IHYA’ AL-MAWAT MENURUT HUKUM ISLAM
Oleh Iwan Ranto[1]
1.1.Pengertian
dan Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
1.1.1.
Pengertian
Ihya’ Al-Mawat
Kata ihya’
al-mawat terdiri dari dua kata
yaitu ihya’ menghidupkan dan al-mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang
mati. Menurut Abu Bakar Ibn Khusen
al-Kasynawi al-mawat
itu adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan
tidak ada yang memanfaatkannya.[2]
Al-Rafi’i mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak
ada yang memanfaatkannya seorangpun.[3]
yaitu tanah
yang dihidupkan oleh seseorang berarti menjadi milik orang yang menghidupkan
tanah.[6]
Sedangkan menurut Syaikh Syihab al-Din Qalyubi wa Umairah, ihya’ al-mawat yaitu menyuburkan tanah yang tidak subur.[7]
Menghidupkan tanah mati itu artinya mengolah tanah, atau
menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami.[8]
Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk
keperluan apa pun, sehingga bisa menghidupkannya yakni dengan adanya usaha
seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi telah menjadikan
tanah tersebut miliknya.[9]
Menurut Sulaiman Rasjid ihya’
al-mawat adalah membuka tanah baru
yakni tanah yang belum dikerjakan oleh siapa pun, berarti tanah itu tidak
dimiliki oleh seorang atau tidak diketahui pemiliknya.[10]
Idris Ahmad mendefinisikan ihya’
al-mawat dengan memanfaatkan tanah
kosong untuk dijadikan kebun sawah dan yang lainnya.[11]
Secara terminologi, ada
beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama’ fiqh tentang ihya’ al-mawat :
1. Menurut Ulama’
Hanafiyah adalah
اصلاح الارض
لايملكها ولاينفع بها احد وتعذر زرعها لانقطاع الماء عنها من العامر
Artinya: Penggarapan
lahan yang belun dimiliki dan digarap orang lain karena ketiadaan irigasi
serta jauh dari pemukiman.[12]
2.
Menurut
ulama’ Malikiyah adalah:
ما سلم عن اختصاص
باحياء (اى بسبب احياء ه بشيئ) او بسبب كونه حريم عمارة كمحتطب او مرعى لبلد
Artinya: Tanah atau lahan yang selamat dari
pengelolahan (sebab mengelola lahan itu
dengan sesuatu), atau sebab adanya penghalang untuk mengelola lahan tersebut.
3. Menurut
ulama’ Syafi’iyah adalah:
اصلاح الارض ما لم يكون
عامرا ولا حريما لعامر قريب من العامراو بعد
Artinya : Penggarapan tanah atau lahan yang belum
digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat.[13]
4.
Menurut ulama’
Hanabilah adalah:
الارض التى ليس
لها مالك ولابها ماء ولا عمارة ولا ينفع بها
Aritnya : Lahan atau tanah yang tidak ada
pemiliknya, tidak ada airnya (gersang), tidak dikelola, serta tidak dimanfaatkan
oleh orang lain.
Dari pengertian di atas jika diperluas maknanya menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah
dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai
lahan pertanian maupun mendirikan bangunan, “pengertian tersebut mengisyaratkan
bahwa yang menjadikan sebab seseorang bisa memiliki sebidang tanah, manakala
tanah itu kosong, belum diolah dan belum dimiliki seseorang”.[14]
Al-qur’an tidak memberikan penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara jelas dan rinci. Al-qur’an hanya
mengungkapkan secara umum tentang keharusan bertebaran di atas bumi untuk
mencari karunia Allah sebagaimana terdapat dalam surat al-Jumu’ah ayat 10.
Artinya: Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ayat ini menganjurkan
setiap muslim untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka
menunaikan shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai
dengan keahlian dan profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani
maka bercocok tanam di lahannya. Oleh
karena itu ayat ini menganjurkan setiap individu muslim untuk aktif bekerja dan
memproduktifkan segala aspek yang berguna untuk kebutuhan masyarakat. Dalam hal
ini menghidupkan lahan yang kosong sangat dianjurkan dalam Islam karena
menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak produktifitas masyarakat semakin
meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat ini menganjurkan untuk
menghidupkan lahan kosong.
1.1.2. Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab,
yang didasarkan pada hadis Nabi Saw yang mengatakan
bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah Swt.[15]
Dalam kitab
Kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz (boleh) dengan
syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan tanah yang
dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain.[16]
Hadis-hadist yang
berkenaan dengan ihya’ al-mawat
عن عائشة رضي الله عنها, ان النبي صلى
الله عليه وسلم قال : من أعمر أرضا ليست لأ حد فهو احق. قال عروة : قضى به عمر رضي
الله عنه فى خلا فته (رواه البخارى)[17]
Artinya : Dari
Aisyah r.a : Nabi saw pernah bersabda, “ orang yang mengolah lahan yang tidak
dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah
berkata”, Umar r.a memberi keputusan demikian pada masa kekhalifahannya (H.R
Bukhari)
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: أجلى عمر
رضي الله عنه اليهود والنصارى من أرض الحجاج, وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم
لما ظهر على خير, أراد اخراج اليهود منها, وكانت الأرض حين ظهر عليها لله ولرسوله
صلى الله عليه وسلم وللمسلمين وأراد إخراج اليهود منها, فسأ لت اليهود رسول الله
صلى الله عليه وسلم ليقرهم بها ان يكفوا عملها, ولهم نصف الثمر, فقال لهم رسول
الله صلى الله عليه وسلم : (نقركم بها على ذلك ماشئنا) فقروا بها حتى أجلى هم عمر
ألى تيماء وأريحاء (رواه البخارى)[18]
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a : Umar r.a mengeluarkan
orang-orang yahudi dan nasrani dari hijaz pada saat menaklukan khaibar,
rasulullah saw hendak mengeluarkan orang-orang yahudi dari tanah itu, sehingga
tanah itu menjadi hak milik Allah, Rasulnya dan umat Islam. Tetapi mereka
memohon agar tetap dibiarkan tinggal disana dengan syarat mereka akan mengelola
tanah itu dan memperoleh separo buah-buahan (hasil mengelola tanah itu).
Rasulullah saw bersabda kepada mereka, “kami akan membiarkan kalian tinggal
disini selama kami mau,” maka mereka (orang-orang yahudi) tinggal disana hingga
umar (pada masa kekhalifahannya) memindahkan mereka Tayma dan Ariha. (H.R.
Bukhari)
عن جابر رضى
الله, ان النبي صلى الله عليه وسلم, قال من أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد
والترمذى)[19]
Artinya: Dari Jabir r.a, bahwasanya Nabi saw bersabda :
Barang siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi
miliknya (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)
وعن سعيد بن زيد قال : قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم. من أحيا ارضا ميتتا فهى له, وليس لعرق ظالم حق (رواه احمد وابو داود
والترمذى)[20]
Artinya: Dari Said bin Jaid berkata : Rasulullah saw
bersabda : Barang siapa yang menghidupkan lahan mati maka lahan itu menjadi
miliknya, tidak ada suatu hak bagi yang mempunyai akar pohon yang zalim atau
orang yang zalim (H.R Ahmad, Abu dawud, dan Turmudzy)
وعن أسمر بن
مضرس قال: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم, فبا يعته, فقال "من سبق الى مالم
يسبق اليه مسلم فهو له" قال : فخرج الناس يتعادون يطخاطون (رواه ابو داود)[21]
Artinya: Dari Asmar bin Mudarris berkata : saya datang
menemui Nabi, dan membai’atkannya, Nabi bersabda : Barang siapa yang lebih
dahulu melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh seseorang muslim yang lain
sebelumnya, tanah tersebut menjadi miliknya, Asmar berkata : maka beberapa
orang berlomba menuju lahan kosong untuk membuat patok menandai bahwa tanah itu
miliknya (H.R. Abu Dawud)
Wahbah menjelaskan bahwa beberapa hadis di atas menunjukkan kebolehan
menghidupkan tanah mati yang tidak ada pemiliknya, dan tidak sedang
dimanfaatkan orang lain. Dengan demikian siapapun boleh menghidupkannya dengan
menyiram, mengolah, dan menanamnya, atau mendirikan bangunan di atasnya, atau
membuat pagar di sekitar tanah tersebut. Hadis ini juga menjelaskan bahwa
syara’ mendorong untuk menghidupkan lahan tidur karena manusia sangat
membutuhkannya. Hal tersebut untuk pertanian, perindustrian, dan lapangan
perekonomian lainnya.[22]
Dari uraian di atas terlihat bahwa nas hanya menjelaskan sistem
menghidupkan lahan tidur secara mutlak. Penjelasan tersebut hanya terkait pada
penekanan siapa yang menghidupkan lahan tidur maka ia memilikinya dengan syarat
belum dimiliki orang lain dan penjelasan orang yang berhak terhadap sesuatu
adalah orang yang lebih dahulu memilikinya. Dalam hadis tidak dijelaskan
ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang lain, hal-hal apa saja yang
menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang boleh untuk dihidupkan, dan lain
sebagainya. Hadis-hadis itu juga memotivasi umat Islam untuk menjadikan lahan
kosong menjadikan lahan produktif, sehingga karunia yang diturunkan Allah swt
dapat dimanfaatkan semaksimum mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia.[23] Oleh
karena itu pada pelaksanaannya di lapangan sangat banyak dipengaruhi oleh hukum
adat setempat.
Bahwasanya tidak ada bedanya seorang muslim dengan orang kafir dzimmi
(kafir yang tunduk kepada pemerintahan Islam). Disamping karena harta yang
telah diambil oleh kafir dzimmi, dari dasar lembah, semak belukar, serta puncak
gunung itu memang bisa menjadi miliknya, di mana harta tersebut tidak boleh
dicabut dari orang tersebut. Sebab, tanah mati yang dihidupkan saja boleh
menjadi hak miliknya, apalagi yang lain. Ketentuan ini berlaku umum, mencakup
semua bentuk tanah, baik tanah darul Islam[24],
atau tanah darul kufur[25],
hanya saja agar menjadi hak miliknya, tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan
dengan baik agar dapat berproduksi. Bahwasanya kepemilikan hanyalah hak untuk
mengembangkan tanah. Jika seseorang gagal mengembangkan tanah tersebut dalam
jangka waktu tertentu, klaimnya atas tanah tersebut hilang dan lenyap.[26]
Abu Yusuf berpandangan dengan sebuah hadis Nabi yang menyatakan, “ Orang yang mengklaim akan
kehilangan hak untuk membuka tanah yang mati setelah tiga tahun. Ia tidak lagi
memiliki hak atasnya melebihi yang lain.”[27] Untuk pengelolaan yang lebih baik atas jeni tanah semacam itu,
pembukaan tanah tanpa menanaminya tidak diperbolehkan.
Apabila tanah tersebut belum pernah dikelola selama tiga tahun, sejak
tanah tersebut dibuka, atau setelah dibuka kemudian dibiarkan selama tiga tahun
berturut-turut, maka hak pemilikan orang yang bersangkutan atas tanah tersebut
telah hilang.
Umar bin Khaththab berkata :[28]
“Bagi orang yang
membiarkan tanahnya, maka tidak ada hak baginya, setelah dibiarkan selama tiga
tahun.” Umar menyatakan dan
melaksanakan tindakan semacam itu, sementara para sahabat melihat dan
mendengarkannya, namun tidak ada satu pun ada di antara mereka yang
mengingkarinya. Maka, ini telah menjadi ijma’ sahabat. Jadi, jika seseorang
membuka sebidang tanah tanpa menanaminya lebih dari tiga tahun, orang yang lain
yang menanaminyalah yang akan memiliki hak atasnya. Ini menunjukkan bahwa
pembukaan tanah (dengan menetapkan tanda kepemilikan) tidaklah cukup, kecuali
jika tanah itu benar-benar ditanami.
1.2. Cara-cara Ihya’ Al-Mawat
Adapun cara-cara menghidupkan lahan mati atau dapat
juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam.
Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Pengolahan
lahan yang menjadi obyek Ihya’
al-Mawat menurut ulama Hanafiyah
dan Malikiyah adalah dengan menggarapnya sebagai lahan pertanian. Untuk itu
perlu dibersihkan pepohonan yang ada di dalamnya, mencangkul lahannya untuk
pertanian, membuat saluran irigasi, baik dengan menggali sumur maupun dengan
mencari sumber air lainnya, menanaminya dengan pepohonan atau tanaman yang
menghasilkan, serta memagarnya.[29]
Ulama Syafi’iyah menyatakan cara untuk mengolah
lahan kosong yang tidak dimiliki seseorang dikembalikan kepada adat istiadat
yang berlaku di daerah itu. Jika lahan itu dimaksudkan untuk tempat tinggal,
maka lahan itu perlu dipagar dan membangun rumah di atasnya. Jika dimaksudkan
untuk pertanian, maka lahannya diolah, irigasinya dibuat, baik dengan menggali
sumur maupun mengambil air dari sungai, dan menanami lahan itu dengan tanaman
produktif sesuai dengan keinginannya. Ulama Hanabilah menyatakan bahwa Ihya’ al-Mawat itu cukup dengan dilakukan dengan memagar
sekeliling lahan yang ingin digarap, baik untuk lahan pertanian, tempat gembala
hewan ternak, maupun untuk perumahan.
Akan tetapi, ulama fiqh lain menyatakan bahwa ihya’ al-mawat tidak cukup hanya dengan memagar sebidang lahan,
tanpa menggarapnya jadi lahan pertanian atau perumahan.[30]
Menurut
Hafidz Abdullah dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah mati atau
dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam.
Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun
cara Ihya’ al-Mawat adalah sebagai berikut:
a) Menyuburkan, cara ini digunakan untuk
daerah yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah
tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga
tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil sesuai dengan yang diharapkan;
b) Menanam, cara ini dilakukan untuk
didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia,
maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah ada yang
memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik tanaman untuk makanan
pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon
jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
c) Menggarisi atau membuat pagar, hal
ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin untuk
dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat
pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d) Menggali parit, yaitu membuat parit
di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang mengetahui
bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian menutup jalan bagi
orang lain untuk menguasainya.[31]
Syekh Muhammad Ibn Qasim
al-Ghazzi memaparkan secara luas tentang cara Ihya’ al-Mawat sebagai
berikut:[32]
Adapun cara yang ditempuh dalam menghidupkan bumi mati tersebut, yaitu dengan
cara yang menurut kebiasaan menggarap (mengelola) bumi yang dihidupkan. Dan
berbedalah cara menghidupkan bumi mati ini dengan sebab berbeda tujuan yakni
tujuan seorang dalam menghidupkan bumi mati itu. Apabila orang yang
menghidupkan bumi itu bertujuan untuk mendirikan rumah, maka disyaratkan agar
memberikan batasan tanahnya dengan mendirikan bangunan di atasnya sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku di tempat itu, seperti dengan memberi batu merah, batu,
atau bambu. Juga disyaratkan agar memberikan atap sebagian dari bangunan
batasan tersebut dan diberi pintu.
Jika orang yang menghidupkan bumi mati itu
bertujuan untuk dibuat kandang binatang, maka cukup dipagari saja, tidak perlu
pagar yang memungkinkan dapat dijadikan rumah dan tidak pula disyaratkan harus
diberi atap-atapan. Sedangkan bila bertujuan untuk persawahan, maka cukup
mengumpulkan tanah di sekeliling persawahan itu dan hendaknya meratakan bumi
yang menjulang di dalamnya. Kemudian menguruk tanah yang cekung dan meluruskan
aliran air menuju kepersawahan tersebut dengan menggali parit yang dialirkan
dari sumur atau menggali selokan. Apabila ada air hujan yang sudah dapat
mencukupinya menurut kebiasaan, maka tidak perlu meluruskan air menurut
pendapat yang shahih.
Jika bertujuan hendak
dibuat perkebunan, maka disyaratkan supaya mengumpulkan tanah dan memberi pagar
disekeliling bumi perkebunan itu bila memang berlaku kebiasaan seperti itu. Dan
menurut pendapat yang berlaku, disyaratkan supaya tanah tersebut ditanami terus
menerus. Demikian menurut madzhab Syafi’i. Ketahuilah, bahwa air yang
ditentukan seseorang saja, wajib menyerahkannnya karena binatang piaraan orang
lain.
Mustofa Diibulbigha
berpendapat, bahwa cara menghidupkan tanah mati itu ialah apa yang menurut adat
kebiasaan (dianggap) meramaikan tanah yang dihidupkan. Menurutnya orang wajib
memberi air (kepada orang lain) dengan tiga syarat: a. Lebih dari yang diperlukan,
b. dibutuhkan oleh orang lain baik untuk dirinya sendiri atau untuk ternaknya,
c. Air itu dari air yang tersedia di dalam sumur atau sumber.[33]
Dari
keterangan di atas menunjukkan bahwa tanah yang dibuka itu menjadi
milik yang membukanya. Kalau untuk tanaman, dengan menanam tanaman dan
menggali sumur-sumur. Sedangkan bila untuk didiami dengan mendirikan
rumah.[34]
Dalam hal ini menurut imam Maliki, yang demikian itu
diserahkan kepada adat. Jika adat mengatakan bahwa yang demikian
itu dipandang membuka, seperti mendirikan rumah, menanam pohon-pohon,
menggali sumur-sumur, maka menjadilah milik dan dipandang sudah
menghidupkan.[35]
Sedangkan mengenai rumput yang tumbuh di atas tanah yang ada
pemiliknya, maka menjadi hak pemilik tanah jika tanah itu
dipagari. Namun bila tidak dipagari tidak menjadi milik pemilik tanah, demikian
pendapat imam Maliki.
Selanjutnya
imam Maliki mengatakan jika sumur terletak di atas tanah lapang,
maka pemiliknya berhak sekadar keperluannya dan wajib memberi yang
lebih dari keperluannya. Kalau di dalam pagar, tidak lazim memberi yang
lebih terkecuali terhadap tetangganya yang sumurnya sudah rusak, atau
sudah tertutup mata airnya, sampai tetangga itu memperbaiki sumurnya, atau mata
airnya. Kalau tetangga itu tidak mengambil perhatian terhadap perbaikan
sumurnya, maka tidak lazim diberikan terus menerus dan boleh ia ambil
bayaran.[36]
1.3.Obyek Yang Berkaitan
Dengan Ihya’
Al-Mawat
Adapun obyek yang berkaitan dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah
yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali
bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia
tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi
imam. Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara. Hal
itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma
kepada Rasulullah Saw, di mana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut
diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara
menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda
yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut
bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul Saw agar memberikannya.[37]
Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati di
atas tanah usyuriyah, maka dia bisa memiliki lahan dan kegunaannya
sekaligus, baik muslim maupun non-muslim. Bagi seorang muslim wajib membayar usyur[38]
dari panen tanaman dan buah-buahannya sebagai zakat
yang diwajibkan atas tanaman dan buah-buahannya, apabila telah mencapai satu
nisab. Sementara bagi non-muslim tidak wajib membayar zakat, baik usyur maupun kharaj.[39] Sebab, orang non-muslim tidak termasuk orang yang
wajib membayar zakat, sehingga dia bisa diwajibkan. Disamping karena kharaj memang tidak diwajibkan atas tanah usyuriyah.
Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati di
atas tanah kharajiyah, yang belum pernah dipungut kharaj-nya, maka ia berhak memiliki lahan dan kegunaannya
sekaligus, bila dia seorang muslim dan hanya berhak memiliki kegunaannya, bila
dia seorang non-muslim. Bagi seorang muslim, hanya wajib membayar usyur dan tidak wajib membayar kharaj. Sedangkan bagi orang non-muslim wajib membayar kharaj, sebagaimana yang telah ditetapkan atas penduduk
tanah yang non-muslim, ketika mereka dibiarkan pada saat penaklukan, sebagai
kompensasi kharaj yang harus mereka keluarkan.[40]
Siapa pun yang telah menghidupkan sebidang tanah
mati, di atas tanah kharajiah
yang sebelumnya pernah ditetapkan kharaj-nya sebelum tanah tersebut berubah menjadi tanah
mati, maka orang yang bersangkutan hanya berhak memiliki kegunaannya, sementara
lahannya tidak, baik muslim maupun non-muslim. Oleh karena itu, masing-masing
tetap diwajibkan membayar kharaj,
sebab tanah tersebut berstatus sebagai tanah yang
ditaklukan yang harus diambil kharaj-nya. Dengan demikian, kharaj
tersebut tetap wajib atas tanah tadi sepanjang
masa, baik tanah tadi dimiliki oleh seorang muslim maupun non-muslim. Ini
adalah ketentuan menghidupkan tanah untuk ditanami.[41]
Tidak semua lahan kosong yang boleh dijadikan obyek Ihya’ al-Mawat. Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan
itu ada dua jenis : pertama, lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti
ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin
dari imam. Kedua, tanah yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya
secara jelas mungkin sudah wafat dan lain sebagainya. Lahan seperti ini ada dua
riwayat: pertama, boleh dimiliki dengan cara menghidupkannya berdasarkan hadis
Nabi Saw :
عادى الرض لله ولرسوله ثم هي لكم بعد
Artinya : Tanah
tertinggal adalah milik Allah dan Rasulnya, kemudian diserahkan kepadamu
sekalian.[42]
Para ulama fiqh juga membagi lahan itu kepada dua bagian, yaitu yang
boleh menjadi obyek ihya
al-mawat dan yang tidak boleh.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa lahan yang belum dimiliki seseorang, tidak
ada tanda-tanda lahan itu digarap, dan di lahan itu tidak ada bangunan, boleh
digarap oleh siapapun.[43]
Ulama juga sepakat menyatakan bahwa sebidang tanah yang telah menjadi milik
seseorang, sekalipun belum dimanfaatkan, tidak bisa dijadikan obyek Ihya’ al-Mawat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat yang
terletak pada masalah:
1.
Tanah yang sudah ada pemiliknya akan tetapi ditinggalkan oleh
pemiliknya sehingga terlantar dan kembali seperti tanah mati yang tidak ada
pemiliknya. Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa lahan seperti ini tidak
boleh dihidupkan oleh orang lain karena hadis hanya memberikan alasan kebolehan
menghidupkan tanah mati itu dengan tanah yang tidak punya pemilik, dan
kepemilikan harta tidak hilang karena ditinggalkan. Abu Yusuf dari golongan
Hanafiyah mengatakan tanah seperti ini boleh dihidupkan kalau tidak diketahui
lagi siapa pemiliknya karena pemiliknya jauh dari pemukiman penduduk sekiranya
seseorang menyerunya sekeras-kerasnya pemilik tanah tidak mendengar suara
tersebut.
Muhammad
mengatakan kalau tanah itu ada pemiliknya maka tanah itu tidak boleh dihidupkan
orang lain, kalau tidak diketahui maka masyarakat muslimlah yang berhak
menghidupkannya. Malikiah mengatakan boleh dihidupkan kalau bekas-bekas kepemilikan
tanah terhapus dari tanah tersebut. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang
mengatakan siapa yang menghidupkan tanah mati maka tanah tersebut menjadi
miliknya.
1) Tanah yang di atasnya dijumpai
peninggalan-peninggalan sejarah klasik seperti peninggalan kaum Rum, Samud, dan
lain sebagainya. Tanah seperti ini boleh dihidupkan menurut mazhab yang empat
didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:
عادي الأرض لله ولرسوله ثم هو بعد لكم[44]
2) Tanah itu telah dimiliki orang Islam atau kafir zimmi
akan tetapi tidak dikenal siapa pemiliknya, menurut Malikiyah dan Hanafiyah
boleh dihidupkan. Alasan yang mereka kemukakan adalah tanah tersebut tanah mati
karena tidak seorang pun dari masyarakat yang bisa membuktikan kepemilikannya.
Menurut Syafi’i tanah itu tanah kosong. Pengelolaannya diserahkan kepada
pemerintah demikian juga penentuan kepemilikannya. Pemerintah juga berhak
menjualnya dengan menyimpan uangnya atau mengqiradkannya di bait al-mal dan
tidak boleh dihidupkan orang lain. Menurut Hanabilah tidak boleh dihidupkan.
1.4. Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad Ibn
Qasyim al-Ghazzi: Ihya’ al-Mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh
dengan adanya dua syarat yaitu:[45]
1.
Bahwa yang
menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati,
meskipun Imam (pemuka) mengizinkan atau tidak.
2.
Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang
memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas
merdeka.
Hafidz
Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat barang siapa boleh
memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat)
dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak boleh memiliki tanah kosong
dengan jalan menghidupkannya di negara Islam, dan boleh memilikinya di negara
musyrik. Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas-bekas pemilikan dan
tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan
menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas-bekas pemilikan,
tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri Islam maka
tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada di
negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan
tidak boleh.[46]
Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang
menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat
hukumnya adalah:[47]
a.
Pemilikan lahan itu.
Mayoritas
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang
lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan, Akan tetapi,
Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan bahwa status orang yang
menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak milik. Ia
menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang dibolehkan,
maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.
Ibnu Qudamah mengatakan apabila ada disekitar tanah
yang akan dihidupkan itu tambang emas atau perak, mata air yang dibutuhkan
orang banyak, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak,
maka lahan tersebut tidak boleh dihidupkan. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi
Saw dari Abyad Ibn Hannal ketika ia menjumpai Rasulullah dan meminta agar
Rasulullah memberikan kepadanya sebagian lokasi pengolahan garam. Lalu
Rasulullah memberikannya. Ketika Abyad mulai mengolahnya tiba-tiba datang
seorang laki-laki kepadanya sambil berkata: “Apakah kamu tidak tahu bahwa di
atas lahan penggaramanmu itu ada air yang terus menerus mengalir (ma’ al-yad), kemudian laki-laki tersebut meminta agar Abyad
meminta kepada Rasul untuk mencabut haknya terhadap lokasi penggaraman
tersebut. Rasulullah hanya memberikan kepada Abyad lokasi yang tidak ada
bekas-bekas telapak onta disekitarnya.[48]
b.
Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
Apabila
seseorang telah menggarap suatu lahan menjadi pertanian, bagaimana kaitannya
dengan pemerintah?
Menurut
ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil
pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim. Tetapi,
apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya
sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf, apabila yang menggarap lahan itu seorang muslim,
maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10% dari hasil lahan garapan itu.
c.
Seorang telah menggarap sebidang lahan
Apabila
seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu untuk
menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk
keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum
boleh.
Untuk
menentukan batas lahan yang boleh dimanfaatkan untuk menunjang lahan garap itu,
para ulama berbeda pendapat. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa untuk pengairan
dibolehkan memanfaatkan lahan sekitarnya seluas 50 hasta (lebih kurang 30
meter). Untuk mengalirkan saluran air tidak ditentukan batasnya, karena hal itu
terkait dengan kebijaksanaan pemerintah untuk pepohonan diberi hak seluas 5
hasta (lebih kurang 3 meter), sehingga dalam batas itu diserahkan sepenuhnya
kepada adat istiadat daerah setempat. Ulama Malikiyah dan Hanabilah, sekalipun
menentukan jarak tertentu, namun pada akhirnya yang memutuskan itu, menurut
mereka adalah adat istiadat atau pemerintah.[49]
Untuk orang yang menggarap, menurut ulama Syafi’iyah, haruslah seorang muslim,
karena kaum zimmi tidak berhak menggarap lahan umat Islam, sekalipun diizinkan
oleh pihak penguasa. Jika kaum dzimmi atau kafir menggarap lahan orang Islam
itu, berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam; sedangkan kaum dzimmi
atau kafir tidak boleh menguasai orang Islam. Oleh sebab itu, jika seorang
kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka
orang Muslim ini boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya.
Ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam. Akan
tetapi ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang
akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan
tidak ada bedanya antara muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan
kosong. Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa Ihya’ al-Mawat merupakan salah satu cara pemilikan lahan. Oleh
sebab itu, tidak perlu dibedakan antara muslim dengan non-muslim.[50]
2.4.1. Syarat-syarat Ihya’ al-Mawat
Para ulama fiqh
sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat Ihya’
al-Mawat ada 3 yaitu : 1. Orang
yang menggarap, 2. Lahan yang akan digarap, dan 3. Proses penggarapan.
a. Syarat
yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’
Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap
lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau
orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak
milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai
orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu
datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu
dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak
boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah,
Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu
tidak disyaratkan seorang muslim, mereka menyatakan tidak ada bedanya antara
orang muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong.
Kemudian mereka (jumhur
ulama) juga menyatakan bahwa Ihya’ al-Mawat merupakan salah satu pemilikan
lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim[51]
b. Syarat
yang terkait dengan lahan yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di
wilayah islam, akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya
antara lahan yang ada di negara islam maupun bukan,
bukan
lahan yang dimilki seseorang, baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang
dijadikan sarana penunjang bagi suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga
dan lapangan untuk mengembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat
maupun jauh dari perkampungan.
Menurut Imam Abu
Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak
mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu,
menurut
ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka menggarapnya harus
mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak
perlu izin dari pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah,
Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh
Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek Ihya’ al-Mawat
jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena
harta seperti itu adalah harta yang boleh dimilki setiap orang, dan hadis-hadis
Rasulullah Saw, tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak pemerintah,
akan tetapi, mereka sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari pemerintah,
untuk menghindari sengketa dikemudian hari.
Menurut ulama Hanafiyah,
lahan itu harus sudah digarap dalam waktu tiga tahun, jika selama tiga tahun
itu, tidak digarap secara intensif maka pihak pemerintah berhak mengambil lahan
itu serta memberikannya kepada orang lain, pembatasan waktu tiga hari ini
didasarkan kepada pendapat Umar bin Al-Khattab yang menyatakan “(ucapan Umar
ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i), pendapat Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah
tidak berbeda dengan dengan pendapat ulama Hanafiyah ini.
1.5. Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi
sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang
membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin
lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan
haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah
berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi
disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai
aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu
tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah
konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana
tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah
dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa.[53]
Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah
mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa
siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus
meninggalkan tanah tersebut.[54]
Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area
perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan,
maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan
maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik
orang yang pertama membukanya.
Pada masa Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan
anjurannya siapa yang membuka lahan
kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada
individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya,
sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu, untuk
menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa).[55]
Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu
merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik
negara, namun, bagi individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah
menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah
mati, dialah pemiliknya.
Dalam hal ini, ada perkataan Nabi Saw yang jelas. Yahya meriwayatkan
bahwa Nabi Saw bersabda: “Hak
kepemilikan pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan
tetapi, orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.”[56]
Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian utama kebijakan
keuangan Islam awal. Yahya berpendapat bahwa memakmurkan tanah berarti jika
seseorang harus membuka sumber atau sumur kuno atau menyalurkan air ke tanah
yang tidak ditanami atau diduduki oleh seseorang sebelumnya hingga tanah
tersebut layak untuk ditanami.[57]
Abu Yusuf menegaskan bahwa memakmurkan tanah mati berarti membajak, menabur
benih dan mengairi tanah tersebut.[58]
Implikasinya adalah menjadikan tanah kosong cocok untuk ditanami yang membuat
kepemilikan individu atas tanah tersebut. Yahya mengatakan bahwa orang yang
menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya selamanya dan tidak dapat dicabut
darinya.[59] Abu
Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia memperoleh hak
kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya untuk ditanami,
menggali saluran di dalamnya atau
membangunnya untuk kepentingannya.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada
individu untuk memiliki tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan
membangun tanah mati. Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah
menguntungkan kas negara dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak
pendapatan melalui pajak tanah.
Di Indonesia kewenangan untuk membuka lahan tidur diberikan kepada
setiap individu atau badan hukum selama pembukaan lahan tersebut mendapatkan
izin dari penguasa setempat baik dari camat, bupati, atau gubernur ditingkat
propinsi. Untuk tanah yang berukuran luas, maka harus mendapatkan izin langsung
dari Badan pertanahan Nasional. Untuk lahan yang dibutuhkan masyarakat banyak
dan kebutuhan masyarakat sangat tergantung pada lahan tersebut, maka dalam
hukum Islam lahan seperti ini tidak boleh dihidupkan untuk dimiliki.
Hal yang sama juga dijumpai dalam UUPA yang menjelaskan bahwa tanah
yang berfungsi sosial tidak dapat
dimiliki oleh siapa pun selama tanah itu masih difungsikan untuk kebutuhan
sosial atau keagamaaan. Hukum Islam tidak mengenal kepemilikan tanah secara
kolektif seperti yang terdapat dalam masyarakat adat yang disebut dengan hak
ulayat.[60]
Kepemilikan tanah dalam Islam lebih cenderung bersifat individual. UUPA
sebenarnya lebih cenderung mengarahkan kepemilikan tanah yang bersifat kolektif
tersebut semakin dikurangi, oleh karena itulah pemerintah menganjurkan
pemerintah lokal untuk tidak menghidup-hidupkan kembali kepemilikan tanah
bersifat kolektif tersebut (tanah ulayat).
Untuk pembukaan lahan baru yang belum pernah dimiliki seseorang atau
badan hukum, maka kewenangan untuk membuka lahan baru tersebut tidak bisa
dilakukan begitu saja akan tetapi harus mendapatkan izin dari pemerintah
setempat yaitu kepada Gubernur untuk tingkat propinsi, Wali Kotamadya/Bupati untuk
tingkat Kotamadya/Kabupaten, dan Camat Kepala Wilayah untuk tingkat kecamatan.[61]
[1] Iwan Ranto adalah mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Syariah Muamalah wal Iqtishad
IAIN Ar Raniry Banda Aceh, Angkatan 2007
[2]Abu Bakar Ibn Khusen al-Kasynawi,
Asyhadul Madarik, Syarkh Irsyad al-Syalik fi Fiqhi Imam al-Aimmah Malik,
Juz 2, ( Beirut, Libanon: Dar al-Kitab Ilmiah, 1991), hlm. 190.
[3]Muhammad al-Syarbani al-Khatib, al-Iqna
fi Hall al-Alfadz Abi Syuja’, ( Beirut: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
1978), hlm.78.
[4] Syekh Muhammad Ibn Qasim
al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib,(Indonesia: Dar Ihya al-Qutub
al-Arabiyah, 1978). hlm.28.
[5] Abu Muhammad Abdullah Ibn
Qudamah al-Maqdisi, al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal (Beirut
:al-Maktabul Islami, 1998), hlm. 435.
[6] Hasbullah Bakry, Pedoman
Islam di Indonesia, Cet. 5, (Jakarta : UI Press, 1990), hlm. 306.
[7] Syihab al-Din Qalyubi Wa
Umairah, Qalyubi Wa Umairah, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub
al-Arabiah, 1978), hlm.87.
[8] Taqyuddin An-Nabhani, Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996), hlm. 135.
[10] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (At-Tahairriyah
: Jakarta, 1976), hlm. 319.
[11] Idris Ahmad, Fiqh
al-Syafi’iyyah, (Karya Indah : Jakarta, 1986), hlm. 144.
[12] Asy-Syarbini al-Khatib, Mughni
al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976) Jilid ll, hlm. 361.
[13] Nasrun Haroen, Fiqh
Muamalah, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 2007), hlm.45.
[14]Al-Imam Alamah Ibn Ali Ibn
Muhammad Syaukani, Nail al-Autar, (Beirut : Dar al-Qutub al-Arabia, tt),
hlm. 3.
[15] Abu Zakariya Yahya bin Syarif al-Nawawi, Minhaj
al-Talibin, Juz 3, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), hlm. 88. Taqiyuddin
Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz I, (Semarang:
Toha Putra, tt), hlm. 315.
[16] Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad
al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt),
hlm. 315.
[17] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul
Baari Syarah Shahih Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azimi, 2005), hlm. 257-258.
[18] Zaki Al-Din Al-zhim Al-Mundziri,
Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Juz III (Crescent News : Malaysia, 2004),
hlm.430.
[19] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi
Hadis-Hadis Hukum, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm.227.
[20] Ibid. hlm. 228.
[21] Ibid.
[22] Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Islam
wa Adilatuh, Juz VI, (Damaskus
: Darl al-Fikr, 1997), hlm. 4616.
[23] Nasrun Haroen, hlm. 47.
[24]Darul Islam adalah suatu negeri yang: 1)
menerapkan hukum Islam, 2) keamanannya untuk menerapkan hukum Islam serta untuk
mempertahankan negeri tersebut dari serangan musuh yang berada di tangan kaum Muslimin,
meskipun secara kuantitas kaum Muslimin sebagai pihak minoritas (Lihat, As-Syakhshiyah
Al-Islamiyah, An-Nabhani, Jilid II, hlm. 215).
[25]Darul Kufur adalah negeri yang tidak memenuhi
salah satu atau kedua kriteria darul Islam, meskipun secara kuantitas
jumlah kaum Muslimin mayoritas (Lihat, Ibid, hlm. 216).
[26] Sabahuddin Azmi, Menimbang
Ekonomi Islam (Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 118.
[27] Ibid.
[28] Taqyuddin An-Nabhani, hlm.75.
[29]Imam al-Kasani, Badai’I’u
al-Fawa’id, Jilid VI, (Beirut:
Dar al-Fikr), hlm. 194.
[30] Ibnu Qudamah, al-Mughni,
(Riyadh: Maktabah ar-Riyadh-hadithsah), Jilid V, hlm. 514.
[31] Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih
Syafi’i, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1992), hlm. 189-190.
[32] Syekh Muhammad
ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Indonesia: Dar al-Ihya
al-Kitab, al-Arabiah, tt), hlm. 39.
[33] Mustofa Diibulbigha, Attahjib,
terj, Ny Adlchiyah Sunarto, M. Multazam, Fiqih Syafi’I terjemah Attahjib,
(Surabaya: CV Bintang Pelajar, 1984), hlm. 331-332.
[34] TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum
Fiqih Islam, Cet II, (Semarang: Pustaka Rizki Putra 2001), hlm. 435.
[35] Ibid.
[36] Ibid., 436.
[37] Taqyuddin an-Nabhani, hlm. 138.
[38] Ushur memiliki dua arti,
pertama 10% dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan, ini termasuk
zakat yang diambil dari seorang Muslim dan didistribusikan sebagaimana
distribusi zakat. Kedua 10% diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki
wilayah Islam dengan membawa barang dagangan. (Lihat Pajak menurut syariah,
Gusfahmi, hlm.130).
[39] Kharaj adalah Pajak atas
tanah atau hasil tanah, dimana para pengelola wilayah taklukan harus membayar
kepada negara Islam. Ibid. hlm.126.
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Ibn Qudamah, al-Kaffi fi Fiqh
al-Imam Ahmad Ibn Hanbal (Beirut:al-Maktabul Islami, 1988), hlm.435.
[43] Ibid.
[44] Hadis diriwayatkan dari Tawas
Sa’id bin Mansur dalam sunannya Abu ‘Ubaid dalam kitab Amwal.
[45] Syekh Muhammad ibn Qasyim
al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab,
al-Arabiah, tt, hlm. 38. Imam Taqi al-Din abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah
al-Ahyar Fii hali Ghayat al-Ikhtisar, (Semarang: Maktabah al-Awiyah, tt),
hlm. 315. Mustafa Diibulbigha, at-Tahdzib, terj. Adlchiyah Sunarto, M.
Multazam, Fiqih Syafi’i, (Surabaya: CV Bintang Pelajar, 1984), hlm. 331.
[46] Ibid.
[47]Ibid.
[48] Ibid.
[49] Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar
ala ar-Durr al-Mukhtar,Jilid V, (Beirut : Dar al-Fikr),, hlm. 307.
[51] Ibnu Qadamah, Al-Mughni,Jilid
V, (Riyadh : Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, tt), hlm.51.
[52] Ibid.
[53] Ibid.
[54] Ibid.,hlm. 65.
[55] Ibid.
[56] Yahya, Kitab al-Kharaj (Beirut:
Dar al-Ma’arif, 1979), hlm. 19.
[57] Ibid. hlm.90.
[58] Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj
(Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979), hlm. 24, 26.
[59] Yahya, hlm. 90.
[60] Hak ulayat adalah suatu hak
tanpa nama. Berbeda dengan hak-hak lain yang mempunyai nama seperti hak milk,
hak guna bangunan, hak membuka tanah, dan
lain sebagainya. Hak ulayat merupakan hak dari suatu masyarakat persekutuan
hukum adat (adat rechsgemeenschap) yang mendiami suatu wilayah atau
ulayat. John Salendeho, Masalah Tanah dan Pembangunan (Jakarta: Sinar
Grafika, 1993), hlm. 284.
[61] Bachtiar Efendi, Kumpulan
Tulisan Tentang Hukum Tanah (Bandung : Alumni, 1993), hlm.40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar