PENGUASAAN
DAN PENGELOLAAN BARANG TAMBANG SEBAGAI
MILK AL-DAULAH DALAM PERSPEKTIF FIQH MUAMALAH
Oleh Hamidi[1]
1.1.Pengertian Milk al-Daulah dan Dasar Hukum Tambang Sebagai Milik Negara
1.1.1.
Pengertian Milk al-Daulah
Milk
dan daulah
berasal dari kata bahasa Arab, di
mana kata milk dalam kamus bahasa Arab berasal dari kata: (ملك ،يملك، ملكا) yang
berarti menguasai,
memiliki dan mempunyai sesuatu.[2]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), milik mempunyai arti: kepunyaan atau
peruntungan[3]. Secara
bahasa milik mempunyai arti Pemilikan atas sesuatu (al-mal, atau harta benda) dan kewenangan bertindak secara bebas
terhadapnya.[4] Dengan
demikian milik atau kepemilikan merupakan penguasaan seseorang terhadap suatu
harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta tersebut dalam
hal mentasharufkannya.
Secara istilah milik atau
kepemilikan diartikan
Sebagai
sebuah اختصاص (keistimewaan),
yakni: keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa
kehendak atau keizinan pemiliknya dan keistimewaan dalam bertasharruf.[5]
Artinya: benda yang dikhususkan kepada seseorang itu sepenuhnya berada dalam
penguasaannya, sehingga orang lain tidak bisa bertindak dan memanfaatkannya
tanpa izin dari pemiliknya. Dalam hal ini, Pemilik harta itu bebas untuk
bertindak hukum terhadap hartanya, seperti jual-beli, hibah, wakaf, dan meminjamkannya
kepada orang lain selama tidak ada halangan dari syara’.
Terdapat beberapa definisi tentang
milik atau milkiyah yang disampaikan oleh para fuqaha, antara lain :
Menurut Muhammad Musthafa
al-Syalabi dalam kitabnya al-Madkhal
fī Ta’rīf bi al- Fiqh Islāmī wa al-Qawaid al-Milkiyyah wa al-’Uqūd fīh jilid. II, mendefinisikan hak
milik sebagaimana yang dikutip Ghufron A. Mas’adi hak milik adalah اختصاص
(keistimewaan) atas sesuatu benda yang menghalangi pihak
lain bertindak atas beberapa definisinya dan memungkinkan pemiliknya
ber-tasharuff secara langsung atasnya selama tidak ada halangan syara’.[6]
Wahbah
al-Zuhaily dalam kitabnya -Fiqh al-Islami wa al-Adillatuh, jilid.
VI mengatakan sebagaimana yang
dikutip Ghufron A. Mas’adi bahwa milik adalah اختصاص
(keistimewaan) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan
pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan
syar’i.[7]
Ali
al-Khafifi dalam kitabnya Ahkām
al- Mu’āmalah al-Syar’iyyah
mengatakan sebagaimana yang dikutip Ghufron A. Mas’adi bahwa hak milik adalah اختصاص
(keistimewaan) yang memungkinkan pemiliknya bebas bertasharuff
dan memanfaatkanya sepanjang tidak ada halangan syara’.[8]
Seluruh
definisi yang disampaikan oleh para ulama diatas menggunakan kata “اختصاص”
sebagai kata kunci milkiyah. Jadi hak milik adalah sebuah اختصاص
(keistimewaan). Dalam definisi tersebut terdapat dua اختصاص(keistimewaan)
yang diberikan oleh syara’ kepada pemilik harta, yakni:
Pertama, keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memiliki
dan memanfaatkan harta tanpa kehendak atau tanpa izin pemiliknya.
Kedua, keistimewaan dalam bertasharuf, yakni sesuatu yang
dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah (kehendaknya) dan syara’ menetapkan
atasnya beberapa konsekuensi yang berkaitan dengan hak.
Jadi
pada prinsipnya atas dasar kepemilikan, seseorang mempunyai keistimewaan berupa
kebebasan dalam bertasharruf (berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu) pada
harta kecuali ada halangan tertentu yang diakui syara’. Mengenai larangan hukum
syara’ dalam mengatur masalah kepemilikan ini, juga mencakup kebijakan yang
diterbitkan oleh pemerintah/negara yang mengatur masalah kepemilikan harta kekayaan
yang terdapat dimuka bumi ini.[9]
Sedangkan
kata دولة
dalam
Ensiklopedi Islam berasal dari kata dasar yaitu: (دال ، يدول، دولة ) artinya: bergilir, beredar, dan berputar.[10] Dalam
kamus Arab-Indonesia kata دولة mempunyai arti
sebagai negara, pemerintah, kerajaan dan kekuasaan.[11] Secara
istilah dalam arti teoritisnya, دولة (negara) adalah kelompok sosial yang menetap
pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang
mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka.
Dalam al-Qur’an terdapat dua ayat yang menggunakan kata daulah, keduanya dengan arti bergilir
dan beredar, yaitu yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 140 yang berbunyi:
وَتِلْكَ اْلأَيــَّامُ نُدَاوِلُهـَا بَــْيـنَ النَّاسِ
... (ال عمران: ١٤٠)
Artinya: ”Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami
pergilirkan di antara manusia...”. (QS. Ali Imran: 140).
Dalam surat
al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
كَيْ لاَ َيكُوْنُ دُوْلَةَ بَـيْـنَ
اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ... (الحشر:٧)
Artinya:
“Dan supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya…”. (QS.
Al-Hasyr: 7).
Sebagaimana
kita ketahui bahwa tidak ada suatu definisi khusus tentang negara, namun secara
umum dapat dijadikan pegangan sebagaimana yang lazim kita kenal dalam hukum
internasional bahwa suatu negara memiliki tiga unsur pokok/ketentuan dalam
suatu negara, yaitu: adanya rakyat,
wilayah dan pemerintah.[12]
Pertama, rakyat merupakan salah satu yang
esensial bagi terwujudnya daulah, dimana rakyat merupakan gabungan individu
yang berdomisili di wilayah daulah dan tidak semua yang menetap di wilayah
daulah dianggap sebagai warga. Kedua, wilayah. Yang dimaksud wilayah di
sini mencakup wilayah darat, laut, dan udara. Untuk mewujudkan daulah, sekelompok
orang harus menetap pada suatu wilayah tertentu. ketiga, pemerintah
merupakan unsur utama dalam pembentukan daulah, di mana pemerintah berkuasa dalam
hal mengatur dan mengurus urusan rakyatnya. Sebagai unsur komplementer dapat
ditambahkan pengakuan oleh masyarakat internasional atau negara lain.[13]
Dari
arti dua kata diatas dapat kita simpulkan bahwa milk al-daulah adalah milik negara/ kepemilikan negara. Adapun pengertian milik negara adalah merupakan harta yang
ditetapkan Allah menjadi hak bagi seluruh kaum muslim (harta milik umum) dan
wewenang pengelolaannya dan hak penguasaanya atas properti milik pemegang
mandat ilahiah (tertinggi) negara
Islam, yakni nabi SAW atau imam (kepala negara/pemerintah).[14]
Makna pengelolaan oleh kepala negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk
mengelolanya. Misalnya: penguasaan dan pengelolaan
atas barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk
padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti
gas alam). Bahwa pengelolaan dan
penguasaannya adalah milik negara dan negara berhak mengatur masalah
pengelolaan dan penguasaannya untuk kemaslahatan masyarakat sebagaimana
yang dijelaskan dalam sejumlah teks hukum.[15]
Bahan-bahan mentah dan
barang-barang tambang yang terkandung dalam perut bumi memiliki peran penting
setelah tanah dalam kehidupan produktif dan ekonomi manusia, karena faktanya
komoditas material apapun yang manusia nikmati adalah produk dari tanah dan
kekayaan tambang yang terkandung di dalam perut bumi. Oleh sebab itu,
barang-barang tambang yang dihasilkan dalam perut bumi adalah barang-barang
yang memenuhi hajat orang banyak dimana barang-barang tambang tersebut dibawah
pengelolaan dan penguasaan negara atau dalam kata lain disebut dengan milik
negara/milik umum seluruh bangsa.[16]
Mengenai bahan-bahan mentah
atau barang tambang yang dihasilkan dalam perut bumi ini para fakih membagi
barang-barang tambang ini ke dalam dua bagian, yakni: al-dhāhir (terbuka) dan al-bāthin
(tersembunyi).
Tambang al-dhāhir (terbuka) adalah tambang yang tidak membutuhkan usaha
serta proses tambahan dalam mencapai
bentuk akhirnya dan substansi barangnya tampak dengan sendirinya, seperti garam
dan minyak. Jika kita ke sebuah sumur minyak, maka kita akan menemukan tambang
di sana dalam keadaan aktual yakni tidak perlu melakukan proses lebih lanjut
guna mengubahnya menjadi minyak, walaupun kita memang mencurahkan usaha yang
besar untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumur minyak tersebut serta
memurnikan minyak yang dihasilkan.
Sedangkan Tambang al-bāthin (tersembunyi) adalah setiap
tambang yang membutuhkan usaha serta proses lebih lanjut agar sifat-sifat
mineralnya tampak, seperti emas dan besi. Tambang-tambang emas dan besi tidak
mengandung emas dan besi dalam keadaan sempurnanya dikedalaman bumi, dimana
tambang-tambang tersebut mengandung substansi yang membutuhkan usaha yang besar
guna mengubahnya menjadi emas dan besi.[17]
1.1.2. Dasar
Hukum Tambang Sebagai Milik Negara
Dalam
pandangan Islam kepemilikan terhadap sumber daya alam yang ada di dalam perut
bumi seperti barang tambang (emas, perak, besi dan lain sebagainya) pada
dasarnya ialah milik Allah SWT,[18] sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an
surat an-Najm ayat 31 yang berbunyi:
وَللهِ مَا ِفي السَّمَوَاتِ وَمَا
فِى اْلأَرْضِ ... (النجم: ۳۱)
Artinya: ”Dan kepunyaannya (Allah) apa yang ada dilangit dan apa
yang ada di bumi...”.(Q.S.
an-Najm: 31).
Kepemilikan
yang ada pada Allah pada dasarnya ialah semata untuk menciptakan kesejahteraan
dan keadilan bagi segenap manusia. Untuk mengatur penggunaan kepemilikan yang
ada di muka bumi, Allah mengaturnya lewat al-Qur’an dan Sunnah yang kemudian pesan
al-Qur’an dan Sunnah inilah yang melahirkan ijtihad ulama.
Mengenai
kepemilikan sumber daya alam dalam
Islam ditegaskan sangat spesifik. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang berbunyi:
وعن ابى خراشى عن بعض اصحاب النبى صلى
الله عليه وسلم قال : قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم المسلمون شركاء في ثَلاَث في اْلكلاَء
والماء والنار ( رواه
احمد و ابو داود
)[19]
Artinya : Hadist yang bersumber dari Abu Kharrasy dari sebagian sahabat Nabi SAW,
ia berkata: Rasulullah bersabda: “kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang
sama) dalam tiga hal, yakni: padang
rumput, air dan api”. (HR.
Abu Dawud
dan Ahmad).
Para imam mujtahid mengqiaskan barang-barang lain yang mempunyai peranan penting serta memenuhi hajat
orang banyak, yakni:
barang-barang tambang baik yang padat (emas, perak, besi) maupun yang cair
(minyak). Bahwa kepemilikan barang tersebut adalah menjadi milik negara atau
termasuk hak milik seluruh bangsa, sedang pengelolaan dan penguasaan sepenuhnya
menjadi tanggung jawab negara/pemerintah.[20]
Pada dasarnya hak milik negara secara aktual merupakan hak milik umum (publik),
dimana kepala negara/pemerintah hanya bertindak sebagai pemegang amanah dan
merupakan kewajiban bagi negara untuk mengeluarkannya guna untuk kepentingan
publik.[21]
Namun demikian, cakupan keumuman hak milik yang dapat dikuasai oleh pemerintah
lebih luas daripada sekedar hak milik umum dengan kata lain merupakan hak
seluruh rakyat dalam suatu negara yang wewenang pengelolaannya ada pada tangan
pemerintah yang digunakan untuk kepentingan masyarakat demi untuk kemaslahatan.[22]
Menurut sebahagian pendapat ulama, bahwa
barang-barang tambang
adalah kekayaan
bersama, individu hanya diizinkan untuk
mengambil kekayaan tersebut sebanyak yang mereka butuhkan/sebatas kewajaran dan
tidak diperkenankan untuk memonopoli dan
menguasai tambang-tambang tersebut. Di mana kewajiban negara atau imamlah
sebagai pemimpin masyarakat yang merupakan pemegang hak kepemilikan atas
kekayaan alam sebagai milik bersama untuk membuat tambang-tambang tersebut
produktif dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.[23]
Larangan hukum yang telah
diterbitkan negara yang mengatur perihal kepemilikan harta kekayaan, dimana
harta benda dan sumber-sumber kekayaan alam yang ditetapkan sebagai milik
negara atau harta benda yang tidak dapat dimiliki dan dikuasai oleh perorangan
tidak termasuk al-mubāhāt (harta yang
boleh dimiliki oleh siapapun). Penguasaan seseorang untuk memiliki harta benda
atau sumber-sumber kekayaan alam, seperti barang tambang tergolong penjarahan hak dari masyarakat
umum. Sekiranya
sumber kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tambang
bebas dimiliki oleh siapapun dan tidak dikuasai oleh negara, maka akan terjadi
kesewenang-wenangan dalam penguasaan dan pemilikan sehingga akan menimbulkan
kerusakan alam dan malapetaka di bumi ini.[24]
1.2. Sistem
Penguasaan dan Pengelolaan Tambang Sebagai Milik Negara
Dalam
pandangan Islam, Sumber Daya Alam (SDA) pada hakikatnya pemilik absolut
hanyalah Allah SWT yang diamanatkan pengelolaan, pemanfaatan dan pelestariannya
kepada manusia melalui hukum-hukumnya. SDA yang berupa barang tambang harus
dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam
bentuk pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan,
pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Dalam pengelolaan, eksplorasi dan
eksploitasi barang tambang harus memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan
serta keberlanjutan pembangunan.[25]
Pengelolaan SDA,
baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui, harus
memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sosial budaya
masyarakat, untuk mencapai efisiensi secara ekonomis dan ekologis dengan
menerapkan teknologi dan cara yang ramah lingkungan. Penegakan
hukum merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan SDA untuk menghindari
perusakan SDA dan pencemaran lingkungan.[26]
Barang tambang adalah harta yang memenuhi hajat orang banyak/milik
negara, dimana pengelolaannya harus dilakukan oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat. Dalam hal
ini, khalifah/pemerintah diberi
wewenang secara syar’i untuk mengatur urusan kaum muslimin dalam meraih
kemaslahatan mereka dan memenuhi kebutuhan mereka sesuai dengan ijtihadnya
dalam meraih kebaikan dan kemaslahatan. Maka dalam hal ini pemerintah harus mengelola harta-harta milik negara (milk al-daulah) semaksimal mungkin agar pendapatan
Baitul Mal bertambah dan
dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin, sehingga milik negara dapat
menghasilkan dengan baik, tidak sia-sia, hilang manfaatnya dan pendapatannya
terputus.[27]
Dalam hal ini, Rasulullah SAW dan para khalifah beliau dimana mereka mengelola harta milik negara dan mengaturnya
dalam rangka meraih kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin. Pada pengelolaan harta milik negara ini
bukan berarti negara berubah menjadi pedagang, produsen, ataupun pengusaha. Sehingga negara seenaknya melakukan aktivitas layaknya seorang
pedagang, produsen atau pengusaha, akan tetapi dalam hal ini negara hanya sebagai pengatur dalam pengelolaan.
Maka dari pengelolaan harta yang ditonjolkan adalah
pengaturan urusan masyarakat, meraih kamaslahatan mereka dalam memenuhi
kebutuhannya, tujuan utamanya adalah untuk pengaturan (ri’ayah)
bukan mencari keuntungan.[28]
Paradigma
ri’ayah adalah paradigma yang menjadikan pengaturan dan pemeliharaan
urusan rakyat sebagai kebijakan (ri’ayatu al-su’un al-ummah).
Maksudnya setiap pemegang kebijakan pemerintahan dia harus menjadikan
kebijakannya dalam rangka pemeliharaan urusan rakyat. Dalam konsepsi Islam,
maka pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat tersebut dilakukan menurut
syariat Islam.
Hal
ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan
(rakyat), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya”.
Barang tambang yang jumlahnya banyak
dan depositnya tidak terbatas, tergolong pemilikan umum bagi seluruh kaum Muslim/milik negara. Sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang
atau beberapa orang dan tidak
boleh diberikan kepada seseorang ataupun beberapa orang tertentu. Demikian juga
tidak boleh memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu
untuk mengeksploitasinya, akan tetapi negaralah yang wajib menggalinya,
memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama mereka
masyarakat, dan menyimpan hasil penjualannya di baitul mal kaum Muslim.[29]
Dalil yang
dijadikan dasar untuk barang tambang yang depositnya berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai
bagian dari pemilikan umum/milik negara dan penguasaan dan pengelolaan menjadi
tanggung jawab pemerintah adalah hadits yang diriwayatkan dari Abyadh bin Hammal al-Mazaniy:
وعن ابيض
بن حمال أنـه وفد إلى رسول الله صلى الله
عليه وسلم استــقْطعه الملح فَقَطع له فلما أَن ولى قَال رجل من الـمجلس أتَدري ماا
قَطعت لَه إنـما اقَطعته الماء العد قَال فانـتـزع منه ( رواه التر مذى
و ابو داود)[30]
Artinya: Hadist
yang bersumber dari Abyadh bin Hammal ”Sesungguhnya
dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau
memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki
yang ada di dalam majlis. ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau
berikan kepadanya? Sesungguhnya
apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’.
Akhirnya beliau bersabda: “(Kalau begitu) tarik kembali
darinya”. (HR. Abu Dawud).
Tindakan Rasulullah
SAW yang meminta kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abyadh bin
Hammal dilakukan setelah
mengetahui bahwa tambang garam tersebut jumlah depositnya sangat banyak dan
tidak terbatas. Ini
merupakan dalil larangan atas individu untuk memiliki dan menguasainya, karena
hal itu merupakan milik seluruh kaum Muslim. Larangan tersebut tidak terbatas
pada tambang garam saja, akan tetapi mencakup barang-barang tambang lain,
yaitu: yang memenuhi hajat orang banyak
dan barang tambang tersebut jumlah depositnya banyak yakni laksana air yang
mengalir yang tidak boleh dimiliki oleh siapapun dan hak penguasaan dan
pengelolaan dilakukan oleh pemerintah/negara.[31]
Adapun barang tambang yang jumlah
depositnya tidak terbatas merupakan milik umum seluruh rakyat, maka negara
tidak boleh memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan untuk
memilikinya. Demikian
juga negara tidak boleh mengizinkan perorangan atau perusahaan melakukan
eksploitasi untuk menghidupi mereka. Dalam hal ini, pemerintah/negara wajib melakukan
eksploitasi barang tambang (sumber daya alam) tersebut mewakili kaum Muslim.
Kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara urusan-urusan mereka. Jadi, apapun
yang dikeluarkan dari barang tambang ditetapkan sebagai milik umum seluruh rakyat.[32]
Eksploitasi barang-barang tambang, terutama yang berada di
dalam perut bumi, baik
berbentuk cair maupun padat memerlukan peralatan dan proses industri. Negara
wajib mengeluarkannya untuk memenuhi kebutuhan kaum Muslim, karena tergolong
harta milik umum. Eksploitasinya dapat saja langsung dilakukan negara dengan
menggunakan peralatan dan industri yang dimilikinya atau yang berasal dari pemilikan umum lainnya. Bisa
juga dilimpahkan kepada seseorang (swasta), yang menerima upah dari negara atas usaha atau jasanya itu atau karena menggunakan (menyewa)
peralatan milik mereka.[33]
Perlu diperhatikan bahwa pemilikan seseorang atas alat-alat
dan industri ini bukan berarti boleh melakukan eksploitasi barang tambang yang
jumlahnya banyak untuk kepentingan mereka sendiri. Hal ini karena barang
tambang itu merupakan milik umum/seluruh bangsa, sehingga seseorang/sekelompok
orang tidak boleh menguasai dan memilikinya. Namun demikian, negara boleh
menyewa (membayar upah yang wajar dan terbatas) terhadap mereka untuk mengeksploitasi
barang-brang tambang tersebut, apa yang dihasilkannya menjadi milik umum atas
seluruh kaum Muslim dan hasil pendapatannya ditempatkan di Baitul Mal atau kas
milik negara. Khalifah adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal
pendistribusian hasil dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya yang dijamin hukum-hukum syara’, dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim.[34]
Dengan demikian
menurut Zallum dalam bukunya “Sistem
Keuangan Negara Khalifah”, bahwa pemerintah boleh menggunakan peralatan dan
industri milik negara atau milik individu untuk mengekploitasi barang-barang
tambang yang jumlah depositnya banyak termasuk juga minyak bumi dan gas. Dalam
hal mengekploitasinya pemerintah juga boleh menyewa peralatan atau industri
milik individu maupun perusahaan.[35]
Menurut
pendapat Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni”,
menyatakan: “Bahwa barang-barang tambang yang didambakan dan dimanfaatkan
oleh manusia tanpa biaya, seperti: garam, air, belerang, gas, mumia (semacam
obat), petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dikuasai oleh individu atau
kelompok orang selain oleh seluruh masyarakat, sebab hal itu akan merugikan mereka”.
Maksud pendapat Ibnu Qudamah tersebut adalah bahwa
barang-barang tambang adalah milik orang banyak/milik negara meskipun diperoleh dari tanah hak
milik pribadi atau kelompok. Siapa saja yang menemukan barang tambang pada
tanah miliknya, ia tidak boleh untuk menguasai dan memilikinya dan harus
diberikan kepada negara untuk mengelolanya.
Barang-barang tambang mempunyai
peran penting dalam kehidupan manusia dan mempunyai hajat orang banyak, dimana
dalam hal penguasaan dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara/pemerintah
setempat. Dalam pengelolaannya
pemerintah harus menerapkan azas keadilan supaya terwujudnya kesejahteraan bagi
masyarakat. Pengelolaan yang dilakukan oleh negara/pemerintah bukan berarti negara
berubah menjadi produsen, pedagang atau pengusaha. Akan tetapi negara hanya
sebagai pengatur, yakni: pengatur urusan rakyat dalam meraih kemaslahatan dan
kesejahteraan.
1.3. Pendapat Ulama
Tentang Kepemilikan Barang Tambang
Dalam
hal kepemilikan barang tambang, para ahli hukum Islam tidak berselisih pendapat
mengenai bahwa barang-barang tambang seperti: emas, perak, besi, dan lain
sebagainya yang muncul pada tanah yang bukan milik seseorang, maka menjadi
milik negara atau termasuk milik umum seluruh bangsa.[36]
Adapun yang terjadi perbedaan pendapat para ulama adalah mengenai kalau
barang-barang tambang itu muncul pada tanah hak milik individu atau milik
kelompok tertentu. Dalam hal ini, para ulama fiqh berselisih pendapat, yaitu:
1.
Pendapat ulama Malikiyah
Apapun yang terdapat di dalam perut bumi dari
bermacam-macam barang tambang baik yang padat maupun yang cair harus diqiaskan
pada hal-hal yang telah dinashkan dalam hadist di atas yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Abu Daud, yaitu: air, padang rumput dan api. Karena itu, semua
penemuan di bidang ini adalah semata-mata milik negara atau Baitul mal. Jadi,
hak milik atas barang tersebut adalah hak milik bersama yang orang banyak
berhajat kepadanya, dimana barang tambang ini tidak dapat dimiliki oleh
penemunya dan begitu juga tidak dapat dimiliki oleh pemilik tanah di mana harta
itu ditemui. Tetapi ia dimiliki oleh pemerintah/negara yang berhak mengurus dan betindak atasnya untuk
kepentingan bersama/kemaslahatan ummat.[37]
Dalam hal kepemilikan barang tambang, ulama Malikiyah membagi kepada tiga bahagian, yaitu:
a.
Di tanah yang tidak dimiliki oleh individu
maka ia menjadi milik negara. Dalam hal ini pemerintah boleh memberikan barang tambang
tersebut kepada siapa saja dari pada orang Islam, untuk diusahakan dan
dimanfaatkan bukan untuk dimiliki atau hasil tambang dijadikan hak baitul mal
untuk kepentingan dan kemaslahatan orang banyak.
b.
Di tanah yang dimiliki oleh orang tertentu pendapat yang
mashyur ia menjadi milik negara juga, disamping itu ada juga pendapat yang
mengatakan ia menjadi milik pemilik tanah.
c.
Di tanah yang dimiliki oleh orang yang tidak diketahui,
seperti tanah yang diperoleh melalui peperangan atau perjanjian damai. Pendapat yang kuat mengatakan ia menjadi milik negara dan ada juga pendapat yang mengatakan ia menjadi
milik penggalinya.[38]
Ringkasannya,
semua barang tambang yang terdapat di perut dan muka bumi ini adalah milik negara
hal ini mengikut pendapat termashyur dikalangan ulama malikiyah karena
barang-barang tambang tersebut adalah barang yang memenuhi hajat orang banyak
dan kalau dimiliki oleh individu/kelompok akan
merugikan orang banyak dan menimbulkan kekeruhan dikalangan masyarakat
sekitarnya.
2.
Pendapat ulama Hanafiyah
Tanah yang mengandung barang tambang, seperti: emas,
perak, garam, gas, dan lain sebagainya yang tidak boleh dipisahkan dari pada
kehidupan atau keperluan orang muslimin. Oleh karena itu, pemerintah/negara tidak boleh memberikan kepada siapapun karena ia menjadi milik orang
banyak. Sekiranya negara memberikan
tambang itu kepada seseorang warga negaranya berarti ia telah merampas hak
mereka.[39]
Dalam hal kepemilikan barang tambang ini para ulama
Hanafiyah membagi barang
tambang kepada empat bagian, yaitu:
1.
Barang tambang yang terdapat di kawasan yang tidak
dimiliki oleh siapapun seperti: emas, perak, besi, tembaga dan sebagainya
sedikit atau banyak kadarnya. Maka zakatnya sebanyak 20% hendaknya diserahkan
kepada negara/baitul mal, selebihnya 80% adalah menjadi milik pengusahannya.
2.
Barang tambang seperti batu intan, berlian dan batu-batu
lain yang bernilai, maka kesemuanya menjadi milik pengusahanya dan penemunya
karena ia dianggap sebagai bahan tanah seperti: pasir dan batu-batu biasa. Cuma
bedanya ia berkilat dan bercahaya.
3.
Barang tambang yang cair seperti minyak, maka
keseluruhannya milik pengusahanya dan penemunya karena ia dikira seperti air dan
penemunya tidak bertujuan untuk penguasaan.
4.
Kalau barang tambang itu ditemui di sebuah kawasan
kepunyaan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, maka galian itu
menjadi milik orang yang punya tanah tersebut. Jika barang
tambang itu didapati dalam tanah milik negara maka barang tambang tersebut
milik negara. Sebaliknya jika barang tambang tersebut terdapat dalam tanah mawat ia menjadi hak milik orang yang
mula-mula mengusahakannya.[40]
3.
Pendapat Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah
Mereka mendefinisikan barang tambang adalah sesuatu yang
dikeluarkan dari perut bumi dan ia merupakan bahagian asal bumi. Dalam hal
kepemilikan barang tambang ini, mereka membagikan barang tambang kepada dua
bahagian, yaitu:
Pertama, barang tambang zahir, yaitu
barang tambang yang diambil tanpa mempergunakan tenaga atau belanja, usaha dan
pemberlanjaan hanya dalam pengangkutan seperti:air, garam dan lain-lain. Jenis
barang tambang ini tidak boleh diberikan kepada siapapun baik dalam memiliki
atau memanfaatkannya karena ia adalah kepunyaan orang banyak yang digunakan
untuk kemaslahatan. Ini adalah pendapat ulama Syafi’iyah dan pendapat terkuat
dikalangan ulama hanbaliyah karena mereka memasukkan barang tambang jenis ini
dalam katagori milik bersama sebagaimana yang dijelaskan oleh hadist di atas.
Ia bukan bahagian tanah dan tidak boleh dimiliki oleh pemilik tanah.[41]
Kedua, barang tambang batin (dalam perut
bumi) yaitu barang tambang di mana mengambil dan mendapatinya melalui
penggalian, hukumnya tidak boleh menjadi milik pengusahanya ini mengikuti
pedapat yang terkuat di kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah. Kedudukan
sama dengan bahan galian zahir di atas yaitu tidak boleh dimiliki melalui
pembangunan tanah karena tujuan utama pembangunan tanah ialah supaya diusahakan
secara terus menerus bukan hanya sekali kerja dan kemudian dibiarkan. Oleh
karena itu, jika seseorang hanya menemui barang tambang dan tidak
mengusahakannya secara serius maka ia tidak boleh memilikinya.[42]
Ringkasannya adalah bahwa barang
tambang zahir adalah menjadi milik kerajaan/negara, ini mengikuti pendapat yang
terkuat dikalangan ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah dan barang tambang bathin
juga menjadi milik kerajaan/negara bukan milik penemunya. Jika barang tambang yang
bathin ditemukan di tanah milik seseorang maka menjadi miliknya, dalam hal ini
ulama Syafi’iyah
dan Hanbaliyah berpendapat hanya barang tambang besi saja yang menjadi milik
penemunya. Mengikuti pendapat imam Syafi’i kewajiban yang dikenakan atas barang
tambang 25% untuk baitul mal, sekiranya barang tambang itu emas dan perak.
Kadar yang sama juga dikenakan atas barang tambang yang lain jika sampai
nisabnya, hal ini mengikuti pendapat imam Hanbali.[43]
Dalam hal kepemilikan barang tambang
ini, kami sependapat dengan pendapat yang menganggap bahwa apa-apa yang
dikeluarkan oleh bumi dari barang-barang tambang, seperti: emas, perak, besi
dan sebagainya adalah milik negara, meskipun timbulnya dari tanah milik pribadi
dan kelompok. Karena pendapat ini sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat
demi terjalinnya keadilan dan kesejahteraan. Adapun dalil atau bukti yang kami
jadikan sebagai hujjah bahwa barang-barang tambang adalah sebagai milik
bersama/milik negara, yaitu:
1. Tanaman
yang ditanami di bumi dapat menghasilkan melalui pekerjaan manusia melalui izin
dan kehendak Allah. Maka manusia yang menanamnya dialah yang akan mengambil
hasilnya/pemiliknya, sedangkan barang-barang tambang yang terdapat dalam perut
bumi dan manusia tidak pernah menitip dan menyimpannya. Oleh karena itu, hak
milik barang tambang bukan milik pemilik tanah akan tetapi menjadi milik
bersama/negara yang penguasaan dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara/pemerintah.
2. Barang-barang
tambang seperti: emas, perak, besi dan sebagainya adalah harta yang berhajat
orang banyak serta bermanfaat bagi orang banyak adalah serupa dengan barang-barang
yang disebutkan dalam hadist Rasulullah SAW sebagai barang yang tidak boleh
dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang. Adapun yang berhak mengatur
dalam pengelolaan adalah negara/pemerintah.
3. Barang-barang
tambang hanya terdapat di daerah tertentu saja akan tetapi semua orang
membutuhkannya, maka kalau diizinkan memiliki secara pribadi atau kelompok
tertentu akan merugikan orang banyak.
1.4.
Peraturan
Hukum Tentang Tambang Sebagai Milik Negara di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang
kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), salah satu SDA tersebut adalah barang-barang
tambang yang diperoleh dari kegiatan pertambangan. Barang-barang tambang yang
ada di Indonesia ini memiliki keberagaman jenis, seperti: emas, minyak, gas,
besi, batubara dan barang-barang tambang lainnya. Mengingat potensi Indonesia
yang kaya dari segi kekayaan barang-barang tambang yang lebih bila dibandingkan
dengan Negara lain, maka oleh sebab itu dibutuhkan pengaturan atau regulasi
yang ketat demi perlindungan atas pemanfaatan barang-barang tambang tersebut.
Pengaturan
atau regulasi pada pertambangan ini diterapkan untuk menjaga kekayaan sumber
daya alam di Indonesia agar tidak cepat habis, karena barang tambang adalah
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui itu maksudnya adalah sumber daya alam yang apabila digunakan
secara terus-menerus akan habis. Biasanya sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui berasa dari barang-barang tambang. Pengaturan atau regulasi
tentang pertambangan ini disebut juga dengan hukum pertambangan.
Dalam undang-undang/peraturan hukum di Indonesia bahwa
kekayaan alam/barang tambang adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Hal ini
sesuai dengan Pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan: “Bahwa bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari penjelasan Pasal 33 ayat 3 di atas, bahwa
kepemilikan barang tambang adalah milik bersama/milik negara atau disebut juga
barang yang memenuhi hajat orang banyak yang tidak boleh dimiliki oleh individu
atau kelompok karena akan merugikan orang banyak, dimana pengelolaannya harus
dikuasai oleh Negara untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dalam mencapai
kesejahteraan dan keadilan.
Istilah hukum pertambangan merupakan
terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu: “mining
law”. Hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau
pertambangan bijih-bijih
besi dan mineral-mineral dalam tanah. Menurut H. Salim dalam bukunya hukum
pertambangan di Indonesia, bahwa hukum pertambangan adalah keseluruhan kaidah
hukum yang mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang)
dan mengatur hubungan antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam
pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang).[44]
Dalam hal ini, kewenangan negara
merupakan kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada negara untuk mengurus,
mengatur dan mengawasi pengelolaan bahan galian (tambang) sehingga didalam pengusahaan
dan pemanfaatannya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga
terwujudnya kesejahteraan serta keadilan dalam masyarakat.[45]
Di dalam
Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 1 Undang-Undang No. 11
tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan telah ditentukan bahwa
segala bahan galian (tambang) yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa adalah
kekayaan nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan
oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun isi pasal tersebut
berimplikasi kepada:
1.
Negara
menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (barang
tambang).
2.
Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (barang tambang) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[46]
Hak negara
menguasai atau hak pengusahaan negara merupakan konsep yang didasarkan pada
organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat Indonesia. Hak pengusahaan negara
berisi wewenang untuk mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan atau
pengusahaan bahan galian (tambang), serta berisi kewajiban untuk
mempergunakannya sebasar-besarnya kemakmuran rakyat. Maksud digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat adalah merupakan tujuan dari setiap
pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam nasional.[47]
Dalam konteks hukum pertambangan,
penetapan sumberdaya mineral sebagai kekayaan negara berarti penolakan praktek
pemilikan mineral (barang tambang) secara pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa
fungsi sosial bahan galian lebih besar dibandingkan dengan fungsi
perorangannya. Dengan demikian di Indonesia, pemegang hak atas tanah tidak bisa
mengklaim kepemilikan atas bahan galian yang terdapat di bawah tanahnya. Dengan
perkataan lain, konstitusi Indonesia menganut doktrin pemisahan yang jelas atas
hak atas tanah dengan hak atas barang tambang yang ada di bawahnya. Pemberian
hak atas tanah kepada seseorang tidak termasuk pemberian hak atas barang
tambang yang terdapat di bawah tanah tersebut.[48]
Sebagai kekayaan negara (milik
bangsa), maka tentu saja negara diharapkan untuk mengelolanya dengan baik.
Pemerintah mengatur pemberian hak untuk mengusahakan pertambangan dalam bentuk
undang-undang pertambangan. Dalam dunia pertambangan, dikenal pembebanan khusus
yang disebut dengan royalti. Pengusaha pertambangan diharuskan untuk membayar
royalti. Pada prinsipnya, royalti ini dibayarkan kepada pemilik mineral (barang
tambang) sebagai imbalan atas pemberian hak untuk mengusahakan pertambangan.
Apabila barang tambang tersebut milik raja/ratu maka dibayarkan kepada
raja/ratu, apabila milik perorangan (pemilik tanah) maka dibayarkan kepada
pemilik tanah, selanjutnya apabila barang tambang tersebut milik negara maka
dibayarkan kepada negara. Jadi, dalam konteks barang tambang sebagai kekayaan negara, maka royalti adalah
penerimaan negara non pajak (dalam konteks hukum pertambangan Indonesia, iuran
tetap dan iuran ekplorasi/produksi kesemuanya adalah royalti dimana iuran tetap
sebagai royalti minimumnya).[49]
Pengaturan pengelolaan bahan galian
atau bidang pertambangan di Indonesia, sama halnya dengan landasan hukum bidang
lain pada umumnya, yaitu dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga,
sampai dengan pemeritahan orde lama. Secara kongkrit pengaturan pengelolaan bahan galian atau bidang
pertambangan masih mempergunakan hukum produk Hindia Belanda yang langsung
diadopsi menjadi hukum pertambangan Indonesia.
Adapun
peraturan hukum tentang pertambangan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Undang Undang Dasar Republik
Indonesia
2. TAP MPR
3. Undang-Undang Pokok Pertambangan
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan/Keputusan/Instruksi Presiden
6. Peraturan/Keputusan/Instruksi
Menteri
7. Peraturan Daerah Tingkat Provinsi
dan Kabupaten sesuai kewenangannya.
8. Peraturan/Instruksi/Keputusan
Gubernur dan Bupati sesuai kewenangannya.[50]
Pada mulanya Undang-Undang Pokok
Pertambangan di Indonesia adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Di mana dalam Undang-Undang tersebut
telah dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen, Peraturan Daerah dan lain-lainnya
sebagainya.
Sejak februari 2009, Undang-Undang
Pokok Pertambangan diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Sejak saat itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen dan Peraturan Daerah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 secara berangsur-angsur akan diganti. Sampai dengan bulan Juli 2010 peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 baru berupa:
Sejak saat itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen dan Peraturan Daerah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 secara berangsur-angsur akan diganti. Sampai dengan bulan Juli 2010 peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 baru berupa:
1. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun
2010 tentang Wilayah Pertambangan.
2. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
3. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun
2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaranan Pengelolaan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.[51]
Sedangkan
peraturan pelaksanaan yang lainnya masih mengacu kepada peraturan pelaksanaan
Undang-Undang No. 11 Tahun 1967, di mana peraturan- peraturan lama yang belum
ada penggantinya masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Peraturan pertambangan tersebut berlaku
diseluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, tetapi belum dapat
berlaku secara penuh apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) nya
berdasarkan tata ruang yang berlaku berada di kawasan hutan.
[1] Hamidi adalah mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Syariah Muamalah wal Iqtishad
IAIN Ar Raniry Banda Aceh, Angkatan 2006
[2]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT.
Hidakarya Agung, tt), hlm. 328.
[3]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. 3,
Cet. 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 744.
[4]Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT
Raja Grapindo Persada 2002), hlm. 53.
[7]Ibid., hlm. 54.
[8]Ibid., hlm.
9.
[9]Ibid.,
hlm. 59.
[10]Dahlan, Abdul Azis dkk, Ensiklopedi
Hukum Islam, Cet.
IV, (Jakarta : PT
Ichtiar Baru van Hoeven,
2000), hlm. 59.
[11]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, hlm. 132.
[12]Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum (Study Tentang
Prinsip-Prinsipnya di Lihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini,) (Jakarta: Pranada Media, 2003), hlm. 17.
[13]Ibid.
[15]Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Grapindo Persada, 2007).
hlm. 114.
[17]Ibid., hlm. 214.
[18]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana,
2003) hlm. 177.
[19]Muhammad Nashiruddin al-Abani, Shahih Sunan Abu Daud, Jild. 2, Penterjemah Abdul Majid Jhsan dan M.
Soban Rahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) hlm. 592.
[20]Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi
Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan
Tujuan Ekonomi Islam, Cet I, Penerjemah: Imam Saefuddin, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1999), hlm. 70.
[21]A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, (Surabaya:
PT. Bina Ilmu Offect, 1997), hlm. 144.
[22]Putra, Konsep Kepemilikan
dalam Perspektif Hukum Islam Hubungannya dengan Sosialis dan Kapitalis, Diakses
pada tanggal 24 Mei 2011 dari situs: http://putralmbk.blogspot.com/
[24]Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah…, hlm. 59.
[25]Fachruddin M. Mangunjaya, Fatwa MUI Tentang: Pengelolaan Sumber Daya
Alam, Diakses pada tanggal 24 Mei 2011 dari situs: http://nature-of
indonesia.blogspot.com/2007/03/fatwa-mui-tentang-pengelolaan-sumber.html
[26]Ibid.
[27]Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Negara Khilafah, Penerjemah: Ahmad. S, Dkk, (Jakarta Selatan: HTI-press, 2004), hlm. 115.
[28]Ibid.
[29]Sholahuddin, Asas-Asas…, hlm.
120.
[30]Muhammad Nashiruddin al-Abani, Shahih Sunan…, hlm. 594.
[31]Sholahuddin, Asas-Asas…, hlm. 101.
[32]Ibid.
[33]Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan…, hlm. 94.
[34]Sholahuddin, Asas-Asas…, hlm.
103.
[35]Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan…, hlm. 95.
[36]Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi
Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan
Tujuan Ekonomi Islam, Cet I, hlm. 71.
[37]Wahbah
al-Zuhaili, Fiqh dan Perundangan Islam, Jilid.
V, Penerjemah: Dr.
Ahmad Shahbari Salamon, (Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 1999), hlm. 517.
[38]Wahbah al-Zuhaili, Fiqh dan Perundangan…, hlm. 587.
[39]Ibid, hlm. 584.
[40]Mohd. Ridzuan Awang, Undang-Undang Tanah Islam: Pendekatan
Perbandingan, (Selangor Darul Ihsan: Percetakan dan Dewan Bahasa, 1994), hlm.
240.
[42]Ibid.
[44]Salim,
Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grapindo Persada, 2008), hlm.
8.
[46]Abrar
Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta:
UII Press, 2004), hlm. 31.
[48]Rospita Simanjuntak, Beberapa Pemikiran atas Aspek Penting
Kerangka Hukum Pertambangan, Desember 2010. Diakses pada Tanggal 25 Mei
2011 dari Situs: http://indoliis.com/wordpress/?p=1384
[49]Ibid.
[50]Borneo Coal, Peraturan Pertambangan, Diakses pada tanggal 25 Mei 2011 dari
Situs: http:///www.bcmiresources.com/2011/02/peraturan-pertambangan.htm
[51]Ibid.