TINJAUAN TEORITIS AQAD IJARAH MUNTAHIYA BITTAMLIK (IMBT)
1. Pengertian dan Landasan Hukum Ijarah Muntahiya Bittamlik
a. Pengertian Ijarah Muntahiya Bittamlik
Perkembangan zaman yang semakin modern membuat manusia semakin sering bertransaksi dengan sesama, sejalan dengan itu hukum islam pun dituntut agar mampu mengakomodasi tuntutan zaman yang tidak bertentangan dengan Syaria’at dalam semua transaksi. Dalam hukum islam belum dikenal dengan istilah ijarah muntahiya bittamlik tetapi hanya mengenal ijarah murni (ijarah) yaitu sewa menyewa yang tidak diikuti oleh pemindahan hak milik. Di zaman sekarang ini kebutuhan manusia yang semakin bertambah sehingga muncul aqad-aqad baru, termasuk dalam hal sewa-menyewa.
Karena kebutuhan tersebut, islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk melakukan modifikasi-modifikasi yang diperlukan asalkan tidak melanggar prinsib-prinsib dasar muamalah serta membawa kemaslahatan kepada umatnya. Aqad ijarah berkembang pesat karena kebutuhan hidup manusia itu sendiri dan tidak semua orang mempunyai rumah, kenderaan, alat-alat rumah tangga dan lain-lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut dapat dilakukan dengan cara menyewa kepada orang lain, karena itulah ijarah mengalami perkembangan dan inovasi baru dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik.
Ijarah Muntahiya Bittamlik (financial leasing with purchase opion) merupakan aqad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan. Aqad ini merupakan rangkaian dua buah aqad yaitu aqad ijarah (sewa menyewa) dan aqad al-bai’ (jual beli). Istilah ini tersusun dari dua kata ; at-ta’jir / al-ijarah (sewa) dan at-tamlik (kepemilikan).
Al- Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-‘iwadhu (ganti). Ijarah secara bahasa berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Ijarah adalah aqad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri.
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Menurut ulama Hanafiah bahwa ijarah ialah : “aqad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewakan dengan imbalan”.
2. Menurut ulama Syafi’iah ijarah adalah : “Transaksi terhadap manfaat yang dikehendaki secara jelas harta yang bersifat mudah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu”.
3. Menurut ulama Malikiah dan Hanabilah ijarah ialah : ” menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mudah dalam waktu tertentu dengan pengganti”.
4. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah : “Aqad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat”.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan imbalan tertentu, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “sewa-menyewa dan upah-mengupah”. Sewa-menyewa adalah : “menjual manfaat” dan upah-mengupah adalah : “menjual tenaga atau kekuatan”.
Sunarto Zulkifli menjelaskan dalam bukunya Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah bahwa ijarah adalah transaksi pertukaran antara ‘ain berbentuk jasa atau manfaat dengan dyan. Dan dalam istilah lain beliau juga menjelaskan bahwa ijarah adalah aqad pemindahan hak guna atau manfaat atas barang atau jasa melalui upah sewa tanpa diikuti hak kepemilikan atas barang utu sendiri.
Dalam konsteks Perbankan Islam ijarah adalah suatu transaksi sewa-menyewa (lease contract) dimana bank atau lembaga keuangan bertindak sebagai penyewa yang menyewakan peralatan (equipment), bangunan, rumah, mesin-mesin, dan barang-barang lain, kepada nasabah berdasarkan beban biaya yang sudah ditentukan secara pasti di awal aqad.
Selajutnya kata at-tamlik berarti menjadikan orang lain memiliki sesuatu. Adapun menurut istilah adalah kepemilikan seseorang terhadap suatu benda, kepemilikan terhadap menfaat baik yang diperoleh dengan adanya penggantian atau tidak.
Milik atau kepemilikan adalah hubungan antara manusia dengan harta yang diakui oleh syara’ di mana harta itu hanya dikhususkan kepada manusia dan membenarkan manusia memiliki harta terebut selama tidak bertentang dengan ketentuan syara’.
Selain dari penjelasan di atas kata milik (al-mulk) juga digunakan untuk “sesuatu yang dimilik”, contohnya : seseorang mengatakan bahwa ‘barang ini milikku atau barang ini kepunyaanku’, makna ini telah dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang mendifinisikan bahwa milik itu adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, baik itu kepemilikan atas barang itu sendiri (‘ain) maupun kepemilikan terhadap manfaat barang tersebut.
Jadi jelas bahwa milik lebih umum dari pada harta, karena harta melekat kepemilikannya kepada pemiliknya sedangkan milik belum tentu melekat sepenuhnya kepada pemiliknya, seperti memiliki manfaat untuk menggunakan barang tertentu. Maksud inilah yang dipahami oleh Imam Hanafi sebagai hak milik dalam Islam yaitu manfaat merupakan milik bukan harta.
Berdasarkan ada tidaknya pengganti untuk aqad yang menyebabkan kepemilikan ini dapat dibedakan kepada beberapa hal, yaitu :
1. Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi dengan adanya sesuatu sebagai pengganti maka ini desebut jual beli. Suatu barang yang ingin menjadi seseorang maka ditukar dengan uang (alat tukar) dengan cara membeli dan barang itu menjadi miliknya.
2. Jika kepemilikan terhadap suatu mangaat dengan adanya ganti maka disebut persewaan. Orang yang menyewakan bisa mengambil manfaat dari pada barang tersebut sesuka hatinya asalkan tidak keluar dari kesepakatan kedua pihak yang telah disepakati setelah membayar sewa terhadap manfaat tersebut.
3. Jika kepemilikan terhadap sesuatu tanpa adanya ganti maka ini adalah hibah/pemberian. Pemberian tidak perlu memberikan barang pengganti karena ini pemberian percuma dari seseorang, seperti : atasan memberikan hadiah/ pemberian kepada keryawan yang rajin, maka karyawan tidak perlu mengganti dengan sesuatu agar menjadi miliknya, hadiah itu sudah menjadi miliknya.
4. Adapun jika kepemilikan terhadap suatu manfaat tanpa adanya ganti maka disebut pinjaman. Member mangaat kepad orang lain untuk menggunakannya dengan niat meminjamkan barang tersebut, maka itu dibolehkan dengan tidak ada barang pengganti, hal ini dibolehkan oleh Imam Syafi’I dan Imam Hanbali.
Berdasarkan penjelsan diatas definisi ijarah muntahiya bittamlik (persewaan yang diakhiri dengan pemindahan kepemilikan) adalah kepemilikan suatu manfaat (jasa) berupa barang yang jelas dalam tempo waktu yang jelas, diikuti dengan adanya pemberian kepemilikan suatu barang yang bersifat khusus dengan adanya ganti yang jelas. Maka ini yang disebut persewaan yang diakhiri dengan pemindahan kepemilikan yang disebut ijarah muntahiya bittamlik (IMBT).
Dalam buku panduan praktis transaksi perbankan syari’ah juga dijelaskan bahwa ijarah muntahiya bittamlik adalah transaksi ijarah yang diikuti oleh proses perpindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri.
Transaksi ijarah muntahiya bittamlik merupakan perkembangan dari transaksi ijarah untuk mengakomodasikan kebutuhan pasar dan kebutuhan konsumen. Karena transaksi tersebut merupakan pengembangan dari transaksi ijarah, maka ketentuannya juga mengikuti ketentuan ijarah.
Di beberapa Negara dan juga dalam bank Syariah ijarah muntahiya bittamlik juga dikenal dengan sebutan Ijarah Wa Iqtina yang artinya sama dengan ijarah muntahiya bittamlik yaitu pengalihan/ perpindahan hak kepemilikan dangan opsi menjual atau menghibahkan pada akhir masa sewa.
Ijarah wal iqtina tidak terlalu dikenal oleh ilmuwan-ilmuwan muslim tradisional, walaupun sebenarnya tidak terdapat hal yang melanggar hukum (unlawaful) pada penggabungan dua konsep tersebut yaitu ijarah dan wa’ad untuk menjual atau hibah, asalkan riba bukan tujuan dari para pihak yang membuat perjanjian itu.
Ijarah wal iqtina merupakan konseb hire purchase, dalam lembaga keuangan Islam disebut dengan financial leasing with purchase option. Ijarah wal iqtina adalah suatu gabungan dari kegiatan sewa-menyewa atas barang-barang bergerak (moveble) dan barang-barang tidak bergerak (immovable) dengan memberikan kepada penyewa (lessee) suatu pilihan atau opsi (option) pada akhirnya untuk membeli barang yang disewa.
Lembaga-lembaga Keuangan Islam menggunakan ijarah wal iqtina dengan cara, lembaga keuangan yang bersangkutan menyewakan barang-barang yang bergerak ataupun barang-barang tetap seperti ; perlengkapan (equipment), bangunan, rumah, alat-alat rumah tangga dan sebagainya kepada salah satu nasabah yang akan membayar sejumlah uang yang telah disetujui pada awal pada lembaga yang bersangkutan.
b. Landasan Hukum Ijarah Muntahiya Bittamlik
Sebagai suatu transaksi yang berseifat tolong menolong,ijarah mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Hadist. Konseb ini mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslimin di wilayah yang ditaklukkan. Langkah alternatif dari larangan ini adalah membudayakan tanah berdasarkan pembayaran Kharaj dan Jizyah.
Landasan ijarah disebut secara terang dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 233 Allah menjelaskan bahwa :
”dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan.
Dalam Surat At Thalaq ayat 6 Allah juga menjelaskan :
Artinya :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
Surat Ath Thalaq ayat 6 menjelaskan, jika seseorang perempuan (istri) menyusui anaknya, maka kewajiban bagi laki-laki (suami) yaitu memberikan nafkah hidup untuk dirinya secara sempurna, namun apabila itu seorang perempuan yang menyediakan jasa penyusuan anak-anak, maka harus diberikan upah yang layak dan mencukupi. Ayat ini mempunyai maksud yang sama dengan Surat Al Baqarah ayat 233, yaitu menjelaskan tentang penyewaan jasa penyusuan dan menyewakan jasa tersebut diharuskan membayar sewa dari jasa yang disewakan tersebut.
Dalam Surat Al-Qasas Allah juga menjelaskan
Artinya :
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Derkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".
Al-Qashas ayat 26-27 menjelaskan bahwa setiap kegiatan sewa menyewa itu semestinya pemilik sewa melihat dulu criteria orang yang akan disewa jasanya. Jika ingin melakukan transaksi dengannya karena adanya kriteria pribadi yang jelas tentu akan menghilangkan perasaan skeptis padanya, terutama dalam masalah akuntablitas pemberi sewa. Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa jika seseorang ingin menikah, maka boleh maharnya bagi perempuan yang dinikahi dengan cara bekerja sama beberapa waktu yang ditentukan sebagai pengganti mahar untuk perempuan yang dinikahinya.
Dalam beberapa riwayat juga disebutkan tenang pelaksanaan aqad ijarah, Rasullullah bersabda dalam sebuah riwayat :
Artinya :
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda : “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadist diatas mengidentifikasi bahwa pada masa Rasulullah juga pernah terjadi transaksi ijarah, yaitu dengan cara Rasulullah memerintahkan kepada orang yang dibekam untuk memberikan upah kepada tukang bekam disebarkan dia telah menyelesaikan bekam.
Dalam riwayat lain Nabi juga bersabda :
Artinya :
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasullah bersabda : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering” (H.R Ibnu Majah).
Dalam hadit di atas menggunakan makna yaitu setiap penyewaan keahlian (jasa) seseorang harus dibayar upahnya secepatnya sebelum keringat pekerja tersebut kering, jangan sampai diundur-undurkan. Penekanan hadist ini sangat jelas bahwa jangan sekali-kali pembayaran upah itu dilakukan ketika seseorang itu telah menjadi lemah atau ketika orang tersebut sudah sakit, karena dengan upah tersebut penyewa bisa menggunakan upah tersebut untuk keperluaanya.
Pada prinsibnya terdapt kesepakatan di kalangan para sahabat bahwa dibolehkan melakukan aqad ijarah dalam kehidupan bermuamalah. Alasan ini mereka membolehkan aqad ini adalah karena sewa merupakan jual manfaat yang dibutuhkan, namun ketika kontrak yang dibuat terhadap manfaat ini tidak dapat diserah terimakan, inilah sebabnya ada ulama yang mengatakan aqad ini tidak boleh, karena tidak dapat diserah terimakan seperti pada aqad jual beli.
Dasarkan hukum ijarah muntahiya bittamlik menurut pendapat ualam masih terdapat perbedaan mengenai kebolehannya, sebagian yang kontroversi berlakunya transaksi ijarah di kalangan ulama madzhab yaitu tentang sewa yang diakhiri dengan pemilikan atau hibah bersyarat. Ulama madzhab Hanafi, Syafi’I, dan Zaidiyah, dan Imamiyah membolehkan aqad ijarah muntahiya bittamlik ini, sedangkan ulama madzab Hambali, sebagian ulama madzhab Hanafi, dan madzhab Maliki, tidak membolehkannya.
Perbedaan pendapat ulama tersebut dikarenakan masing-masing mempunyai perbedaan pemahaman tentang kerelasi aqad ijarah dengan hibah, tetapi walaupun demikian eksistensi ijarah ini dapat dilakukan boleh, karena didasarkan pada salah satu pendapat ulama yang mengatakan boleh hukumnya.
Hibah ini bersifat mengikat terhadap masa akan datang. Hukumnya boleh menurut ketentuan Fiqh Islam. Demikian pula dalam jual beli yang bersifat mengikat dengan waktu. Misalnya, “jika anda telah menyelesaikan cicilan sewa pada masa tertentu, maka saya menjual barang ini kepada anda”. Praktek ini dibenarkan menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
Selain itu menurut para ulama perpindahan kepemilikan secara otomatis seperti cara-cara diatas tidak perlu membuat kontrak baru. Hal ini dipertegas dengan fatwa DSN-MUI bahwa pihak yang melakukan ijarah muntahiya bittamlik harus melaksanakan aqad ijarah terlebih dahulu. Aqad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli maupun pemberian (hibah), hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Dari penjelasan dan dalil di atas dapat diketahui bahwa ijarah itu hukumnya boleh dan begitu juga dengan ijarah muntahiya bittamlik juga boleh, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya.
menurut pendapat tentang ijrah belum jelas coba tampilakan tentang ijrah menurut hukum ulama
BalasHapus