Pages

Senin, 06 Juni 2011

KHIYAR AS- SYARAT DALAM FIQH MUAMALAH

Oleh: Romi Saputri 120 506 821[1]
1.1. Pengertian dan Dasar Hukum Khiyar Syarat
Kata khiyar diambil dari kata dari mashdar fi’ilاختار – يختر – اختيار   yang artinya memilih dan melebihkan. Kemudian kata ikhtiar atau takhyir berubahan menjadi khiyar yang berarti hak utuk memilih antara melangsungkan jual beli atau membatalkannya. Namun kalau menilik pada kata dasar ikhtara, penulis berasumsi bahwa kata khiyar dapat dikatakan bersal dari fi’il خار – يخير – خيرا yang jadi baik, yang baik, dan lebih baik.[2]Sebab ikhtara bermula dari kata khaara. Sehingga secara etimologi, kata khiyar didefinisikan dengan mencari yang terbaik diatara dua pilihan.
Pengertian khiyar syarat secara etimologi, antara lain:

ان يكون للمتعا قد الحق في امضاء العقد ا و فسخه ان كن الخيار خيار شرط او رؤ او عيب او ان يختار احد البيعين ان كن الخيارخيارتعيين[3]
Menurut ulama Fiqh khiyar adalah:
“Suatu keadaan yang menyebabkan aqid (orang yang berakad) memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, aib, atau ru’yah, atau hendaklah memilih diantara dua barang jika itu khiyar ta’yin.
Dalam kitab al-Wajiz disebutkan bahwa definisi khiyar adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi mencari yang terbaik di atara dua pilihan yaitu memilih salah satu diatara keduanya melanjutkan jual beli atau membatalknya.[4]  
Sedangkan kata syarat merupakan masdar dari fi’il     شرط – يشرط – شرط  yang artinya mensyaratkan dan memastikan. Syarat adalah janji atau sesuatu yang telah ditentukan dan wajib untuk dilaksanakan.[5]Secara terminologi khiyar syarat memiliki definisi berbeda yang dipaparkan oleh para ahli. Menurut Abdurrazaq As-Sanhuri, khiyar syarat adalah khiyar (hak pilih) yang telah disepakati oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam akad bahwa mereka mempunyai hak untuk membatalkan akad dalam waktu yang telah ditentukan dan jika tidak dibatalkan selama waktu itu, maka akad yang telah disepakati sejak akad tidak akan batal.[6]
Ahli fiqh mendefinisikan khiyar syarat adalah:
ان يكنون لا حد العا قدين او لكليهما او لغير هم الحق فسخ العقد او امضا ئه حلا ل مدة مغلو مة
“Suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad atau masing-masing yang berakad atau selain pihak yang berakad memiliki hak membatalkan akad atau menetapkan (meneruskannya) selama waktu tertentu.[7]
Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalfi mengatakan dalam kitab Al-wanjiz bahwasanya khiyar syarat adalah dua belah pihak yang melakukan jual beli dalam transaksitelah menentukan kesepakatan untuk mendapatkan syarat yang pasti yang telah disepakati, atau salah satu pihak menentukan hak pilih sampai waktu tertentu, maka ini dibolekan. Meskipun rentan waktu berlakunya hak khiyar tersebut cukup lama.[8]
Berdasarkan definisi ini beliau menyandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar  Ra yang berbunyi:
عن يحي ابن سعد قال : سمعت نا فعا عن ابن عمر رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه و سل : ان المبعبا يعين با لخيارفي بيعهما مالم يتفرقا او يكون البيع خيار.( رواه البحا ري )     
Artinya: Dari Yahya Bin Said, ia berkata aku mendengar Nafi’, dari Ibnu Umar  Ra dari nabi SAW. Beliau bersabda: Sesungguhnya penjual dan pembeli berhak memilih dalam jual beli mereka selama belum berpisah atau dijadikan jual beli sebagaiakad khiyar. (HR. Bukhari).[9]
            Sayid sabit mengatakan bahwa khiyar syarat adalah salah satu pihak yang melakukan transakasi jual beli dengan syarat ia boleh menentukan masa khiyar dalam jangka waktu tertentu atau pada kesempatan lain.[10]
Menurut Ghufron A. Ma’sadi khiyar syarat adalah hak dua orang yang melakukan akad untuk melangsungkan atau membatalkanya salama batas waktu tertentu yang telah ditentukan selama akad berlangsung. Seperti seorang pembeli mengatakan:”saya beli barang ini selama sehari “.[11] Denngan adanya khiyar ini bertujuan untuk melindungi pihak yang berakad dari unsur gharar dalam melakukan akad.
            Sedangkan menurut penulis, khiyar syarat adalah khiyar yang dapat terjadi karena adanya salah satu pihak yang mengajukan persyaratan tertentu kepada pihak lain, atau meminta waktu tertentu dengan hak khiyar untuk dirinya baik itu dibawah tiga hari ataupun lebih. Namun pemberian syarat tersebut haruslah tentu batasan waktunya dan disesuaikan dengan jenis barang yang dibeli (barang yang tahan lama dan yang cepat berubah wujudnya) agar dia dapat memastikan jual beli tetap diteruskan atau dibatalkan.
            Kemungkinan, perbedaan pemikiran dalam mendefinisikan khiyar syarat tersebut disebabkan adanya pemahaman yang berbeda dalam penukilan hadist, sebab hadist-hadist yang menguraikan tentang khiyar ini bayak sekali, mulai dari hadist zhaif sampai pada hadist shahih, misalnnya, para ulama yang membatasi khiyar syarat maksimal adala tiga hari, mereka menyandarkan pendapat pada hadist Hibban Ibn Munqidz yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Ibnuh Majah.
Selain itu ada juga pendapat yang menangguhkan jangka waktu khiyar melebihi dari tiga hari, mereka berpendapat seperti ini karena sudah  mendapatkan hadist yang membolehkan khiyar lebih dari dua bulan, walaupun setelah mereka teliti ternyata hadist tersebut sanadnya tidak bersambung sampai kepada Rasulullah, namun hadist ini diriwayatkan oleh seorang yang shahih.
Penulis juga menjumpai pendapat yang tidak terlalu mempermasalahkan dengan jangka waktu yang disebut dalam hadist, mereka yang berpendapat demikian lebih cenderung untuk menyerahkan urusan penentuan waktu khiyar yang sesuai kepada pihak yang melakukan transaksi sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu kaidah hukum Islam, “pada dasarnya hasil kesepakatan dari kedua belah pihak dihasilkan dari  kesepakatan perjanjian mereka“.[12]
            Allah Swt Berfirman:
واو فوا العهد ان العهد كان مسؤ لا (الاسراء:  )
Artinya: “Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (Qs. Al-Isra: 34)
Rasulullah Saw Besabda:
عن أبي سعيد الخدوري يقو ل : قا ل رسول الله صلى الله علليه و سلم انما البيع  عن بر ا ض (رواه ابن ما جه )
Artinya: Dari Abu Said Al-khudri, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan perizinan timbal balik (HR. Ibn Majah)
khiyar syarat ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada para pihak yang menentukan syarat untuk memikirkan dan mempertimbangkan terlebih dahulu perjanjian yang berhubungan dengan syarat yang telah ditentukan dalam akad untuk kemudian mengambil kesimpulan, bahwa khiyar ini juga merupakan pengecualian terhadap asas umum bahwa perjanjian  timbal balik tidak dapat digantungkan kepada syarat, tetapi khiyar syarat ini sesungguhnya adalah penggantungan akad kepada suatu syarat. Pengecualian ini dibolehkan karena terdapat hadist Nabi yang membolehkan khiyar syarat ini.[13] 
Masa penentuan khiyar syarat ini, ada hadist yang menyebutkan tiga hari, akan tertapi kesepakatan  para ahli dalam ilmu fiqh mengatakan tergantung kepada kebutuhan khiyar syarat ini dan dapat ditentukan masanya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang mealakukan hak pilih ini. [14]
Penentuan hak pilih ini hanya dapat digunakan dalam transaksi yang sudah  memenuhi rukun dan syarat dalam akad serta dapat akibat hukum yang sudah ada dapaat dipergunakan, akan tetapi akad tersebut memberi kesempatan untuk membatalkan salah satu pihak, karena salah satu dari kedua belah pihak yang berakad mempunyai hak khiyar tertentu.
Karena khiyar syarat itu adalah keputusan syara’ seperti halnya akad jual beli, bahwa akad sewa menyewa sebelum adanya akad persewaan, pemeliharaan tanaman, (musaqoh), pengerapan tanah (muzara’ah), gadai (rahn), penanggunan (kafalah), pemindahan hutang (hiwalah), dan akad perdamaian serta beberapa tindakan hukum sepihak seperti pembebasan hutang (ibra’), waqaf dan iqalah. Khiyar ini tidak berlaku terhadap akad pertukaran mata uang (ash-shardf), akad salam, hibah, pemberian kuasa, dan juga wasiat, serta pengakuan (al-iqrar).[15] 
Pihak yang melakukan trasaksi boleh bersepakat sepanjang kerugian itu dapat diberi penganti. Hal ini disebutkan dalam kaidah 60 Qawa’id Ibn Rajab. Dalam kitab ini di tegaskan bahwa fasakh dalam akad jaiz yang akan mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak yang melakukan akad tidak diperbolehkan, kecuali pihak yang menguntungkan memberikan ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.[16]
Adapun dasar hukum pensyariatan khiyar syarat adalah sebagai berikut:
1.      Disyariakan khiyar syarat ini berdasarkan pada hadist tentang seorang laki-laki yang bernama Hibban Bin Munqidz yang tertipu dalam jual belinya, maka keluarganya melaporkan kepada Rasulullah saw. Rasulullah bersabda:
عن ابن عمر رضي الله عنه قا ل: سمعت رجلا يشكوا الى رسول الله صلى الله عليه و سلم انه لا يزال يعبن فى البيع. ازا با يعت فقل : لا خلا بة ثم انت با لخيا ر فى كل سلعة ا بتعتها ثلاث ليا ل ( رواه بيهقى و ابن ما جة ) [17]
Artinya: Dari Ibn Umar Ra. Aku mendengar ada seorang laki-laki yang pergi melapor kepada Rasulullah Saw bahwa ia selalu tertipu dalam jual beli, kemudian Nabi berkata: Apabila engkau membeli sesuatu hendaklah engkau mengatakan; “tiada tipuan” dan saya mempunyai hak memilih (khiyar) selama tiga hari. (HR. Baihaqi dan Ibn Majah)
2.        Dalam Kitab Shahih Muslim disebutkan Rasulullah Saw bersabda:
عن عبد الله ابن دينار انه سمع ابن عمر يقول : دكر رجل الى رسول الله صلى الله عليه و سلم انه يخد ع فى البيو ع فقا ل رسو ل الله صلى الله عليه وسلم من با يعت فقل لا خلا بة فكن اد ا با يع يقول لاخلا بة. (رواه مسلم ) [18]
Artinya:   Dari Abdullah Bin Dinar bahwasanya ia Mendengar Ibn Umar berkata: seorang laki-laki melapor kepada Rasulullah SAW bahwasanya ia tertipu dalam jual beli, maka Rasululah Saw bersabda: bersama siapapun engkau melakukan jual beli katakanlah “tidak ada tipuan” maka takkala ia melakukan jual beli, ia berkata “tidak ada tipuan”. (HR. Muslim)[19]

3.        Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Umar Ra. Bahwasanya Rasulullah bersabda:
عن ايو ب عن نا فع عن ابن عمر رضى الله عنهما قا ل : قا ل النبي صلى الله عليه و سلم : البيعا ن با لخيار ما لم يتفر قا او يقو ل احد هما لصحبة اختر ور بما قا ل از يكون خيار.(رواه البخا رى ) [20]
Artinya: Dari Ayyub, dari Nafi’, dari ibn umar Ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: penjual dan pembeli berhak memilih sebelum keduanya berpisah, atau salah satu dari keduanya mengatakan kepada pihak yang lain” pilihlah” dan mungkin beliau mengatakan: “atau yang terjadi adalah jual beli khiyar.” (Hr. Bukhari)

4.        Hadist lain yang diriwayatkan oleh Ibn Umar tentang Khiyar Syarat, yaitu:
عن نا فع عن عبد عمر رصى الله عنهما ان رسول الله عليه وسلم قا ل : المتبا يعا ن كل واحد منهما ب لخيا ر مالم بتفرقا بيع الخيار . (رواه البخار و مسلم )
Artinya: Dari nafi’, dari Abdullah bin Umar Ra bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Setiap penjual dan pembeli berhak memilih (khiyar) atas yang lainnya selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli Khiyar. (HR. Bukhari dan Muslim)[21]
5.      Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Umar Ra, juga diriwayatkan oleh Anas Ra:
عن أنس رضى الله عنه أن رجل اشتر من رجل بعير وا شترط عليه الخيا ر أر بعة ايا م فأبطل رسو ل الله عليه وسلم البيع و قا ل : الخيا ر ثلا ثة ايا م (رواه عبد رزا ق )
Artinya: Anas Ra bahwasanya seorang laki-laki membeli seekor unta dari pada seorang lelaki dan ia mensyaratkan khiyar sampai empat hari, kemudian Rasulullah Saw Membatalkan jual beli itu dan Rasulullah Saw mengatakan: Khiyar adalah tiga hari. (Hr. Abdurrazaq)[22]
Menurut hukum Islam khiyar yang disepakati oleh salah satu pihak maka sah saja dilakukanya, begitu juga dengan sebaliknya, khiyar yang diisyaratkan untuk orang lain yang melakukan transaksi jual beli karena yang melakukan transaksi jual-beli lebih mengerti terhadap akad tersebut.
Apabila seorang yang berakad itu membutuhkan seorang wakil yang mewakili/pihak yang melakukan negosiasi dalam pembuatan akad, maka boleh mensyaratkan khiyar itu untuk mewakilkan pihak lain (orang yang memberi kuasa kepada wakilnya) selaku pemilik barang (barang yang diwakilkan berada di bawah penguasaanya dan ia dapat bertindak pada barang tersebut).

1.2. Macam- macam khiyar
Macam-macam khiyar ini boleh bersumber dari kedua belah pihak yang berakad, Khiyar Syarat, dan Khiyar At-Tayin, dan ada pula khiyar yang bersumber dari syara’ khiyar majeli Khiyar Aib,dan  Khiyar Aib.
1. Khiyar Majelis
Khiyar majelis merupakan hak pilih bagi kedua belah pihak untuk yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam satu majelis akad dan belum berpisah badan, khiyar ini hanya terdapat dalam jual beli, berdamai, sewa-menyewa, dan selainnya dari penukaran yang tujuannya adalah harta. Ia adalah hak dua orang yang melakukan jual beli secara bersamaan. Dan waktunya adalah dari saat transaksi sampai berpisah dengan badan. Jika keduanya menggugurkannya, gugurlah ia. Jika salah satu dari keduanya menggugurkannya, niscaya tersisa khiyar yang lain. Maka apabila keduanya berpisah, terjadilah jual beli. Dan haram berpisah dari majelis karena takut ia mengundurkan diri.[23]
Landasan hukum adanya khiyar majlis ini adalah sabda Rasulullah Saw sebagai berikut:
اذ اتبا بعا الرجلا ن فلكل واحدا منهما بالخيا ر ما لم يتفرقا (رواه ابن محة)[24]
 Artinya: Dari Rasulullah Saw bersabda: apabila dua orang melakukan akad jual beli, maka masing-masing pihak mempuyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan (HR. Al-Bukhari, Muslim)
2. Khiyar At-Tayin
Khiyar at-tayin merupakan hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitasnya dalam jual beli, contohnya adalah dalam pembelian keramik, misalnya, ada yang berkualitas super (kw1) dan (kw2). Akan tetapi, pembeli tidak megetahui secara pasti mana keramik yang super dan keramik yang berkualitas sedang. Untuk menentukan pilihan ini ia memerlukan bantuan pakar keramik dan arsitek.[25]


3. Khiyar Syarat
Khiyar syarat merupakan suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad atau masing-masing yang berakad atau selain pihak yang berakad memiliki hak membatalkan akadatau menetapkan (meneruskannya) selama waktu yang telah ditentukan diawal akad. misalnya, seorang pembeli mengatakan,” saya beli dari kamu barang ini, dengan syarat saya berkhiyar selama tiga hari. khiyar ini disyariatkkan untuk menhilangkan unsur kalalaian atau penipuan bagi pihak akad.[26]
Landasan hukum adanya khiyar Syarat  ini adalah sabda Rasulullah Saw sebagai berikut
عن نا فع عن عبد عمر رصى الله عنهما ان رسول الله عليه وسلم قا ل : المتبا يعا ن كل واحد منهما ب لخيا ر مالم بتفرقا بيع الخيار . (رواه البخار و مسلم )
Artinya; Dari nafi’, dari Abdullah bin Umar Ra bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Setiap penjual dan pembeli berhak memilih (khiyar) atas yang lainnya selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli Khiyar. (HR. Bukhari dan Muslim)[27]


4.  Khiyar Aib
            Khiyar aib merupakan suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecatatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad, atau sesuatu yang mengurangi nilai yang dijual. Apabila (seseorang) membeli suatu komoditi dan ia menemukan cacat padanya, maka boleh memilih (khiyar), bisa jadi ia mengembalikannya dan mengambil harganya, atau menahannya dan mengambil tambalan cacat itu. Maka dinilai komoditi yang tanpa cacat, kemudian dinilai yang cacat dan ia mengambil perbedaan di antara keduanya. Dan jika keduanya berbeda pendapat di sisi siapa terjadinya cacat itu seperti pincang (bagi binatang), dan rusaknya makanan, maka ucapan (yang diterima adalah) ucapan penjual diserta sumpahnya, atau keduanya saling mengembalikan.[28]
Landasan hukum adanya khiyar aib ini adalah sabda Rasulullah Saw sebagai berikut
عن عقبه بن عا مر قا ل : قا ل النبي صلى الله عليه و سلم. المسلم  أخوالمسلم لا يحل المسلم با ع من أخيه بيعا وفيه عيب إلا بينة له (رواه ابن ماجة )[29]
Artinya: Dari Aqabah ibn Amir, Rasulullah Saw bersabda: sesama muslim itu bersaudara , tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain; padahal pada barang terdapat cacat. (HR. Ibn Majah)
5.    Khiyar Rukyah
Khiyar rukyah adalah hak pilih bagi seorang pembeli untuk mengatakan masih berlaku atau batalnya jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.[30]
Landasan hukum adanya khiyar rukyah ini adalah sabda Rasulullah Saw sebagai berikut
عن ابي ةريرة قا ل: : قا ل النبي صلى الله عليه و سلم. من اشترى شيئا لم ير ه فهو بالخيار اذا رأه (رواه الدار قطنى )[31]
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda:  barang siapa yang membeli sesuatu yang belun ia liat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang tersebut.(HR. ad-Daruqutni).

1.3. Kategori Khiyar Syarat
            Khiyar syarat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu khiyar masyru’ (khiyar yang dibenarkan syara’) dan khiyar fasid (khiyar yang diperselisihkan ulama).[32]
2.3.1. Khiyar Masyru’ (khiyar yang disepakti)
            Khiyar masyru’ adalah khiyar yang dibolehkan syara’ dengan syarat menentukan batasan waktunya. Dengan kata lain khiyar yang menjadikan suatu akad menjadi tidak mengikat, boleh saja salah satu pihak membatalkan perjanjian tanpa sepengetahuan dari pihak lain. Dalam hal ini yang melakukan hak khiyar mempunyai hak untuk mengajukan syarat khiyar kepada pihak yang membatalkan khiyar, sehingga salah satu pihak boleh membatalkan kontrak yang telah disepakati atau meneruskannya dalam masa khiyar.
Apabila waktu khiyar sudah berakhir akan tetapi tidak ada pihak yang membatalkan atau meneruskan, maka batas waktu kontrak akad dianggap sudah berkhir dengan keridhaan masing-masing pihak, sehingga akad yang sudah disepakati menjadi sah untuk dipraktekkan antara kedua belah pihak yang melakukan khiyar.[33]
            Membatalkan dan meneruskan akad ditunjukkan oleh kata-kata yang mengidikasikan hal tersebut. Misalnya, Si A mengtakan aku telah meluluskan kontrak atau aku meneruskannya, atau aku rela dengannya, ataupun aku membatalkannya. Salah satu dari kaidah hukum Islam yang menurut sebagian ulama seluruh masalah fiqh dikembalikan padapada maksud dan tujuannya, yang dikenal dengan istilah (qawa’id fiqhiyyah) بمقا صد ها الا مور  yang berbunyi:
العبر ة فى العقود للمقا صد و المعا نى للا لفظ وتامبنى[34]
Artinya: Yang dianggap (dipegangi) dalam akad adalah makna-makna dan maksud-maksud perkataan, bukan lafadh dan bentuk-bentuk perkataan.
            Apabila terjadi suatu perbedaan pada pembuat lafadh antara niat dan lafahd, maka suatu akad yang diucapakan termasuk juga niat. Maksudnya adalah selama akad yang dimaksud oleh sebelah pihak dimengerti oleh pihak lain, dengan demikian apabila ada dua orang yang melangsungkan suatu akad dengan mengatakan member barang kepada salah satu pihak dengan syarat setelah penyerahan barang ini adanya pembayaran terhad barang ini. Maka akad ini dianggap sah karena mempunyai maksud dan tujuan yang sama. [35]
Maksudnya  akad juga sah dilakukan dengan perbuatan yang menunjukkan maksud yang demikian dilakjukan dengan cara dipahami saja, contohnya: orang yang melakukan hak pilih menggunakan barang yang dijual atau dibeli untuk kepentingan orang lainyang mensyaratkan khiyar seperti menggadaikannya, menjual kepada orang lain, menyewakannya, atau meminjamkan kepada orang lain.
Ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan pembatalan akad dalam khiyar masyru’ yaitu:
1.      Seharusnya penentuan khiyar masih dalam batas waktu khiyar, karena akad akan mengikat para pihak lain jika pihak yang mensyaratkan tidak membatalnya.
2.      Pihak lainnya yang menjadi mitra orang yang mensyaratkan khiyar yang mengetahui tentang pembatalan itu jika bentul pembatalan telah diucapkan dengan kata-kata (fasakh qauli). Tujuannya untuk menghindarkan terjadinya kerugian bagi pihak tersebut. Selain itu pembatalan dapat dilakukan dengan perbuatan, akan tetapi  membatalkan dengan perbuatan tidak perlu diberitahukan kepada pihak lain, karena membatalkan  suatau akad secara sepihak merupakan perkara yang telah diputuskan dan tidak perlu diberi diberitahukan kepada pihak yang mesyaratkan khiyar. Karena pada dasarnya ketika salah satu pihak menerima syarat khiyar yang diajukan oleh mitranya, maka maka pihakmitu sudah mempersiapkan diri untuk menerima segala konsekuensi yang dihasilkan dari kesepakatan tersebut.[36]
2.3.2        Khiyar syarat fasid (khiyar yang diperselisihkan para ulama)
Khiyar yang diperselisihkan ini merupakan khiyar yang tidak ditentukan batasan dan tenggang waktu yang pasti. Ulama mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali sepakat  mengatakan jika kedua belah pihak yang melakukan jual beli mengatakan saya berkhiyar untuk selamanya (muabbad), maka khiyar tersebut tidak sah, karena karena khiyar ini tidak ada batas waktunya. Misalnya seorang laki-laki mengatakan,”saya beli barang ini selamanya” atau “saya beli barang ini dengan syarat khiyar beberapa hari. Kata selamanya dan beberapa hari menunjukkan kata waktu yang tidak pasti (tidak jelas), sehingga memungkinkan timbulnya kerugian pada salah satu pihak. Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali khiyar seperti itu menjadi akad batal, karena menghalangi kebebasan berthasharruf (penggunaan) terhadap barang tersebut, waktu khiyar yang tidak jelas dapat membatalkan akad jual beli yang telah disepakati pada awal akad.[37]
Menurut mazhab Hanafi, akad tersebut adalah rusak, akan tetapi tidak membatalkan khiyar. Apabila  khiyar dibatalkan sebelum batas waktu tiga hari atau dalam waktu tiga hari masa khiyar seperti ini sudah jelas batas waktunya, maka akad tersebut menjadi sah karena akad yang membatalkan jual beli sudah dihilangkan.[38] Sedangkan menurut mazhab Maliki, batas waktu khiyar disesuaikan dengan kebiasaan khiyar lain yang biasa diterapkan dalam masyarakat, misalnya satu hari dan sebagainya. Akad jual beli menjadi fasid apabila syarat khiyar diberikan melebihi tenggang waktu khiyar yang ada dalam kebiasaan masyarakat.[39]
Menurut Gfhufron A. Mas’adi,  khiyar syarat berakhir dengan adanya salah satu dari sebab berikutnya ini:
a.       Terdapat pemberitahuan dari salah satu pihak untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
b.      Berakhinya batas waktu khiyar
c.       Terjadi kerusakan pada objek akad, jika kerusakan terjadi dalam penguasaan pihak penjual maka akadnya batal dan berakhirlah khiyar. Namun, apabila kerusakan terjadi setelah dibeli pembeli, maka akan berakhirlah khiyar tetapi membatalkan akad.
d.      Terjadi perubahan atau pengembangan setelah dibeli pihak pembeli seperti kambing menjadi gemuk atau sapi setelah dibeli beranak, dan sebagainya
e.       Meninggalnya salah satu pihak yang menentukan syarat khiyar .[40]
Dengan adanya salah satu sebab yang telah dibahas diatas, maka cara penguguran khiyar dapat dilakukan dengan tiga cara:
1.      Pengguguran kihyar secara jelas (isqath sharih)
2.      Pengguguran dengan dilalah (isqath dilalah)
3.      Pengguguran secara otomatik (isqath bi thuruqid dhirarah)
Pertama, mengugurkan khiyar dengan cara yang pasti (isqath sharih) penguguran yang dilakukan oleh orang yang berkhiyar, misalnya yang berkhiyar mengatakan :”saya setuju kalau khiyar ini dibatalkan”, dan pernyataan-pernyataan lainya yang mirip denganucapan itu. Dengan adanya pernyataan-pernyataan ini maka akad menjadi tidak terikat. Sebaliknya akad akan batal dengan ucapan-ucapan seperti itu: “sudah saya batalkan atau saya gugurkan akad ini.
Kedua, Pengguguran dengan dilalah adalah adanya tasharruf  (beraktifitas dengan barang tersebut) dari pelaku khiyar yang menunjukkan bahwa jual beli tersebut jadi dilakukan, seperti pembeli mehibahkan barang tersebut kepada orang lain, dan sebagainya.
Ketiga, Pengguguran khiyar secara outomatik terdapat beberapa kedaan sebagai berikut:
a.       Batas waktu khiyar  habis.
b.      Seseorang yang memberikan syarat meninggal.
c.       Adanya hal-hal yang serupa dengan mati, seperti gila, mabuk, dan lain-lain. Dengan demikian, jika akal seseorang hilang karena gila, mabuk, tidur, atau hal-hal lainya maka akad menjadi tidak terikat.
d.      Barang rusak ketika masa khiyar[41]
Adapun tentang rusaknya barang dalam jangka waktu khiyar maka status jual-beli tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Khiyar akan gugur jika masih dalam penguasan penjual.
2.      Jika barang sudah ada ditangan pembeli, namun khiyar berasal dari penjual, maka akad jual beli batal. Akan tetapi dari pembeli harus mengantikanya.
3.       Jika barang sudah ada ditangan pembeli dan khiyar  berasal dari pembeli, dan khiyar berasal dari pembeli, jual beli menjadi lazim dan khiyar pun gugur.
4.      Ulama Syafii’ah seperti halnya ulama Hanafiah berpendapat bahwa jika barang rusak dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual belipun batal.
e.         Terdapat kecatatan pada barang.[42]
1.4. Pandangan Ulama Tentang khiyar syarat
Para ulama berselisih pendapat tentang khiyar syarat, antara lain tentang jangka waktu khiyar syarat, hukum akad pada masa khiyar, status barang yang diperjual belikan, serta status  khiyar syarat tak kala orang yang mensyaratkan khiyar syarat meninggal dunia.

1.4.1.      Perbedaan pendapat ulama tentang jangka waktu khiyar syarat
Ulama Hanafiah, Zufar ulama Syafii’ah berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu syarat yang ditentukan selagi tidak lebih dari tiga hari. Mereka berpendapat seperti ini berdasarkan pada hadist yang diriwayatkan Ibn Umar Ra tentang seorang laki-laki bernama Hibban bin Munqidz serta hadist yang diriwayatkan oleh Annas Ra, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya dalam sub bab definisi dasar hukum pensyari’atan khiyar syarat.[43]
Ulama Hanafiah dan Zufar berpendapat bahwa waktu tiga hari adalah waktu yang cukup memenuhi kebutuhan seseorang. Dengan demikian, jika lebih dari tiga hari, jual beli tersebut akan batal. Akan tetapi akad dapat terikat jika diulangi kembali, dan batas waktunya tidak melebihi dari tiga hari. sedangkan menurut Zufar, akad yang suada batal tidak akan sah dalam kondisi apapun. Iman Syafii berpendapat bahwa khiyar  yang lebih dari tiga hari dapat membatalkan jual-beli, sedangkan bila kurang dari tiga hari , itu merupakan rukhsah (keringanan) bagi yang melakukan transaksi.[44]
Menurut ulama Hanabalah, khiyar diperbolehkan menurut kesepakatan orang yang berakad, baik dalam jangka waktu sehari atau melebihi. Pendapat ini didasarkan pada pernyataan Ibn Umar yang membolehkan khiyar lebih dari satu bulan yang bersumber dari hadist berikut:
عن ابن عمر رضى اللخ عنه قا ل : قا ل رسو ل الله صلى الله عليه وسلم : اجا ز الخيار الى شهرين.
Artinya: Dari Ibn Umar Ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: khiyar boleh dipersyaratkan sampai dua bulan.
            Ulama Malikiah berpendapat bahwasanya khiyar syarat  dibolehkan sesuai dengan kadaan yang dibutuhkan. Misalnya buah-buahan yang akan rusak sebelum tiga hari. Mereka yang berpendapat seperti ini karena sebenarnya batas waktu khiyar tergantung pada barang yang diperjual belikan, karena pada tiap barang pasti terdapat perbedaanya.
Namun menurut penulis penentuan waktu khiyar ini dapat disesuaikan dengan adat (‘uruf) yaitu suatu hal yang diakui keberadaanya dan diikuti, sehingga menjadi menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat baik berupa perkataan maupun perbuatan sepanjang tidak bertentangan dengan syariat.
1.4.2.      Pandangan ulama tentang hukum dan status akad pada masa khiyar
            Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tidak ada akad pada jual beli yang terdapat khiyar, tetapi ditunggu hingga batas waktu khiyar berakhir. Pemilikan barang tidak berpisah, ini berarti barang yang dijual tetap merupakan milik penjual, atau dengan kata lain tidak ada pengalihan kepemilikan barang kepada pembeli. begitu pula dengan uang tetaplah milik pembeli sebab, hak pilih untuk membatalkan khiyar terdapat pada kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli.[45]
Jika pihak yang mensyaratkan khiyar adalah penjual, maka barang yang dijual tidak berpindah daripadanya, begitu pula sebaliknya. Jika yang mensyaratkan adalah pembeli maka uang tetap berada dalam kuasanya, sebab tidak mungkin terhimpun dua benda (uang dan barang) dalam stu tangan, karena itu bertentangan dengan prinsip keadilan (tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum) dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah Al-Quran yang menegaskan:
و لا يجز  منكم شنأ ن قوم على ال تعدلوااعد لوا هو اقر ب للتقوى ( الما ئدة )
Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
 (QS. Al-Maidah)
Ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, barang yang ada pada masa khiyar masih menjadi milik sampai gugur khiyar, sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang yang dibeli. Para pengikut imam malik membuat ketetapan bahwa pemilikan barang yang dijual dalam tempo khiyar ada dibawah kekuasaan penjual sampai tempo waktu khiyar selesai. Hujjah golongan ini ialah oarng yang membuat syarat khiyar untuk dirinya tidak memberikan persetujuan yang sempurna terhadap kontrak karena menurut kaidah “kesepakatan tidak dapatterjadi kecuali ada persetujuan atau kerelaan yang sempurna dari pihak yang berakad”.[46]
Ulama Syafi’iyah berpendapat, jika khiyar syarat berasal dari pembeli, maka barang menjadi milik pembeli. Sebaliknya jika khiyar dari penjual, barang menjadi hak penjual. Jika khiyar syarat dari penjual dan pembeli, maka harus ditunggu sampai jelas (yaitu gugurnya khiyar dengan pembatalan atau meneruskan jual beli). Sedangkan menurut ulama Hanabilah, dari siapapun khiyar berasal baik dari penjual maupun penjual, barang tersebut merupakan milik pembeli. Jual beli dengan khiyar sama dengan jual beli lainnya, yaitu dengan cara menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang sebelum terwujud akad merupakan milik penjual.[47]
Dengan demikian kepemilikan barang yang menjadi objek akad sudah mengalami pertukaran kepemilikan. Uang menjadi milik penjual, sedangkan barang yang telah dibeli menjadi milik pembeli, sebab akad ini adalah akad shahih nafidz (akad yang sah dan terlaksana) walaupun kedua belah pihak mensyaratkan khiyar.
Menurut pandangan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiah dan ulama Malikiah, pada hakikat pemberlakuan hak khiyar dalam akad jual beli dapat menghalangi ketetapan akad (hukum akad) yang semestinya ada dalam jual beli. Ketetapan akad adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan harga atau uang sebagai milik penjual. Namum mereka membolehkannya dan memang mengharuskannya, karena khiyar memiliki dasar hukum (nash yang shahih), yaitu melalui Hadist Rasulullah Saw tentang Hibban ibn Munqidz.
1.4.3.      Pendapat ulama tentang kewarisan khiyar syarat ketika shahibul khiyar meningal dunia.
Menurut ulama Hanafiah khiyar syarat tidak dapat diwariskan, tetapi gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat. Menurut ulama hanabilah, khiyar  menjadi batal dengan meninggalkan orang yang memberikan syarat, kecuali jika ia mengamanatkan untuk membatalkannya, dalam hal ini khiyar menjadi hak milik ahli nwaris.[48] Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiah, khiyar menjadi haknya ahli waris. Dengan demikian tidak gugur dengan meningalnya orang yang memberi syarat.[49]







[1] Mahasiswi Fakultas Syariah IAIN Ar Raniry Jurusan Syariah Muamalah wal Iqtishad
 [2] Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadhuriyyah, 1990), hlm. 123

[3]  Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Juz IV (Syiria: Dar Al- Fikr, 1987), hlm. 252
[4] Abdul Adhin bin Badawi Al- Khalafi, Al-Wajiz; Ensiklopedi Fiqh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah Ash- Shahih, (Jakarta: Pustaka As- Sunnah, 2006). Hlm. 66

[5]  Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, hlm. 195

[6] Abdurrazaq As-Sanhuri, Mashadir Al-Haq Fil Fiqh Al-Islami, (terj. Samsul Anwar), (Beirut: Al-Majma’ Al-Ilmi, 2005), hlm. 317

[7]  Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Juz IV, hlm.254

[8] Abdul Adhin bin Badawi Al- Khalafi, Al-Wajiz; Ensiklopedi Fiqh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah Ash- Shahih, hlm. 667

[9] Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Buhhari, Juz III, (Beirut:Lebanon,t.t), hlm.110

[10]  Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari; Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, Juz 12, terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005) hlm. 122

[11] Sayid Sabiq,  fiqh Sunnah  Jilid II (Kuala Lumpur: Victoria Agency, 2001) hlm .102
[12] Ghufron A. Masaid, Fiqh Muamalah Kontektual (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002) , hlm.111
[13]  Anjasmuni A.Rahman,Kaidah-Kaidah Fiqh ( Jakarta: Bulan Bintang, 1975) hlm.44

[14]  Hadist  tersebut terdapat dalam “Kitab Tijarat “, Bab Al-Khiyar , “Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz II (Indonesia: Maktabah Dahlan, 1983), hlm. 736

[15]  Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah; Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.258

[16] Ibid, hlm. 259

 [17]  Iman Taqiyuddin Abu Bakar  Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Ahyar  Fiil Hal Ghayal Ikhtishar, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2001), hlm. 341

[18] Imam Abu Husaien Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisabury, Shahih Muslim, Juz II Hadist No. 1533 (Beirut: Dar Fikr,1992), hlm.240 

                [19] Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Buhhari, Juz III. Hlm. 111

[20]  Ibn Hajar Al-Asqalani, fathul Bari; Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, Juz 12, Hadist No. 2111, Terj Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam,2005) 127
[21] Ibid, hlm. 127

[22] Ibid, hlm. 127
[23]  Rahmat Syafi,i,  Fiqh Muamalah, Cet III  (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 105

[24] Asy Syarbaini al-Khatib,  Mughni Al –Muktaj, (Beirut: Dar Al-fikr 1978) Jil: II,hlm. 43
[25]  Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, hlm.131

[26] Rahmat Syafi,i, Fiqh Muamalah, 103

[27] Asy Syarbaini Al-Khatib,  Mughni Al –Muktaj, Jil: II,hlm. 45

[28] Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, hlm.131

[29] Asy Syarbaini al-Khatib,  Mughni Al –Muktaj, Jil: II,hlm. 129

[30] Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, hlm.131

[31] Asy Syarbaini al-Khatib,  Mughni Al –Muktaj, Jil: II,hlm. 18

[32] Rahmat Syafi,i, Fiqh Muamalah, 105

                [33] Ibid

[34] Mustafa Ahnad Az-Zarqa, Syarh Al-Qawa’id Fiqhiyyah, (Beirut: Dar Al-Gharb,1983), hlm.13

[35]  Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah fiqh (Al-Qowaid Fiqhiyyah), (Jakarta: Kalam Mulia,2001), hlm.18
[36] Wahbah Zuhaili, Fiqh Dan Islam Perundangan, Jilid IV, Terj. Syed Ahmad Syed Husein,(Malaysia: Dewan Bahasa dan pustaka, 2002), hlm.259

[37] Rachmat Syafi,i, Fiqh Muamalah, hlm. 106

[38] Ibid.

[39] Wahbah Zuhaili, Fiqh Dan Islam Perundangan, Jilid IV, Terj. Syed Ahmad Syed Husein, hlm.547

[40] Ibid ,hlm. 111
[41] Ibid, hlm.108

[42] Ibid, hlm.111

[43] Ibid

[44] Abu Bakar Muhammad Ibrahim bin Munzir An-Naisabury, Isyraf’ala Mazhabil Ulama (Makkah, Maktabah Makkah Ast-Tsiqafiyah, 2005) hlm.78
[45] Ibid,hlm.111
[46] Wahbah Zuhaili, Fiqh Dan Islam Perundangan, Jilid IV, (Terj. Syed Ahmad Syed Husein), hlm.547

[47] Rahmat Syafi,i, Fiqh Muamalah, 111

[48] Ibn Qudamah,  Al-Mugni, juz III (Mesir: Mathba’ah Al Imam 1983), hlm. 579

[49] Ibn Rusyd, Bidayatul  Mujtahid Wa An-Nihayah Al-Mugtashid, Juz II (Beirut: Dar Al Fikr, 1984) , hlm. 209

1 komentar: