A. Pengertian Aqad Murabahah
Murabahah berasal dari kata ribhun yang artinya keuntungan. Murabahah adalah aqad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembelik. Margin keuntungan merupakan selisih harga jual dikurangi harga asal yang merupakan pendapatan atau keuntungan bagi penjual. Penyerahan barang dalam jual beli murabahah dilakukan pada saat transaksi, sementara pembayarannya dilakukan secara tunai, tangguhan dan cicilan.
Menurut Syyid Sabiq, murabahah adalah penjualan dengan harga pembelian barang berikut untung yang diketahui. Wahbah Zuhaili mendifinisikan murabahah sebagai jual beli dengan harga asal ditambah keuntungan yang disepakati antara pihak-pihak yang berakad (penjual dan pembeli). Penjual juga harus memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang berikut keuntungan yang ingin diperoleh. Jumhur ulama sepakat bahwa murabahah ialah transaksi jual beli antara penjual dan pembeli dimana penjual menyebutkan harga pembelian dan ia mensyaratkan laba dalam jumlah tertentu. Ibnu Qadamah dalam kitab al-Mughni mendifinisikan murabahah sebagai jual beli dengan harga pokok dan jumlah keuntungan yang diketahui.
Pada perbankan syari’ah jual beli yang paling sering digunakan adalah jual beli yang memakai murabahah. Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjual kembali dengan keuntungan tertentu berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20%. Aqad murabahah ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contract, karena dalam murabahah ditentukan beberapa required rate of profit-nya (keuntungan yang ingin di peroleh) .
Berdasarkan pengertian dari beberapa pakar dan di lihat dari gambaran implementasi murabahah diperbankan maka penulis dapat menyimpulakan bahwasanya murabahah adalah suatu transaksi jual beli dengan keuntungan (laba) yang diketahui (transparansi) antara pembeli dan penjual, di mana pihak bank sebagai penjual bekerjasama dengan supplier sebagai perantara yang menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah sebagai pembeli. Harga jual yang ditetapkan adalah harga beli bank dari supplier atau pemasuk dengan penambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak yaitu harga jual yang sudah termasuk margin keuntungan yang diperoleh dan jangka waktu pembayaran dengan menuliskannya di dalam aqad perjanjian jual beli. Praktek murabahah pada perbankan selalu dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (Bai’u Bithaman Ajil) di mana dalam transaksi ini barang diserahkan setelah aqad, sedangkan pembayaran dilakukan secara angsuran, atau tangguhan. Dalam jual beli murabahah ini adanya “Keuntungan yang disepakati” yang mana penjual harus memberitahukan pembeli tentang harga beli barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada pembiayaan tersebut.
Murabahah akan sangat berguna sama sekali bagi seseorang yang membutuhkan barang secar mendesak tetapi kekurangan dana pada saat itu ia anggab kekurangan likuiditas. Ia meminta pada bank agar membiayai pembeli barang tersebut dan bersedia menebusnya pada saat diterima. Harga jual pada pemesanan adalah harga beli pokok plus margin keuntungan yang telah disepakati.
B. Landasan Hukum Aqad Murabahah
Para ulama fiqh telah banyak membahas bentuk-bentuk aqad jual beli dalam bermu’amalah meskipun demikian, dari sekian banyak bentuk-bentuk aqad jual beli tersebut, ada tiga jenis bentuk aqad jual beli yang perlu dilakukan dan dikembangkan pada zaman Rasulullah dan Sahabat sebagai sandaran pokok dalam investasi dan pembayaran model kerja dalam bermuamalah dan aqad ini masih terus dikembangkan dalam penerapan perbankan syaria’ah saat ini, yaitu bai’as-salam , bai’ al-istishna dan bai’ al-murabahah.
Secara umum para pakar ekonomi perbankkan syari’ah berpendapat bahwa membolehkan jual beli murabahah sebagai transaksi pembiayaan dalam perbankan, dalam hal ini mereka berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits. Adapun penulis penulis tidak menemukan secara khusus ayat Al-Qur’an ataupun hadits yang membahas tentang murabahah tersebut. Yang lebih banyak ditemukan adalah ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai jual beli secara umum, seperti secara umum dibahas tentang dibolehkannya jual beli yaitu pada Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 berbunyi :
و ا حل ا لله ا لبيع و حر م ا لر با....( البقراة :٢٧٥)
Artinya : “dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riab”. (QS. Al-Baqarah: 275).
Dari ayat di atas diterangkan bahwa al-bai’ yang artinya jual beli disamakan dengan murabahah, para ulama mengartikannya sebagai penjualan barang sebagai biaya atau harga pokok barang tersebut. Dan apabila transaksi yang dilakukan oleh penjualan dan pembelian tidak disepakati bersama, ini sudah termasuk riba. Maka dapat disimpulkan bahwa murabahah yang dilakukan adalah suatu pembelian suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Adapun Hadits yang digunakan sebagai landasan Bai’ murabahah adalah hadits riwayat Al-Bazar dan Al-Hakim sebagai berikut :
عن ر فع ا بن خد يج ق ل : قيل يا ر سو ل ا لله أ ي ا لكسب أ طيب ؟ قا ل : عمل ا لر جل بيد ه و كل بيع مبر و ر (ر و ا ه ا لبنر ا ر و ا لحا كم)
Artinya : “Dari Rafi’ Bin Khudaij ia berkata : Rasulullah pernah ditanya “ya Rasulullah pekerjaan apa yang paling baik ?” Rasulullah menjawab : “usaha dengan tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”. (HR. Al-Bazar dan Al-Hakim).
Hadits di atas menjunjukan jual beli dan perniagaan selalu dihubungkan dengan hal-hal makruh dan halal, artinya jual beli yang jujur tanpa diiringi dengan kecurangan-kecurangan dan semua transaksi jual beli yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits (tidak terdapat unsut kebajikan) tidaklah dibolehkan atau diharamkan karena termasuk riba.
Dari ayat dan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum jual beli murabahah dalam Islam adalah boleh, yang mana dalam implementasi perbankan syariah’ah dilakukan antara penjual (bank) dan pembeli (nasabah) berdasarkan harga barang yaitu harga asli pembelian di mana pembeli harus diberi tahu oleh penjual akan keuntungan terhadap barang yang dijual (salah satu cara terhindar riba).
Hal ini juga berdasarkan pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 04 / DSN – MUI / IV / 2000, dalam fatwa tersebut disebutkan ketentuan umum mengenai murabahah, yaitu :
1) Bank dan nasabah harus melakukan aqad murabahah yang bebas riba.
2) Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syari’at Islam.
3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang talh disepakati kualifikasinya.
4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bak sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada basabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga plus keuntunganya. Dalam kaitan ini bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7) Nasabah membayar harga barang yang talah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang talah disepakati.
8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan aqad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, aqad jual beli murabahah harus dilakukan setalah barang, secara prinsip menjadi milik bank.
Ketentuan umum murababah dalam fatwa di atas dengan jelas menyebutkan bahwa aqad murabahah yang dilakukan harus bebas riba dan objeknya murabahab bukan barang yang diharamkan serta milik bank secara utuh. Bank harus menyampaikan kepada nasabah harga pokok pembelian dan keuntungan yang ingin diperoleh termasuk cara dan jangka waktu pembayaran jika dilakukan secara cicilan. Transaksi murabahah antara bank dan nasabah merupakan aqad pembiayaan yang mewajibkan nasabah untuk mengembalikan pembiayaan tersebut dalam jangka waktu yang disepakati. Maka bank dapat melakukan perjanjian khusus dengan nasabah, hal ini untuk mencegah terjadinya hal-hal yang dapat merugikan kedua belah pihak yang beraqad.
Aturan yang dikenakan kepada nasabah dalam murabahah ini dalam fatwa adalah sebagai berikut :
1) Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau asset kepada bank.
2) Jika bank menerima permohonan tersebut ia harus membeli dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membelinya)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, karena secara hokum perjenjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6) Jika uanga muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7) Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternative dari uang muka, maka :
a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga;
b. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketentuan mengenai jaminan dalam murabahah adalah, bank berhak meminta jaminan kepada nasabah agar nasabah serius dangan pesanannya. Selanjutnya mengenai hutang, nasabah berkewajiban untuk menyelesaikan hutanggnya kepada bank sesuai kesepakatan awal. Dan apabila nasabah menunda pembayaran dengan sengaja, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah. Adapun jika nasabah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutanggnya, bank harus menunda tagiahan hutang sampai nasabah menjadi sanggub kembali berdasarkan kesepakatan.
Kesimpulan yang dapat dilihat dari ketentuan di atas adalah jika nasabah ingin memperoleh pembiayaan murabahah maka nasabah harus mengajukan permohonan terlebih dahulu, baik pembiayaan konsumtif atau pembiayaan investasi. Aqad murabahah antara bank dan nasabah merupakan aqad yang mengikat, dimana nasabah wajib membeli barang tersebut. Bank dapat meminta uang muka dari nasabah, jika nasabah menolak untuk membeli barang tersebut maka biaya rill harus ditutupi dari uang muka tersebut dan jika jumlah uang muka tidak mencukupi maka nasabah harus membayar kekurangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar