Pages

Selasa, 29 November 2011

IHYA’ AL-MAWAT MENURUT HUKUM ISLAM
Oleh Iwan Ranto[1]

1.1.Pengertian dan Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
1.1.1.      Pengertian Ihya’ Al-Mawat
Kata ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan dan al-mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. Menurut Abu Bakar Ibn Khusen al-Kasynawi al-mawat itu adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya.[2] Al-Rafi’i mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun.[3]
Menurut Syekh Muhammad yang dimaksud dengan tanah mati ialah tanah yang tidak ada pemiliknya dan belum ada seorang pun yang mengambil manfaat bumi tersebut.[4] Ibn Qudamah mendefinisikan al-mawat dengan tanah rusak dan tidak diketahui siapa pemiliknya.[5] Hasbullah Bakry berpendapat ihya’ al-mawat

yaitu tanah yang dihidupkan oleh seseorang berarti menjadi milik orang yang menghidupkan tanah.[6] Sedangkan menurut Syaikh Syihab al-Din Qalyubi wa Umairah, ihya’ al-mawat yaitu menyuburkan tanah yang tidak subur.[7] Menghidupkan tanah mati itu artinya mengolah tanah, atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami.[8] Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apa pun, sehingga bisa menghidupkannya yakni dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut miliknya.[9]
Menurut Sulaiman Rasjid ihya’ al-mawat adalah membuka tanah baru yakni tanah yang belum dikerjakan oleh siapa pun, berarti tanah itu tidak dimiliki oleh seorang atau tidak diketahui pemiliknya.[10] Idris Ahmad mendefinisikan ihya’ al-mawat dengan memanfaatkan tanah kosong untuk dijadikan kebun sawah dan yang lainnya.[11]
Secara terminologi, ada beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama’ fiqh tentang ihya’  al-mawat :


1.    Menurut Ulama’ Hanafiyah adalah
اصلاح الارض لايملكها ولاينفع بها احد وتعذر زرعها لانقطاع الماء عنها من العامر
Artinya:  Penggarapan lahan yang belun dimiliki  dan digarap orang lain karena ketiadaan irigasi serta  jauh dari pemukiman.[12]
2.  Menurut ulama’ Malikiyah adalah:
ما سلم عن اختصاص باحياء (اى بسبب احياء ه بشيئ) او بسبب كونه حريم عمارة كمحتطب او مرعى لبلد
Artinya: Tanah atau lahan yang selamat dari pengelolahan (sebab mengelola  lahan itu dengan sesuatu), atau sebab adanya penghalang untuk mengelola lahan tersebut.
3.    Menurut ulama’ Syafi’iyah adalah:
اصلاح الارض ما لم يكون عامرا ولا حريما لعامر قريب من العامراو بعد       
Artinya : Penggarapan tanah atau lahan yang belum digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari  pemukiman maupun dekat.[13]
4.    Menurut ulama’ Hanabilah adalah:
الارض التى ليس لها مالك ولابها ماء ولا عمارة ولا ينفع بها
Aritnya : Lahan atau tanah yang tidak ada pemiliknya, tidak ada airnya (gersang), tidak dikelola, serta tidak dimanfaatkan oleh orang lain.
Dari pengertian di atas jika diperluas maknanya menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan, “pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa yang menjadikan sebab seseorang bisa memiliki sebidang tanah, manakala tanah itu kosong, belum diolah dan belum dimiliki seseorang”.[14]
Al-qur’an tidak memberikan penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara jelas dan rinci. Al-qur’an hanya mengungkapkan secara umum tentang keharusan bertebaran di atas bumi untuk mencari karunia Allah sebagaimana terdapat dalam surat al-Jumu’ah ayat 10.
 
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ayat ini menganjurkan setiap muslim untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka menunaikan shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani maka  bercocok tanam di lahannya. Oleh karena itu ayat ini menganjurkan setiap individu muslim untuk aktif bekerja dan memproduktifkan segala aspek yang berguna untuk kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini menghidupkan lahan yang kosong sangat dianjurkan dalam Islam karena menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak produktifitas masyarakat semakin meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat ini menganjurkan untuk menghidupkan lahan kosong.
1.1.2. Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang didasarkan pada hadis Nabi Saw yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah Swt.[15] Dalam kitab Kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz (boleh) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain.[16]
Hadis-hadist yang berkenaan dengan ihya’ al-mawat
عن عائشة رضي الله عنها, ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : من أعمر أرضا ليست لأ حد فهو احق. قال عروة : قضى به عمر رضي الله عنه فى خلا فته (رواه البخارى)[17]                                           
Artinya :  Dari Aisyah r.a : Nabi saw pernah bersabda, “ orang yang mengolah lahan yang tidak dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah berkata”, Umar r.a memberi keputusan demikian pada masa kekhalifahannya (H.R Bukhari)
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: أجلى عمر رضي الله عنه اليهود والنصارى من أرض الحجاج, وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم لما ظهر على خير, أراد اخراج اليهود منها, وكانت الأرض حين ظهر عليها لله ولرسوله صلى الله عليه وسلم وللمسلمين وأراد إخراج اليهود منها, فسأ لت اليهود رسول الله صلى الله عليه وسلم ليقرهم بها ان يكفوا عملها, ولهم نصف الثمر, فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم : (نقركم بها على ذلك ماشئنا) فقروا بها حتى أجلى هم عمر ألى تيماء وأريحاء (رواه البخارى)[18]                                    
Artinya:   Dari Ibnu Umar r.a : Umar r.a mengeluarkan orang-orang yahudi dan nasrani dari hijaz pada saat menaklukan khaibar, rasulullah saw hendak mengeluarkan orang-orang yahudi dari tanah itu, sehingga tanah itu menjadi hak milik Allah, Rasulnya dan umat Islam. Tetapi mereka memohon agar tetap dibiarkan tinggal disana dengan syarat mereka akan mengelola tanah itu dan memperoleh separo buah-buahan (hasil mengelola tanah itu). Rasulullah saw bersabda kepada mereka, “kami akan membiarkan kalian tinggal disini selama kami mau,” maka mereka (orang-orang yahudi) tinggal disana hingga umar (pada masa kekhalifahannya) memindahkan mereka Tayma dan Ariha. (H.R. Bukhari)
عن جابر رضى الله, ان النبي صلى الله عليه وسلم, قال من أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد والترمذى)[19]
Artinya:   Dari Jabir r.a, bahwasanya Nabi saw bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)
وعن سعيد بن زيد قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. من أحيا ارضا ميتتا فهى له, وليس لعرق ظالم حق (رواه احمد وابو داود والترمذى)[20]
Artinya:   Dari Said bin Jaid berkata : Rasulullah saw bersabda : Barang siapa yang menghidupkan lahan mati maka lahan itu menjadi miliknya, tidak ada suatu hak bagi yang mempunyai akar pohon yang zalim atau orang yang zalim (H.R Ahmad, Abu dawud, dan Turmudzy)
وعن أسمر بن مضرس قال: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم, فبا يعته, فقال "من سبق الى مالم يسبق اليه مسلم فهو له" قال : فخرج الناس يتعادون يطخاطون (رواه ابو داود)[21]
Artinya:   Dari Asmar bin Mudarris berkata : saya datang menemui Nabi, dan membai’atkannya, Nabi bersabda : Barang siapa yang lebih dahulu melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh seseorang muslim yang lain sebelumnya, tanah tersebut menjadi miliknya, Asmar berkata : maka beberapa orang berlomba menuju lahan kosong untuk membuat patok menandai bahwa tanah itu miliknya (H.R. Abu Dawud)
Wahbah menjelaskan bahwa beberapa hadis di atas menunjukkan kebolehan menghidupkan tanah mati yang tidak ada pemiliknya, dan tidak sedang dimanfaatkan orang lain. Dengan demikian siapapun boleh menghidupkannya dengan menyiram, mengolah, dan menanamnya, atau mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat pagar di sekitar tanah tersebut. Hadis ini juga menjelaskan bahwa syara’ mendorong untuk menghidupkan lahan tidur karena manusia sangat membutuhkannya. Hal tersebut untuk pertanian, perindustrian, dan lapangan perekonomian lainnya.[22]
Dari uraian di atas terlihat bahwa nas hanya menjelaskan sistem menghidupkan lahan tidur secara mutlak. Penjelasan tersebut hanya terkait pada penekanan siapa yang menghidupkan lahan tidur maka ia memilikinya dengan syarat belum dimiliki orang lain dan penjelasan orang yang berhak terhadap sesuatu adalah orang yang lebih dahulu memilikinya. Dalam hadis tidak dijelaskan ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang lain, hal-hal apa saja yang menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang boleh untuk dihidupkan, dan lain sebagainya. Hadis-hadis itu juga memotivasi umat Islam untuk menjadikan lahan kosong menjadikan lahan produktif, sehingga karunia yang diturunkan Allah swt dapat dimanfaatkan semaksimum mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.[23] Oleh karena itu pada pelaksanaannya di lapangan sangat banyak dipengaruhi oleh hukum adat setempat.
Bahwasanya tidak ada bedanya seorang muslim dengan orang kafir dzimmi (kafir yang tunduk kepada pemerintahan Islam). Disamping karena harta yang telah diambil oleh kafir dzimmi, dari dasar lembah, semak belukar, serta puncak gunung itu memang bisa menjadi miliknya, di mana harta tersebut tidak boleh dicabut dari orang tersebut. Sebab, tanah mati yang dihidupkan saja boleh menjadi hak miliknya, apalagi yang lain. Ketentuan ini berlaku umum, mencakup semua bentuk tanah, baik tanah darul Islam[24], atau tanah darul kufur[25], hanya saja agar menjadi hak miliknya, tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan baik agar dapat berproduksi. Bahwasanya kepemilikan hanyalah hak untuk mengembangkan tanah. Jika seseorang gagal mengembangkan tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu, klaimnya atas tanah tersebut hilang dan lenyap.[26] 
Abu Yusuf berpandangan dengan sebuah hadis Nabi yang menyatakan, “ Orang yang mengklaim akan kehilangan hak untuk membuka tanah yang mati setelah tiga tahun. Ia tidak lagi memiliki hak atasnya melebihi yang lain.”[27] Untuk pengelolaan yang lebih baik atas jeni tanah semacam itu, pembukaan tanah tanpa menanaminya tidak diperbolehkan.
Apabila tanah tersebut belum pernah dikelola selama tiga tahun, sejak tanah tersebut dibuka, atau setelah dibuka kemudian dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut, maka hak pemilikan orang yang bersangkutan atas tanah tersebut telah hilang.
Umar bin Khaththab berkata :[28]Bagi orang yang membiarkan tanahnya, maka tidak ada hak baginya, setelah dibiarkan selama tiga tahun.” Umar menyatakan dan melaksanakan tindakan semacam itu, sementara para sahabat melihat dan mendengarkannya, namun tidak ada satu pun ada di antara mereka yang mengingkarinya. Maka, ini telah menjadi ijma’ sahabat. Jadi, jika seseorang membuka sebidang tanah tanpa menanaminya lebih dari tiga tahun, orang yang lain yang menanaminyalah yang akan memiliki hak atasnya. Ini menunjukkan bahwa pembukaan tanah (dengan menetapkan tanda kepemilikan) tidaklah cukup, kecuali jika tanah itu benar-benar ditanami.

1.2. Cara-cara Ihya’ Al-Mawat
Adapun cara-cara menghidupkan lahan mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Pengolahan lahan yang menjadi obyek Ihya’ al-Mawat menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah dengan menggarapnya sebagai lahan pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohonan yang ada di dalamnya, mencangkul lahannya untuk pertanian, membuat saluran irigasi, baik dengan menggali sumur maupun dengan mencari sumber air lainnya, menanaminya dengan pepohonan atau tanaman yang menghasilkan, serta memagarnya.[29]
Ulama Syafi’iyah menyatakan cara untuk mengolah lahan kosong yang tidak dimiliki seseorang dikembalikan kepada adat istiadat yang berlaku di daerah itu. Jika lahan itu dimaksudkan untuk tempat tinggal, maka lahan itu perlu dipagar dan membangun rumah di atasnya. Jika dimaksudkan untuk pertanian, maka lahannya diolah, irigasinya dibuat, baik dengan menggali sumur maupun mengambil air dari sungai, dan menanami lahan itu dengan tanaman produktif sesuai dengan keinginannya. Ulama Hanabilah menyatakan bahwa Ihya’ al-Mawat itu cukup dengan dilakukan dengan memagar sekeliling lahan yang ingin digarap, baik untuk lahan pertanian, tempat gembala hewan ternak, maupun untuk perumahan.
Akan tetapi, ulama fiqh lain menyatakan bahwa ihya’ al-mawat tidak cukup hanya dengan memagar sebidang lahan, tanpa menggarapnya jadi lahan pertanian atau perumahan.[30] Menurut Hafidz Abdullah dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun cara Ihya’ al-Mawat adalah sebagai berikut:
a) Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil sesuai dengan yang diharapkan;
b) Menanam, cara ini dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia, maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik tanaman untuk makanan pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
c) Menggarisi atau membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d) Menggali parit, yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.[31]
Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi memaparkan secara luas tentang cara Ihya’ al-Mawat sebagai berikut:[32] Adapun cara yang ditempuh dalam menghidupkan bumi mati tersebut, yaitu dengan cara yang menurut kebiasaan menggarap (mengelola) bumi yang dihidupkan. Dan berbedalah cara menghidupkan bumi mati ini dengan sebab berbeda tujuan yakni tujuan seorang dalam menghidupkan bumi mati itu. Apabila orang yang menghidupkan bumi itu bertujuan untuk mendirikan rumah, maka disyaratkan agar memberikan batasan tanahnya dengan mendirikan bangunan di atasnya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di tempat itu, seperti dengan memberi batu merah, batu, atau bambu. Juga disyaratkan agar memberikan atap sebagian dari bangunan batasan tersebut dan diberi pintu.
 Jika orang yang menghidupkan bumi mati itu bertujuan untuk dibuat kandang binatang, maka cukup dipagari saja, tidak perlu pagar yang memungkinkan dapat dijadikan rumah dan tidak pula disyaratkan harus diberi atap-atapan. Sedangkan bila bertujuan untuk persawahan, maka cukup mengumpulkan tanah di sekeliling persawahan itu dan hendaknya meratakan bumi yang menjulang di dalamnya. Kemudian menguruk tanah yang cekung dan meluruskan aliran air menuju kepersawahan tersebut dengan menggali parit yang dialirkan dari sumur atau menggali selokan. Apabila ada air hujan yang sudah dapat mencukupinya menurut kebiasaan, maka tidak perlu meluruskan air menurut pendapat yang shahih.
Jika bertujuan hendak dibuat perkebunan, maka disyaratkan supaya mengumpulkan tanah dan memberi pagar disekeliling bumi perkebunan itu bila memang berlaku kebiasaan seperti itu. Dan menurut pendapat yang berlaku, disyaratkan supaya tanah tersebut ditanami terus menerus. Demikian menurut madzhab Syafi’i. Ketahuilah, bahwa air yang ditentukan seseorang saja, wajib menyerahkannnya karena binatang piaraan orang lain.
Mustofa Diibulbigha berpendapat, bahwa cara menghidupkan tanah mati itu ialah apa yang menurut adat kebiasaan (dianggap) meramaikan tanah yang dihidupkan. Menurutnya orang wajib memberi air (kepada orang lain) dengan tiga syarat: a. Lebih dari yang diperlukan, b. dibutuhkan oleh orang lain baik untuk dirinya sendiri atau untuk ternaknya, c. Air itu dari air yang tersedia di dalam sumur atau sumber.[33]
Dari keterangan di atas menunjukkan  bahwa tanah yang dibuka  itu menjadi milik yang membukanya. Kalau untuk tanaman, dengan menanam tanaman  dan menggali sumur-sumur. Sedangkan bila untuk didiami  dengan mendirikan rumah.[34] Dalam  hal ini  menurut imam Maliki, yang demikian itu  diserahkan  kepada adat. Jika adat mengatakan  bahwa yang demikian itu  dipandang membuka, seperti mendirikan rumah, menanam pohon-pohon, menggali sumur-sumur, maka menjadilah  milik  dan dipandang sudah menghidupkan.[35] Sedangkan mengenai  rumput  yang tumbuh  di atas tanah yang ada pemiliknya, maka menjadi  hak  pemilik tanah  jika tanah itu dipagari. Namun bila tidak dipagari tidak menjadi milik pemilik tanah, demikian pendapat imam Maliki.
Selanjutnya  imam Maliki mengatakan  jika sumur  terletak di atas tanah lapang, maka pemiliknya berhak  sekadar keperluannya  dan wajib memberi yang lebih  dari keperluannya. Kalau di dalam pagar, tidak lazim memberi yang lebih  terkecuali terhadap tetangganya yang sumurnya sudah rusak, atau sudah tertutup mata airnya, sampai tetangga itu memperbaiki sumurnya, atau mata airnya. Kalau tetangga itu tidak mengambil perhatian terhadap perbaikan sumurnya, maka tidak lazim diberikan terus menerus dan boleh  ia ambil bayaran.[36]

1.3.Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
Adapun obyek yang berkaitan dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam. Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah Saw, di mana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul Saw agar memberikannya.[37]
Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati di atas tanah usyuriyah, maka dia bisa memiliki lahan dan kegunaannya sekaligus, baik muslim maupun non-muslim. Bagi seorang muslim wajib membayar usyur[38] dari panen tanaman dan buah-buahannya sebagai zakat yang diwajibkan atas tanaman dan buah-buahannya, apabila telah mencapai satu nisab. Sementara bagi non-muslim tidak wajib membayar zakat, baik usyur maupun kharaj.[39] Sebab, orang non-muslim tidak termasuk orang yang wajib membayar zakat, sehingga dia bisa diwajibkan. Disamping karena kharaj memang tidak diwajibkan atas tanah usyuriyah.
Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati di atas tanah kharajiyah, yang belum pernah dipungut kharaj-nya, maka ia berhak memiliki lahan dan kegunaannya sekaligus, bila dia seorang muslim dan hanya berhak memiliki kegunaannya, bila dia seorang non-muslim. Bagi seorang muslim, hanya wajib membayar usyur dan tidak wajib membayar kharaj. Sedangkan bagi orang non-muslim wajib membayar kharaj, sebagaimana yang telah ditetapkan atas penduduk tanah yang non-muslim, ketika mereka dibiarkan pada saat penaklukan, sebagai kompensasi kharaj yang harus mereka keluarkan.[40]
Siapa pun yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, di atas tanah kharajiah yang sebelumnya pernah ditetapkan kharaj-nya sebelum tanah tersebut berubah menjadi tanah mati, maka orang yang bersangkutan hanya berhak memiliki kegunaannya, sementara lahannya tidak, baik muslim maupun non-muslim. Oleh karena itu, masing-masing tetap diwajibkan membayar kharaj, sebab tanah tersebut berstatus sebagai tanah yang ditaklukan yang harus diambil kharaj-nya. Dengan demikian, kharaj tersebut tetap wajib atas tanah tadi sepanjang masa, baik tanah tadi dimiliki oleh seorang muslim maupun non-muslim. Ini adalah ketentuan menghidupkan tanah untuk ditanami.[41]
Tidak semua lahan kosong yang boleh dijadikan obyek Ihya’ al-Mawat. Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama, lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat dan lain sebagainya. Lahan seperti ini ada dua riwayat: pertama, boleh dimiliki dengan cara menghidupkannya berdasarkan hadis Nabi Saw :
عادى الرض لله ولرسوله ثم هي لكم بعد
Artinya : Tanah tertinggal adalah milik Allah dan Rasulnya, kemudian diserahkan kepadamu sekalian.[42]
Para ulama fiqh juga membagi lahan itu kepada dua bagian, yaitu yang boleh menjadi obyek ihya al-mawat dan yang tidak boleh. Para ulama sepakat menyatakan bahwa lahan yang belum dimiliki seseorang, tidak ada tanda-tanda lahan itu digarap, dan di lahan itu tidak ada bangunan, boleh digarap oleh siapapun.[43] Ulama juga sepakat menyatakan bahwa sebidang tanah yang telah menjadi milik seseorang, sekalipun belum dimanfaatkan, tidak bisa dijadikan obyek Ihya’ al-Mawat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat yang terletak pada masalah:
1.        Tanah yang sudah ada pemiliknya akan tetapi ditinggalkan oleh pemiliknya sehingga terlantar dan kembali seperti tanah mati yang tidak ada pemiliknya. Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa lahan seperti ini tidak boleh dihidupkan oleh orang lain karena hadis hanya memberikan alasan kebolehan menghidupkan tanah mati itu dengan tanah yang tidak punya pemilik, dan kepemilikan harta tidak hilang karena ditinggalkan. Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah mengatakan tanah seperti ini boleh dihidupkan kalau tidak diketahui lagi siapa pemiliknya karena pemiliknya jauh dari pemukiman penduduk sekiranya seseorang menyerunya sekeras-kerasnya pemilik tanah tidak mendengar suara tersebut.
            Muhammad mengatakan kalau tanah itu ada pemiliknya maka tanah itu tidak boleh dihidupkan orang lain, kalau tidak diketahui maka masyarakat muslimlah yang berhak menghidupkannya. Malikiah mengatakan boleh dihidupkan kalau bekas-bekas kepemilikan tanah terhapus dari tanah tersebut. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang mengatakan siapa yang menghidupkan tanah mati maka tanah tersebut menjadi miliknya.
1)   Tanah yang di atasnya dijumpai peninggalan-peninggalan sejarah klasik seperti peninggalan kaum Rum, Samud, dan lain sebagainya. Tanah seperti ini boleh dihidupkan menurut mazhab yang empat didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:
عادي الأرض لله ولرسوله ثم هو بعد لكم[44]
2)   Tanah itu telah dimiliki orang Islam atau kafir zimmi akan tetapi tidak dikenal siapa pemiliknya, menurut Malikiyah dan Hanafiyah boleh dihidupkan. Alasan yang mereka kemukakan adalah tanah tersebut tanah mati karena tidak seorang pun dari masyarakat yang bisa membuktikan kepemilikannya. Menurut Syafi’i tanah itu tanah kosong. Pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah demikian juga penentuan kepemilikannya. Pemerintah juga berhak menjualnya dengan menyimpan uangnya atau mengqiradkannya di bait al-mal dan tidak boleh dihidupkan orang lain. Menurut Hanabilah tidak boleh dihidupkan.

1.4. Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi: Ihya’ al-Mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu:[45]
1.    Bahwa yang menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun Imam (pemuka) mengizinkan atau tidak.
2.    Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas merdeka.
            Hafidz Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat barang siapa boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat) dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak boleh memiliki tanah kosong dengan jalan menghidupkannya di negara Islam, dan boleh memilikinya di negara musyrik. Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas-bekas pemilikan dan tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas-bekas pemilikan, tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri Islam maka tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada di negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh.[46]
Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah:[47]
a.         Pemilikan lahan itu.
            Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan, Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak milik. Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.
Ibnu Qudamah mengatakan apabila ada disekitar tanah yang akan dihidupkan itu tambang emas atau perak, mata air yang dibutuhkan orang banyak, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, maka lahan tersebut tidak boleh dihidupkan. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Saw dari Abyad Ibn Hannal ketika ia menjumpai Rasulullah dan meminta agar Rasulullah memberikan kepadanya sebagian lokasi pengolahan garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Ketika Abyad mulai mengolahnya tiba-tiba datang seorang laki-laki kepadanya sambil berkata: “Apakah kamu tidak tahu bahwa di atas lahan penggaramanmu itu ada air yang terus menerus mengalir (ma’ al-yad), kemudian laki-laki tersebut meminta agar Abyad meminta kepada Rasul untuk mencabut haknya terhadap lokasi penggaraman tersebut. Rasulullah hanya memberikan kepada Abyad lokasi yang tidak ada bekas-bekas telapak onta disekitarnya.[48]
b.        Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
            Apabila seseorang telah menggarap suatu lahan menjadi pertanian, bagaimana kaitannya dengan pemerintah?
            Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim. Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf, apabila yang menggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10% dari hasil lahan garapan itu.
c.         Seorang telah menggarap sebidang lahan
            Apabila seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu untuk menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum boleh.
            Untuk menentukan batas lahan yang boleh dimanfaatkan untuk menunjang lahan garap itu, para ulama berbeda pendapat. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa untuk pengairan dibolehkan memanfaatkan lahan sekitarnya seluas 50 hasta (lebih kurang 30 meter). Untuk mengalirkan saluran air tidak ditentukan batasnya, karena hal itu terkait dengan kebijaksanaan pemerintah untuk pepohonan diberi hak seluas 5 hasta (lebih kurang 3 meter), sehingga dalam batas itu diserahkan sepenuhnya kepada adat istiadat daerah setempat. Ulama Malikiyah dan Hanabilah, sekalipun menentukan jarak tertentu, namun pada akhirnya yang memutuskan itu, menurut mereka adalah adat istiadat atau pemerintah.[49]
Untuk orang yang menggarap, menurut ulama Syafi’iyah, haruslah seorang muslim, karena kaum zimmi tidak berhak menggarap lahan umat Islam, sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa. Jika kaum dzimmi atau kafir menggarap lahan orang Islam itu, berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam; sedangkan kaum dzimmi atau kafir tidak boleh menguasai orang Islam. Oleh sebab itu, jika seorang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang Muslim ini boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya.
 Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam. Akan tetapi ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan kosong. Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa Ihya’ al-Mawat merupakan salah satu cara pemilikan lahan. Oleh sebab itu, tidak perlu dibedakan antara muslim dengan non-muslim.[50]
2.4.1. Syarat-syarat Ihya’ al-Mawat
            Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat Ihya’ al-Mawat ada 3 yaitu : 1. Orang yang menggarap, 2. Lahan yang akan digarap, dan 3. Proses penggarapan.
a.    Syarat yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim, mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong.
Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa Ihya’ al-Mawat merupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim[51]
b.    Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap
            Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara islam maupun bukan,  bukan lahan yang dimilki seseorang, baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.
c.    Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan[52]
Menurut Imam Abu Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu, menurut ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka menggarapnya harus mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek Ihya’ al-Mawat jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah harta  yang boleh dimilki setiap orang, dan hadis-hadis Rasulullah Saw, tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak pemerintah, akan tetapi, mereka sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.
Menurut ulama Hanafiyah, lahan itu harus sudah digarap dalam waktu tiga tahun, jika selama tiga tahun itu, tidak digarap secara intensif maka pihak pemerintah berhak mengambil lahan itu serta memberikannya kepada orang lain, pembatasan waktu tiga hari ini didasarkan kepada pendapat Umar bin Al-Khattab yang menyatakan “(ucapan Umar ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i), pendapat Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah tidak berbeda dengan dengan pendapat ulama Hanafiyah ini.

1.5. Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa.[53] Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut.[54] Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.
Pada masa Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa  yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa).[55] Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya.
Dalam hal ini, ada perkataan Nabi Saw yang jelas. Yahya meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: “Hak kepemilikan pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan tetapi, orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.”[56]
Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian utama kebijakan keuangan Islam awal. Yahya berpendapat bahwa memakmurkan tanah berarti jika seseorang harus membuka sumber atau sumur kuno atau menyalurkan air ke tanah yang tidak ditanami atau diduduki oleh seseorang sebelumnya hingga tanah tersebut layak untuk ditanami.[57] Abu Yusuf menegaskan bahwa memakmurkan tanah mati berarti membajak, menabur benih dan mengairi tanah tersebut.[58] Implikasinya adalah menjadikan tanah kosong cocok untuk ditanami yang membuat kepemilikan individu atas tanah tersebut. Yahya mengatakan bahwa orang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya selamanya dan tidak dapat dicabut darinya.[59] Abu Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia memperoleh hak kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya untuk ditanami, menggali saluran di dalamnya atau  membangunnya untuk kepentingannya.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada individu untuk memiliki tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan membangun tanah mati. Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah menguntungkan kas negara dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak tanah.
Di Indonesia kewenangan untuk membuka lahan tidur diberikan kepada setiap individu atau badan hukum selama pembukaan lahan tersebut mendapatkan izin dari penguasa setempat baik dari camat, bupati, atau gubernur ditingkat propinsi. Untuk tanah yang berukuran luas, maka harus mendapatkan izin langsung dari Badan pertanahan Nasional. Untuk lahan yang dibutuhkan masyarakat banyak dan kebutuhan masyarakat sangat tergantung pada lahan tersebut, maka dalam hukum Islam lahan seperti ini tidak boleh dihidupkan untuk dimiliki.
Hal yang sama juga dijumpai dalam UUPA yang menjelaskan bahwa tanah yang berfungsi sosial tidak  dapat dimiliki oleh siapa pun selama tanah itu masih difungsikan untuk kebutuhan sosial atau keagamaaan. Hukum Islam tidak mengenal kepemilikan tanah secara kolektif seperti yang terdapat dalam masyarakat adat yang disebut dengan hak ulayat.[60] Kepemilikan tanah dalam Islam lebih cenderung bersifat individual. UUPA sebenarnya lebih cenderung mengarahkan kepemilikan tanah yang bersifat kolektif tersebut semakin dikurangi, oleh karena itulah pemerintah menganjurkan pemerintah lokal untuk tidak menghidup-hidupkan kembali kepemilikan tanah bersifat kolektif tersebut (tanah ulayat).
Untuk pembukaan lahan baru yang belum pernah dimiliki seseorang atau badan hukum, maka kewenangan untuk membuka lahan baru tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja akan tetapi harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat yaitu kepada Gubernur untuk tingkat propinsi, Wali Kotamadya/Bupati untuk tingkat Kotamadya/Kabupaten, dan Camat Kepala Wilayah untuk tingkat kecamatan.[61]



[1] Iwan Ranto adalah mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Syariah Muamalah wal Iqtishad  IAIN Ar Raniry Banda Aceh, Angkatan 2007
[2]Abu Bakar Ibn Khusen al-Kasynawi, Asyhadul Madarik, Syarkh Irsyad al-Syalik fi Fiqhi Imam al-Aimmah Malik, Juz 2, ( Beirut, Libanon: Dar al-Kitab Ilmiah, 1991), hlm. 190.

[3]Muhammad al-Syarbani al-Khatib, al-Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuja’, ( Beirut: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1978),  hlm.78.

[4] Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib,(Indonesia: Dar Ihya al-Qutub al-Arabiyah, 1978). hlm.28.

[5] Abu Muhammad Abdullah Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal (Beirut :al-Maktabul Islami, 1998), hlm. 435.

[6] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, Cet. 5, (Jakarta : UI Press, 1990), hlm. 306.

[7] Syihab al-Din Qalyubi Wa Umairah, Qalyubi Wa Umairah, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiah, 1978), hlm.87.

[8] Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996), hlm. 135.

[9] Ibid.,hlm. 74.

[10] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (At-Tahairriyah : Jakarta, 1976), hlm. 319.

[11] Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyyah, (Karya Indah : Jakarta, 1986), hlm. 144.
[12] Asy-Syarbini  al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976) Jilid ll, hlm. 361.

[13] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 2007), hlm.45.
[14]Al-Imam Alamah Ibn Ali Ibn Muhammad Syaukani, Nail al-Autar, (Beirut : Dar al-Qutub al-Arabia, tt), hlm. 3.
[15] Abu  Zakariya Yahya bin Syarif al-Nawawi, Minhaj al-Talibin, Juz 3, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), hlm. 88. Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz I, (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 315.

[16] Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 315.
       
[17] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azimi, 2005), hlm. 257-258.
[18] Zaki Al-Din Al-zhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Juz III (Crescent News : Malaysia, 2004), hlm.430.
[19] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm.227.

[20] Ibid. hlm. 228.

[21] Ibid.
[22] Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adilatuh, Juz VI,  (Damaskus : Darl al-Fikr, 1997), hlm. 4616.
[23] Nasrun Haroen, hlm. 47.

[24]Darul Islam adalah suatu negeri yang: 1) menerapkan hukum Islam, 2) keamanannya untuk menerapkan hukum Islam serta untuk mempertahankan negeri tersebut dari serangan musuh yang berada di tangan kaum Muslimin, meskipun secara kuantitas kaum Muslimin sebagai pihak minoritas (Lihat, As-Syakhshiyah Al-Islamiyah, An-Nabhani, Jilid II, hlm. 215).

[25]Darul Kufur adalah negeri yang tidak memenuhi salah satu atau kedua kriteria darul Islam, meskipun secara kuantitas jumlah kaum Muslimin mayoritas (Lihat, Ibid, hlm. 216).

[26] Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam (Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 118.

[27] Ibid.
[28] Taqyuddin An-Nabhani, hlm.75.
[29]Imam al-Kasani, Badai’I’u al-Fawa’id, Jilid VI,  (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 194.

[30] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh-hadithsah), Jilid V, hlm. 514.
[31] Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1992), hlm. 189-190.

[32] Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab, al-Arabiah, tt), hlm. 39.
[33] Mustofa Diibulbigha, Attahjib, terj, Ny Adlchiyah Sunarto, M. Multazam, Fiqih Syafi’I terjemah Attahjib, (Surabaya: CV Bintang Pelajar, 1984), hlm. 331-332.

[34] TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam,  Cet II, (Semarang: Pustaka Rizki Putra 2001), hlm. 435.

[35] Ibid.
[36] Ibid., 436.

[37] Taqyuddin an-Nabhani, hlm. 138.
[38] Ushur memiliki dua arti, pertama 10% dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan, ini termasuk zakat yang diambil dari seorang Muslim dan didistribusikan sebagaimana distribusi zakat. Kedua 10% diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah Islam dengan membawa barang dagangan. (Lihat Pajak menurut syariah, Gusfahmi, hlm.130).

[39] Kharaj adalah Pajak atas tanah atau hasil tanah, dimana para pengelola wilayah taklukan harus membayar kepada negara Islam. Ibid. hlm.126.

[40] Ibid.
[41] Ibid.

[42] Ibn Qudamah, al-Kaffi fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal (Beirut:al-Maktabul Islami, 1988), hlm.435.

[43] Ibid.
[44] Hadis diriwayatkan dari Tawas Sa’id bin Mansur dalam sunannya Abu ‘Ubaid dalam kitab Amwal.

[45] Syekh Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab, al-Arabiah, tt, hlm. 38. Imam Taqi al-Din abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Ahyar Fii hali Ghayat al-Ikhtisar, (Semarang: Maktabah al-Awiyah, tt), hlm. 315. Mustafa Diibulbigha, at-Tahdzib, terj. Adlchiyah Sunarto, M. Multazam, Fiqih Syafi’i, (Surabaya: CV Bintang Pelajar, 1984), hlm. 331.
[46] Ibid.

[47]Ibid.
[48] Ibid.
[49] Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar ala ar-Durr al-Mukhtar,Jilid V, (Beirut : Dar al-Fikr),, hlm. 307.
[50]Ibid. hlm. 517.
[51] Ibnu Qadamah, Al-Mughni,Jilid V,  (Riyadh : Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, tt),  hlm.51.

[52] Ibid.
[53] Ibid.

[54] Ibid.,hlm. 65.

[55] Ibid.

[56] Yahya, Kitab al-Kharaj (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979), hlm. 19.

[57] Ibid. hlm.90.

[58] Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979), hlm. 24, 26.

[59] Yahya, hlm. 90.
[60] Hak ulayat adalah suatu hak tanpa nama. Berbeda dengan hak-hak lain yang mempunyai nama seperti hak milk, hak guna bangunan, hak membuka tanah, dan  lain sebagainya. Hak ulayat merupakan hak dari suatu masyarakat persekutuan hukum adat (adat rechsgemeenschap) yang mendiami suatu wilayah atau ulayat. John Salendeho, Masalah Tanah dan Pembangunan (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 284.

[61] Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah (Bandung : Alumni, 1993), hlm.40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar