleh sebab itu dibutuhkan pengaturan atau regulasi yang ketat demi perlindungan atas pemanfaatan barang-barang tambang tersebut.
   Pengaturan atau regulasi pada pertambangan ini diterapkan untuk menjaga kekayaan sumber daya alam di Indonesia agar tidak cepat habis, karena barang tambang adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui itu maksudnya adalah sumber daya alam yang apabila digunakan secara terus-menerus akan habis. Biasanya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui berasa dari barang-barang tambang. Pengaturan atau regulasi tentang pertambangan ini disebut juga dengan hukum pertambangan.
              Dalam undang-undang/peraturan hukum di Indonesia bahwa kekayaan alam/barang tambang adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat 3  Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan: “Bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.  Dari penjelasan Pasal 33 ayat 3 di atas, bahwa kepemilikan barang tambang adalah milik bersama/milik negara atau disebut juga barang yang memenuhi hajat orang banyak yang tidak boleh dimiliki oleh individu atau kelompok karena akan merugikan orang banyak, dimana pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dalam mencapai kesejahteraan dan keadilan.
            Istilah hukum pertambangan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu: “mining law”. Hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan bijih-bijih besi dan mineral-mineral dalam tanah. Menurut H. Salim dalam bukunya hukum pertambangan di Indonesia, bahwa hukum pertambangan adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang).[44]
            Dalam hal ini, kewenangan negara merupakan kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada negara untuk mengurus, mengatur dan mengawasi pengelolaan bahan galian (tambang) sehingga didalam pengusahaan dan pemanfaatannya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga terwujudnya kesejahteraan serta keadilan dalam masyarakat.[45]
            Di dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 1 Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan telah ditentukan bahwa segala bahan galian (tambang) yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun isi pasal tersebut berimplikasi kepada:
1.      Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (barang tambang).
2.      Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (barang tambang)  untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[46]
Hak negara menguasai atau hak pengusahaan negara merupakan konsep yang didasarkan pada organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat Indonesia. Hak pengusahaan negara berisi wewenang untuk mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian (tambang), serta berisi kewajiban untuk mempergunakannya sebasar-besarnya kemakmuran rakyat. Maksud digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat adalah merupakan tujuan dari setiap pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam nasional.[47]
Dalam konteks hukum pertambangan, penetapan sumberdaya mineral sebagai kekayaan negara berarti penolakan praktek pemilikan mineral (barang tambang) secara pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi sosial bahan galian lebih besar dibandingkan dengan fungsi perorangannya. Dengan demikian di Indonesia, pemegang hak atas tanah tidak bisa mengklaim kepemilikan atas bahan galian yang terdapat di bawah tanahnya. Dengan perkataan lain, konstitusi Indonesia menganut doktrin pemisahan yang jelas atas hak atas tanah dengan hak atas barang tambang yang ada di bawahnya. Pemberian hak atas tanah kepada seseorang tidak termasuk pemberian hak atas barang tambang yang terdapat di bawah tanah tersebut.[48]
Sebagai kekayaan negara (milik bangsa), maka tentu saja negara diharapkan untuk mengelolanya dengan baik. Pemerintah mengatur pemberian hak untuk mengusahakan pertambangan dalam bentuk undang-undang pertambangan. Dalam dunia pertambangan, dikenal pembebanan khusus yang disebut dengan royalti. Pengusaha pertambangan diharuskan untuk membayar royalti. Pada prinsipnya, royalti ini dibayarkan kepada pemilik mineral (barang tambang) sebagai imbalan atas pemberian hak untuk mengusahakan pertambangan. Apabila barang tambang tersebut milik raja/ratu maka dibayarkan kepada raja/ratu, apabila milik perorangan (pemilik tanah) maka dibayarkan kepada pemilik tanah, selanjutnya apabila barang tambang tersebut milik negara maka dibayarkan kepada negara. Jadi, dalam konteks barang tambang  sebagai kekayaan negara, maka royalti adalah penerimaan negara non pajak (dalam konteks hukum pertambangan Indonesia, iuran tetap dan iuran ekplorasi/produksi kesemuanya adalah royalti dimana iuran tetap sebagai royalti minimumnya).[49]
            Pengaturan pengelolaan bahan galian atau bidang pertambangan di Indonesia, sama halnya dengan landasan hukum bidang lain pada umumnya, yaitu dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga, sampai dengan pemeritahan orde lama. Secara kongkrit pengaturan pengelolaan bahan galian atau bidang pertambangan masih mempergunakan hukum produk Hindia Belanda yang langsung diadopsi menjadi hukum pertambangan Indonesia.
            Adapun peraturan hukum tentang pertambangan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Undang Undang Dasar Republik Indonesia
2. TAP MPR
3. Undang-Undang Pokok Pertambangan
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan/Keputusan/Instruksi Presiden
6. Peraturan/Keputusan/Instruksi Menteri
7. Peraturan Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten sesuai kewenangannya.
8. Peraturan/Instruksi/Keputusan Gubernur dan Bupati sesuai kewenangannya.[50]

Pada mulanya Undang-Undang Pokok Pertambangan di Indonesia adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Di mana dalam Undang-Undang tersebut telah dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen, Peraturan Daerah dan lain-lainnya sebagainya.
Sejak februari 2009, Undang-Undang Pokok Pertambangan diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sejak saat itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen dan Peraturan Daerah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 secara berangsur-angsur akan diganti. Sampai dengan bulan Juli 2010 peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 baru berupa:
1. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan.
2. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
3. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaranan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.[51]
   Sedangkan peraturan pelaksanaan yang lainnya masih mengacu kepada peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967, di mana peraturan- peraturan lama yang belum ada penggantinya masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Peraturan pertambangan tersebut berlaku diseluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, tetapi belum dapat berlaku secara penuh apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) nya berdasarkan tata ruang yang berlaku berada di kawasan hutan.


[1] Hamidi adalah mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Syariah Muamalah wal Iqtishad  IAIN Ar Raniry Banda Aceh, Angkatan 2006

[2]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, tt), hlm. 328.

[3]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. 3, Cet. 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 744.

                [4]Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada 2002), hlm. 53.

               
[5]Ibid.,  hlm. 55.

[6]Ibid.,  hlm. 53.


[7]Ibid., hlm. 54.

[8]Ibid.,  hlm. 9.


[9]Ibid., hlm. 59.

[10]Dahlan, Abdul Azis dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. IV, (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeven, 2000), hlm. 59.

[11]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, hlm. 132.

[12]Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum (Study Tentang Prinsip-Prinsipnya di Lihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,) (Jakarta: Pranada Media, 2003), hlm. 17.

[13]Ibid.

                [14]Muhammad Baqir al-Shadr, Buku Induk Ekonomi: Iqtishaduna, Cet. I, Penerjemah: Yudi, (Jakarta: Zahra, 2008), hlm. 147.

[15]Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Grapindo Persada, 2007). hlm. 114.

[16]Muhammad Baqir al-Shadr, Buku Induk…, hlm. 213.

[17]Ibid., hlm. 214.

[18]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003) hlm. 177.


[19]Muhammad Nashiruddin al-Abani, Shahih Sunan Abu Daud, Jild. 2, Penterjemah Abdul Majid Jhsan dan M. Soban Rahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) hlm. 592.


[20]Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Cet I, Penerjemah: Imam Saefuddin, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 70.

[21]A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offect, 1997), hlm. 144.

[22]Putra, Konsep Kepemilikan dalam Perspektif Hukum Islam Hubungannya dengan Sosialis dan Kapitalis, Diakses pada tanggal 24 Mei 2011 dari situs: http://putralmbk.blogspot.com/

[23]Muhammad Baqir al-Shadr, Buku Induk…, hlm. 214.


[24]Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah…, hlm. 59.


[25]Fachruddin M. Mangunjaya, Fatwa MUI Tentang: Pengelolaan Sumber Daya Alam, Diakses pada tanggal 24 Mei 2011 dari situs: http://nature-of indonesia.blogspot.com/2007/03/fatwa-mui-tentang-pengelolaan-sumber.html

[26]Ibid.

[27]Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Negara Khilafah, Penerjemah: Ahmad. S, Dkk, (Jakarta Selatan: HTI-press, 2004), hlm. 115.


[28]Ibid.


[29]Sholahuddin, Asas-Asas…,  hlm. 120.

[30]Muhammad Nashiruddin al-Abani, Shahih Sunan…, hlm. 594.


[31]Sholahuddin, Asas-Asas…, hlm. 101.

[32]Ibid.


[33]Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan, hlm. 94.

[34]Sholahuddin, Asas-Asas…, hlm. 103.


[35]Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan, hlm. 95.


[36]Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Cet I, hlm. 71.

[37]Wahbah al-Zuhaili, Fiqh dan Perundangan Islam, Jilid. V, Penerjemah: Dr. Ahmad Shahbari Salamon, (Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 1999), hlm. 517.


[38]Wahbah al-Zuhaili, Fiqh dan Perundangan…, hlm. 587.
                                                  

[39]Ibid, hlm. 584.


[40]Mohd. Ridzuan Awang, Undang-Undang Tanah Islam: Pendekatan Perbandingan, (Selangor Darul Ihsan: Percetakan dan Dewan Bahasa, 1994), hlm. 240.

[41]Wahbah al-Zuhaili, Fiqh dan Perundangan, hlm. 589.


[42]Ibid.

[43]Mohd. Ridzuan Awang, Undang-Undang Tanah Islam…, hlm. 590.


[44]Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta: PT.  Raja Grapindo Persada, 2008), hlm. 8.

[45]Ibid, hlm. 9.

[46]Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 31.

[47]Ibid, hlm. 32.

[48]Rospita Simanjuntak, Beberapa Pemikiran atas Aspek Penting Kerangka Hukum Pertambangan, Desember 2010. Diakses pada Tanggal 25 Mei 2011 dari Situs: http://indoliis.com/wordpress/?p=1384

[49]Ibid.

[50]Borneo Coal, Peraturan Pertambangan, Diakses pada tanggal 25 Mei 2011 dari Situs: http:///www.bcmiresources.com/2011/02/peraturan-pertambangan.htm


[51]Ibid.