A. Pengertian Asuransi
1. Asuransi Syariah
Dalam ekonomi Islam dikenal dengan adanya lembaga keuangan yang berbentuk bank dan lembaga keuangan perekonomian umat non perbankan, diantaranya asuransi syariah. Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah: at Takaful, at Tadhamun, dan at-Ta’min, yang berarti: saling menanggung.[1] Penanggung di sebut mu’amin, sedangkan tertanggung di sebut mu’amman lahu atau musta’min. Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya para peserta) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini. Pengertian dari at-Ta’min adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.[2]
Asuransi menurut Ensiklopedi Hukum Islam di sebut dengan at-Ta’min yaitu transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak yang pertama sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.[3]
Para ahli fiqih terkini, seperti Wahbah Az-Zuhaili, mendefinisikan asuransi syariah sebagai at-ta’min at-ta’awuni (asuransi yang bersifat tolong-menolong), yaitu kesepakatan beberapa orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka ditimpa musibah. Musibah itu dapat berupa kematian, kecelakaan, sakit kecurian, kebakaran, atau bentuk-bentuk kerugian lain.[4] AM. Hasan Ali menjelaskan bahwa, asuransi merupakan suatu perjanjian, dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu. Tujuannya adalah untuk menghilangkan atau meringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpa mereka.
Musthafa Ahmad az-zarqa[5] memaknai asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari risiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya. Ia berpendapat bahwa sistem asuransi adalah sistem ta’awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah oleh sekelompok tertanggung kepada orang yang tertimpa musibah tersebut. Penggantian tersebut berasal dari premi mereka.
Di Indonesia sendiri, asuransi Islam sering di kenal dengan istilah takaful. Kata takaful berasal dari takafala-yatakafalu, yang berarti menjamin atau saling menanggung.[6] Moh. Ma’sum Billah memaknakan takaful dengan: “mutual guarantee provided by a group of people living in tha same society against a defined risk or catastrophe befalling one’s life, property or any form of valuable things.” (jaminan bersama yang disediakan oleh sekelompok masyarakat yang hidup dalam satu lingkungan yang sama terhadap risiko atau bencana yang menimpa jiwa seseorang, harta benda, atau segala sesuatu yang berharga).[7]
Muhammad Syakir Sula mengartikan takaful dalam pengertian muamalah adalah saling memikul risiko di antara sesama orang, sehingga antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas risiko yang lainnya.[8]
Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), asuransi adalah usaha saling tolong-menolong dengan perantara sejumlah uang melalui investasi dalam bentuk asset atau tabarru’[9] yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah dan tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhalim, suap dan maksiat.[10]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa, asuransi adalah usaha saling memikul risiko di antara sesama anggota sehingga antar satu dengan lainnya saling memikul risiko. Hal ini dilakukan dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan.
Pada dasarnya Al-Qur’an tidak menyebutkan secara logis ayat yang menjelaskan tentang praktik asuransi. Namun para pakar ekonomi syariah dalam membahas dan membolehkan asuransi sebagai sebuah transaksi perbankan, mereka berpedoman pada ayat Al-Qur’an dan hadits secara umum yakni menyangkut nilai dasar tolong-menolong, kerja sama atau semangat dalam kehidupan bermasyarakat untuk berbuat kebajikan dan takwa.[11], hal ini sesuai dengan Firman-Nya dalam surat al-Maidah ayat 2 berikut:
Artinya: “...... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah SWT sesungguhnya Dia sangat berat siksa-Nya.” (Qs. Al-Maidah: 2).
Berdasarkan ayat diatas maka jelaslah, bahwa Allah SWT memerintahkan manusia yang diciptakan-Nya agar tolong-menolong sesama diantara mereka dengan menghilangkan kesulitan seseorang atau mempermudah urusan duniawinya. Hal ini relevan dengan praktik pembayaran dana sosial (tabarru’) pada perusahaan asuransi dari anggota asuransi (nasabah) yang sejak awal mengikhlaskan dananya untuk kepentingan sosial.
Dalam operasionalnya, asuransi dapat memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi kaum muslimin adalah dengan adanya penekanan pada dasarkan pihak perusahaan asuransi sebagai pihak yang kuat dapat membantu pihak yang tertanggung sebagai kelompok yang lemah.
Dengan terwujudnya saling tolong-menolong melalui sarana pengorganisasiannya, maka kehidupan umat islam akan menjadi lebih kuat dan lebih terjamin dalam melakukan berbagai aktivitas sosial dan ekonomi. Dalam pandangan ekonomi, asuransi merupakan metode untuk mengurangi risiko dengan jalan memindahkan dan mengkombinasikan ketidakpastian akan adanya kerugian keuangan. Risiko di sini adalah setiap kali orang tidak dapat menguasai dengan sempurna, atau mengetahui lebih dahulu mengenai masa yang akan datang.[12]
Dalam kehidupan masyarakat, setiap orang pasti berhadapan dengan berbagai permasalahan hidup, seperti kecelakaan kendaraan dalam melakukan perjalanan, maka cara yang paling tepat menanggulanginya adalah dengan cara asuransi. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan dan kebolehan praktik hukum asuransi, di mana ada dua pendapat ulama yakni yang mengharamkan dan yang membolehkan. Diantara ulama yang mengharamkan asuransi antara lain Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalaili dan Muhammad Bakhit al-Muthi. Alasan mereka mengharamkan asuransi adalah:[13]
a. Asuransi mengandung unsur perjudian yang dilarang di dalam Islam
b. Asuransi mengandung unsur ketidakpastian
c. Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang di dalam Islam
d. Asuransi mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan
e. Asuransi termasuk jual beli atau tukar-menukar mata uang secara tidak tunai
f. Asuransi objek bisnisnya digantungkan pada hidup dan matinya seseorang yang berarti mendahului takdir Tuhan.
Ulama yang membolehkan asuransi antara lain adalah Abdul Wahab Khallaf, Muhammad Yusuf Musa, Abdur Rahman Isa, Mustafa Ahmad Zarqa dan Muhammad Nejatullah Shiddiqi. Mereka beralasan:[14]
a. Tidak ada ketetapan nash (Al-Qur’an dan sunnah) yang melarang asuransi
b. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak
c. Saling menguntungkan kedua belah pihak
d. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum
e. Asuransi termasuk aqad Mudharabah (bagi hasil)
f. Asuransi termasuk koperasi (Syirkah ta’awuniyah)
Dari pendapat ulama tersebut penulis berkesimpulan bahwa, asuransi dengan segala bentuk pada dasarnya dibolehkan apabila terbebas dari unsur riba, judi, dan gharar. Hal ini sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional No.21/DSN- MUI/X/2000, tentang Landasan Hukum Asuransi di Indonesia.[15]
2.1.2. Asuransi Konvensional
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, yaitu assurantie yang dalam hukum Belanda disebut verzekering, yang artinya pertanggungan dan geassuerde yang artinya bagi tertanggung.[16] Dalam bahasa Prancis di sebut assurance yang berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi. Sedangkan dalam bahasa Inggris kata asuransi disebut insurance,[17] yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”,[18]yang berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.
Asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian di Indonesia: ”Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”[19]
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).[20] Suatu perjanjian timbal balik artinya adalah adanya hubungan yang saling mengikat dan kewajiban yang sama diantara kedua belah pihak, dalam hal pertanggungan ini tertanggung mempunyai kewajiban untuk memberikan premi sesuai dengan yang telah ditentukan kepada penanggung, dan penanggung mempunyai kewajiban untuk menggantikan kerugian kepada tertanggung jika tertanggung mengalami kerugian seperti yang telah disepakati.
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa, asuransi adalah jaminan atau pertanggungan yang diberikan oleh penanggung, (biasanya lembaga asuransi) kepada tertanggung untuk risiko kerugian sebagaimana yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kecurian, kerusakan dan sebagainya. Ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya dan tertanggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.
Dalam Kamus Lengkap Ekonomi, Incurance (asuransi) diartikan sebagai suatu metode untuk melindungi seseorang atau pencuri aset seseorang atau perusahaan (asuransi umum) dan kematian atau kecelakaan (asuransi jiwa dan kecelakaan). Sebagai pengganti dari suatu premium asuransi, seseorang atau perusahaan memperoleh penutupan (pembayaran) asuransi atau risiko kerugian.[21]
Dalam Kamus Asuransi, Incurance merupakan asuransi perlindungan, melalui kompensasi sejumlah uang atau pembayaran ganti rugi, yang disediakan berdasarkan kontrak tertulis antara dua pihak bila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan sesuai dengan perjanjian. Asuransi dengan demikian berarti pemindahan risiko yang telah menyebabkan salah satu pihak, atas dasar pertimbangan-pertimbangan tertentu, bersepakat untuk mengganti kerugian yang dialami pihak yang lain bila sesuatu yang tidak direncanakan dan tidak diharapkan terjadi. Pihak pertama disebut perusahaan asuransi; pihak kedua disebut yang diasuransikan; konrak yang disetujui kedua belah pihak disebut polis asuransi; ; pertimbangan pertanggungan atau kesediaan menanggung risiko didasarkan atas pembayaran premi; harta milik atau kekayaan yang dijaminkan adalah risiko pertanggungan; dan kecelakaan atau kejadian yang tidak diharapkan adalah bahaya, risiko kejadian.[22]
Herman Darmawi dalam bukunya Manajemen Asuransi memberikan defisi asuransi dari berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ekonomi, hukum, bisnis, sosial, ataupun berdasarkan pengertian matematika.[23] Lebih lanjut Darmawi menyatakan bahwa asuransi merupakan bisnis yang unik, yang didalamnya terdapat kelima aspek tersebut.
Dalam pandangan ekonomi, asuransi merupakan metode untuk mengurangi risiko dengan jalan memindahkan dan mengkombinasikan akan adanyan kerugian keuangan (finansial). Dari sudut pandang hukum, asuransi merupakan suatu kontrak (perjanjian) pertanggungan risiko antara tertanggung dengan penanggung. Penanggung berjanji akan membayar kerugian yang disebabkan risiko yang dipertanggungkan kepada tertanggung. Sedangkan tertanggung membayar premi secara periodik kepada penanggung. Menurut pandangan bisnis, asuransi adalah sebuah perusahaan yang usaha utamanya menerima atau menjual jasa, pemindahan risiko dari pihak lain, dan memperoleh keuntungan dengan berbagai risiko (sharing of risk) di antara para nasabahnya. Dari sudut pandang sosial, asuransi didenifisikan sebagai organisasi sosial yang menerima pemindahan risiko dan mengumpulkan dana dari anggota-anggotanya guna membayar kerugian yang mungkin terjadi pada masing-masing anggota tersebut. Dalam pandangan matematika, asuransi merupakan aplikasi matematika dalam memperhitungkan biaya dan faedah pertanggungan risiko. Hukum probabilitas dan teknik statistik dipergunakan untuk mencapai hasil yang dapat diramalkan.[24]
2. Asuransi dalam Hukum Islam
2.1. Sejarah Asuransi dalam Islam
Secara historis, kajian tentang “pertanggungan” telah dikenal sejak zaman dahulu dan telah dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat, walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana. Ini dikarenakan nilai dasar penopang dari konsep “pertanggungan” yang terwujud dalam bentuk tolong-menolong sudah ada bersama dengan adanya manusia.
Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi dimana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara lain kekurangan bahan makanan. Salah satu cerita mengenai kekurangan makanan terjadi pada zaman Mesir Kuno semasa Raja Fir’un berkuasa.[25]
Pada masyarakat Arab sendiri terdapat sistem ‘aqilah yang sudah menjadi kebiasaan mereka sejak masa pra-Islam. ‘aqilah merupakan cara penutupan ( istilah yang digunakan oleh AM. Hasan Ali)[26] dari keluarga pembunuh terhadap keluarga korban (yang terbunuh). Ketika terdapat seseorang terbunuh oleh anggota suku lain. Maka keluarga pembunuh harus membayar diyat dalam bentuk uang darah.[27] kebiasaan ini kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW. yang dapat terlihat pada Hadits berikut.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, dia berkata: berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melemparkan batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW., maka Rasulullah SAW. memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR. Bukhari).[28]
Praktik ‘aqilah yang dilakukan oleh masyarakat Arab ini sama dengan praktik asuransi pada saat ini, dimana sekelompok orang membantu untuk membantu orang lain yang tertimpa musibah. Perkembangan praktik ‘aqilah yang sama dengan praktik asuransi ternyata tidak hanya diterapkan pada masalah pidana, tetapi juga mulai diterapkan dalam bidang perniagaan. Sekitar abad ke-2 Hijriah, para pelaku bisnis dari kalangan kaum muslimin yang kebanyakan menggunakan kapal laut dalam pengangkutan barangnya, sudah menggunakan mekanisme pengelolaan dana dengan sistem iuran untuk menolong para anggota yang terkena musibah sehingga mengalami kerugian dalam berbisnis, seperti kapal bertabrakan, tenggelam, terbakar, atau kerugian karena dirampok bajak laut. Sekitar tujuh abad kemudian, sistem ini akhirnya diadopsi oleh para pelaut Eropa dengan cara melakukan iuran sesama anggota, lalu uang yang terkumpul diputar dengan menggunakan uang.[29] Pada abad ke-19, cara membungakan uang ini pun menjelajahi penjuru dunia, terutama setelah dilakukan oleh para taipan keturunan Yahudi yang membuat prinsip tolong-menolong itu diubah bentuknya menjadi perusahaan-perusahaan dagang. Dunia Islam berta’aruf dengan asuransi sekitar abad ke-19 melalui penjajah dunia Barat atas beberapa bagian dunia Islam, dimana kebudayaan dan hukum-hukumnya dipaksakan kepada masyarakat muslim.
Pandangan fuqaha dibidang syariah merupakan cerminan dari pandangan Islam mengenai soal-soal kehidupan manusia, baik dibidang ibadah maupun bidang muamalah. Masalah asuransi yang merupakan suatu bentuk muamalah dan dilemparkan ke tengah-tengah dunia Islam sebagai akibat dari interaksinya dengan dunia Barat telah mengandung respons dari para pemerhati muamalah Islam, terutama pada zaman sekarang. Mereka adalah rangkaian karya emas dari Abu Yusuf yang menghasilakn kibat Al-Kharaj dan Abu Ubaid yang menulis kitab Al-Amwal. Para fuqaha menyadari bahwa asuransi baik dan bentuk wujud dan pengaturannya merupakan persoalan yang belum pernah di kenal sebelumnya,sehingga hukumnya khas tidak ditemukan dalam fiqh yang beredar dalam dunia Islam. Oleh karena itu masalah asuransi dalam Islam termasuk ruang lingkup ijtihadiyah, maka para ulama berbeda prinsip dalam menyikapi status asuransi.
Seiring dengan perjalanan waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam pun bergulir secara kontinyu serta tak terlepas dari kebutuhan akan sebuah lembaga asuransi yang tidak melanggar syariat bagi umat Islam maka konsep asuransi yang berbasis pada prinsip ta’awuni direkomendasikan oleh peserta Muktamar Ekonomi Islam yang berlangsung di Mekkah tahun 1985.
Rekomendasi ini dikuatkan lagi pada Majma’ Al-Fiqh Al-Islami tanggal 28 Desember 1985 di Jeddah. Dalam keputusannya, secara ijma’ mengharuskan asuransi ta’awuni sebagai alternatif asuransi Islam, menggantikan asuransi konvensional dan diserukan kepada seluruh umat Islam untuk menggunakannya.
Di Indonesia, asuransi syariah mulai berdiri tahun 1994, bernama PT Asuransi Takaful Keluarga sebagai asuransi jiwa (life insurance), sedangkan untuk asuransi kerugian (general insurance) berdiri yahun 1995, bernama PT Asuransi Takaful Umum. Kedua perusahaan ini bernaung di bawah holding company PT Syarikat Takaful Indonesia.
[1] M. Syaiful Bakhri, Ekonomi Islam dalam Sorotan (Jakarta: Yayasan Yayasan Amanah, 2003), hlm. 173.
[2] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 28.
[3] Abdul Aziz Dahlan dkk (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm. 138.
[4] Ibid
[5] Muhammad Syakir Sula, Asuransi syariah, hlm. 29.
[6] Muhammad Syakir Sula, asuransi Syariah, hlm. 32.
[7] AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 62.
[8] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah, hlm. 33.
[9] Tabarru’ adalah pemberian sukarela seseorang kepada orang lain, tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi. Lihat: Nogarsyah Moede Gayo, Buku Pintar Islam, (Jakarta: Ladang Pustaka dan Intimedia,t.t.,), hlm. 66.
[10] Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/ MUI/ IV/ 2000 dalam M. Syaiful Bakhri, Ibid., hlm. 173.
[11] AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, hlm. 105.
[12] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 84.
[13] A.M. Hasan Ali, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 99.
[14] Ibid., hlm. 100
[15] Muhammad Firdaus dkk., Fatwa- Fatwa Ekonomi Syariah Kontemporer, (Jakarta: Renaisan, 2005), hlm. 60.
[16] Emmy P. Simajuntak, Hukum Pertanggungan, (Yogyakarta: UGM, 1987), hlm. 7.
[17] John M. Echols dan Hasan Sadilly, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1990), hlm.326.
[18] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 63.
[19] Muhammad Syakir Sula, Asuransi syariah, hlm. 27.
[20] HMN. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia , (Jakarta: Djambutan, 1999), hlm.1.
[21] Coliins, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta: Erlangga, 1994), hlm. 311.
[22] A. Hasymi Ali, Agustinus Subekti, & Wardana, Kamus Asuransi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), hlm. ??????????????
[23] Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 2.
[24] Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 3.
[25] Cerita ini terekam dalam kitab suci al-Quran, QS. Yusuf {12}: 42-49
[26] AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 68.
[27] Ibid., hlm. 67-68 .
[28] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah, hlm. 31
[29] Khoiril Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), hlm.23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar