Pages

Senin, 25 April 2011

KONSEP SIMSARAH DALAM EKONOMI ISLAM

SIMSARAH
Samsarah (simsar) adalah perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli), atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.1
Menurut Sayid Sabiq perantara (simsar) adalah orang yang menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna melancarkan transaksi jual beli.2 Dengan adanya perantara maka pihak penjual dan pembeli akan lebih mudah dalam bertransaksi, baik transaksi berbentuk jasa atau berbentuk barang.
Menurut Hamzah Ya'qub samsarah (makelar) adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain makelar (simsar) ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli.3 Jadi samsarah adalah perantara antara biro jasa dengan pihak yang memerlukan jasa mereka (produsen, pemilik barang), untuk memudahkan terjadinya transaksi jual-beli dengan upah yang telah disepakati sebelum terjadinya akad kerja sama tersebut.

 


1M. Ali, Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (figh muamalat), ed. 1., cet.2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 289

2Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 12, Bandung: PT Al-Ma'rif, 1996, hlm. 15
3Hamzah Ya'qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup Dalam Perekonomian, Bandung: CV. Diponegoro, 1992.hlm. 269
Dalam hal ini Yusuf Qardhawi berpendapat makelar bagi orang luar daerah dibolehkan, karena dapat melancarkan keluar masuknya barang dari luar ke dalam daerah dengan perantaraan si makelar tersebut dengan demikian mereka akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.4
Simsar adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang mencarikan (menunjukkan) orang lain sebagai patrnernya sehingga pihak simsar tersebut mendapat komisi dari orang yang menjadi parnernya.5
Al-simsar (jamak dari al-simsarah) adalah perantara antara penjual dan pembeli dalam pelaksanaan jual beli, atau pedagang perantara yang bertindak sebagai penengah antara penjual dan pembeli, yang juga dikenal sebagai al-dallah. Al-simsar  dari bahasa arab, yang berarti juga tiga dalil yang baik, orang yang mahir. Pedagang sudah disebut al-samasirah pada masa sebelum Islam tetapi Rasul menyebut mereka al-tujjar. Pada masa sebelum Islam, perbedaan al-samsarah (perdagangan perantara) biasanya terjadi pada orang kota dan orang yang tinggal di gurun, hal ini dipraktekkan dalam semua aspek transaksi bisnis.6


 


4Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Terj. Mu'alam Hamidy), Surabaya : Bina Ilmu, 1993

5Sayyid  Sabiq, Fiqh Sunnah, (Terj. Kamaluddin A.Marzuki), Jilid 13, Bandung: Al-Ma'rif, 1997, hlm. 159.

6Abdullah Alwi Haji Hassan, Sales and Contracs In Early Islamic Commercial Law, Islamabad: Islamic Research Institute, 1994, hlm. 96-97

Samsarah adalah kosakata bahasa Persia yang telah diadopsi menjadi bahasa Arab yang bearti sebuah profesi dalam menengahi dua kepentingan atau pihak yang berbeda dengan kompensasi, baik berupa upah (ujroh) atau bonus, komisi (ji'alah) dalam menyelesaikan suatu transaksi. Adapun simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain sebagai penengah dengan kompensasi (upah atau bonus), baik untuk menjual maupun membeli.7
Ulama penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-mutall, telah menyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam figh dikenal dengan Samsarah, atau dalal sebagai sinonimnya, seraya menyatakan : "jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli, dikatakan ; dalalta dengan masdar yang difathahkan dal-nya, dalalat(an), dikasrahkan dal-nya, dilalat(an), di dhammahkan dal-nya, dulalat(an), jika anda menunjukkan seorang pembeli kepada penjual, maka orang tersebut adalah simsar atau dallal (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual).8
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa samsarah (makelar) adalah penengah antara penjual dan pembeli atau pemilik barang dengan pembeli untuk melancarkan sebuah transaksi dengan imbalan upah (ujroh), bonus atau komisi (ji'alah).  


 


7Abdullah Abdulkarim, Broker/Pemakelaran (samsaroh) dalam Islam, http://ocessss. blogspot.com/2009/07/07/ brokerpemakelaran-samsarah-dalam-islam-html. 

8Ibid, 2009/07/07
Di masa sekarang banyak orang yang disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, sehingga ada sebagian orang tidak memiliki waktu untuk menjual barangnya atau mencari barang yang diperlukan. Sebagian orang lagi mempunyai waktu luang, mempunyai keahlian untuk memasarkan (menjualkan), namun tidak memiliki barang yang akan dijualkannya.
Untuk memudahkan kesulitan yang mereka hadapi, saat ini ada orang yang berprofesi khusus menangani hal-hal yang dikemukakan di atas, seperti biro jasa: di mana kedua belah pihak mendapat keuntungan (manfaat). Biro jasa  mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil pekerjaannya, sedangkan orang yang memerlukan jasa mendapatkan kemudahan, karena sudah di tangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya.
Dalam hal ini pihak biro jasalah yang bisa membantu dan menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh pemilik barang tersebut, selain pemilik barang dapat menyelesaikan masalahnya pihak biro jasa juga mendapat lowongan kerja sehingga pemilik barang dan biro jasa mendapat keuntungan.
Pekerjaan samsarah / simsar berupa makelar, distributor, agen dan sebagainya dalam fiqih Islam termasuk akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan.9 Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwadhu (ganti). Dari sebab itu ats tsawab (pahala) dinamai ajru (upah).10

 

9Agustianto, Multi Level Marketing dalam Perspektif Fiqih Islam, http://m.ekonomiislam. webnode.com/news/multi-level-marketing-dalam-perspektif-fiqih-islam/

10Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Mesir: Dar al- fikri Arab, 1998, hlm.27.

Ijarah secara sederhana diartikan dengan  transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda di sebut ijarat al-ain atau sewa–menyewa, seperti menyewa rumah untuk di tempati bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang, disebut ijarat al-zimmah atau upah-mengupah, seperti upah menjahit pakaian. Keduanya disebut dengan satu istilah dalam literatur Arab yaitu ijarah.9
Pemilik yang menyewa manfaat disebut mu'ajjir (orang yang menyewakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut musta'jir (orang yang menyewa–penyewa). Dan, sesuatu yang diakadkan untuk di ambil manfaatnya disebut ma'jur (sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut ajran atau ujrah (upah).
Ijarah baik dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah itu merupakan mu'amalah yang telah disyari'atkan dalam Islam. Hukum asalnya adalah boleh atau mubah bila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan Islam.
Kebolehan praktek ijarah berdasarkan kepada ayat-ayat al-Qur'an dan hadist Nabi SAW, Surat Ath-Thalaq : 6
ا سكنو هن حيث سكنتم من و جد كم ولا تضا روهن لتضيقوا عليهن ٌ وان كن ا ولت حمل فا نفقوا عليهن حتى يضعن حملهن ج  فا ن ا ر ضعن لكم فا تو هن ا جو ر هن وا تمروا بينكم بمعروف صلى  وا ن تعا سر تم فستر ضع له اخرى
 

9Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Figh, Bogor: PT. Prenada Media, 2003, hlm. 215
Artinya :

"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya."

Berdasarkan ayat di atas, maka menyewa seseorang untuk meyusukan anak adalah boleh, karena faedah yang diambil dari sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya (asalnya) sama artinya dengan manfaat (jasa) dan yang lebih penting lagi adalah setelah perempuan memberikan manfaat bagi anak yang disusunya, jangan sampai tidak diberi upah, karena upah merupakan hak yang wajib ditunaikan setelah pekerjaan tersebut selesai dilaksanakan.
Persoalan upah mengupah untuk sama-sama mengambil manfaat dari suatu pekerjaan diperbolehkan, asalkan setelah pekerjaan selesai dilakukan kemudian orang yang mengupah membayar imbalan yang setimpal. Artinya kerja sama yang dilakukan dibolehkan selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.
Jadi pekerjaan samsarah dalam hal ini berhak menerima imbalan setelah memenuhi akadnya, sedangkan pihak yang menggunakan jasa samsarah harus segera memberikan imbalan tidak boleh menghanguskan atau menghilangkannya. Karena hal-hal seperti itu sangatlah dibenci oleh Tuhan.  



            Surat Al-A'raf : 85
وا لى مد ين اخا هم ثعيبا قلى قا ل يقوم ا عبد وا ا لله ما لكم من ا له غيره صل قد جا ء تكم بينة من ربكم صل فاوفوا ا لكيل وا لميزا ن ولا تبخسوا ا لنا س ا شيا ء هم ولا تفسد وا فى الارض بعد ا صلحها ج ذ لكم ان كنتم مومنينÇÑÎÈ
Artinya:

"Dan (Kami Telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan[552] saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".


Dan sesuai hadist Nabi :
ا عظو الا جير اجره قبل ا ن يجف عر قه10

Artinya:
" Dari Ibnu umar bahwa Rasulullah bersabda , " Berikanlah upah pekerja   sebelum keringatnya kering. " ( HR.Ibnu Majah )

Hadist tersebut menjelaskan bahwa jangan pernah menunda-nunda upah para pekerja, apabila mereka telah melakukan pekerjaan maka bayarlah upah atau jerih payah mereka pada waktunya karena Allah paling benci bagi orang yang menunda-nunda upah pekerja.

 

10Abi Fadhlu Ahmad, Bulughal Maram, Bairut: Banayatul Markaziyah, 1989, hlm. 192
Bila terdapat unsur kezaliman (dzulm) dalam pemenuhan hak dan kewajiban, seperti seseorang yang belum menyelesaikan pekerjaannya dalam batas waktu tertentu maka ia tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan kerja yang telah dilakukan. Praktik samsarah seperti ini tidak benar, karena sekalipun pekerjaan tersebut tidak diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan setidaknya para penyewa jasa tersebut menghargai jerih payah yang dilakukan oleh pekerja tersebut yaitu dengan membayar setengah dari total upah pekerja.

B.     Rukun dan Syarat Samsarah
Untuk sahnya aqad samsarah harus memenuhi beberapa rukun yaitu :
1.      Al-Muta'aqidani (makelar dan pemilik harta)
Untuk melakukan hubungan kerja sama ini, maka harus ada makelar (penengah) dan pemilik harta supaya kerja sama tersebut berjalan lancar.
2.     Mahall al-ta'aqud (jenis transaksi yang dilakukan dan kompensasi)
Jenis transaksi yang dilakukan harus diketahui dan bukan barang yang mengandung maksiat dan haram, dan juga nilai kompensasi (upah) harus diketahui terlebih dahulu supaya tidak terjadi salah paham.
3.      Al-shigat (lafadz atau sesuatu yang menunjukkan keridhoaan atas transaksi
pemakelaran tersebut.
Supaya kerja sama tersebut sah maka, kedua belah pihak tersebut harus membuat sebuah aqad kerja sama (perjanjian) yang memuat hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Secara praktis, pemakelaran terealisasi dalam bentuk transaksi dengan kompensasi upah 'aqdu ijaroh atau dengan komisi aqdu ji'alah. Maka syarat-syarat dalam pemakelaran mengacu pada syarat-syarat umum 'aqad atau transaksi menurut aturan fikih Islam. Syarat-syarat umum transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan al-shigat. Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat al-tamyiz tanpa al-aqlu wal bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun syarat-syarat mengenai mahall al-ta'aqud (objek transaksi dan kompensasi), para ulama mensyaratkan objek transaksi yang legal (masyru) dan kompensasi yang telah ditentukan (ma'lum). 11
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa syarat samsarah (pemakelaran) adalah syarat-syarat umum transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan shigat. Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat tamyiz tanpa al-aqlu wal bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas transaksi.



 

11Abdullah Abdulkarim, Op. cit.,  2009/07/07

Adapun hikmah adanya samsarah adalah dimana manusia itu saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi kehidupannya. Banyak orang yang tidak mengerti cara membeli atau menjual barang mereka. Maka dalam keadaan demikian, diperlukan bantuan orang lain yang berprofesi selaku samsarah yang mengerti betul dalam hal penjualan dan pembelian barang dengan syarat mereka akan memberi upah atau komisi kepada makelar tersebut.             
Seperti yang telah di uraikan di atas, jelaslah bahwa samsarah itu merupakan suatu perantara perdangagan antara penjual dan pembeli. Pihak samsarah berhak mendapat upah (gaji) dan berkewajiban bekerja semaksimal mungkin sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dalam pemenuhan hak baik dari pihak samsarah sendiri maupun dari pihak perusahaan. Kewajiban pihak perusahaan adalah membayar upah para pekerja (simsar) dimana mereka telah bekerja untuk perusahaan dengan semaksimal mungkin. Kegunaan adanya samsarah adalah untuk mencegah adanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Jumlah upah atau imbalan jasa juga harus dimengerti betul oleh orang yang memakai jasa tersebut, jangan hanya semena-mena dalam pemenuhan hak dan kewajiban, pihak pemakai jasa harus memberikan kepada makelar yaitu menurut perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak untuk mencegah kekeliruan atau kezaliman dalam pemenuhan hak dan kewajiban di antara mereka.




C.    Bentuk - Bentuk Kerja Sama dalam Aqad Samsarah
Pada zaman modern ini, pengertian perantara sudah lebih luas, termasuk jasa pengacara, jasa konsultan, tidak hanya mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang dicari dan menjualkan barang saja. Bentuk kerja sama dalam aqad samsarah itu ada dua,  yaitu bentuk kerja sama yang menjual barang dan bentuk kerja sama yang menjual jasa, atau sama dengan ijarah.
Bentuk kerja sama yang menjual barang atau benda disebut ijarat al-ain atau sewa menyewa, seperti menyewa rumah untuk ditempati oleh pihak yang menyewa. Sedangkan bentuk kerja sama yang menjual jasa orang disebut ijarat al-zimmah atau upah-mengupah, seperti upah menjahit pakaian atau upah pengacara atau upah para pekerja di perusahaan-perusahaan swasta.  
Dengan demikian tidak akan terjadi kemungkinan adanya penipuan dan memakan harta orang lain (imbalan) dengan jalan haram. Apabila barang yang nilainya tinggi, sebaiknya sudah ditetapkan uang imbalanya dan ketentuan-ketetuan lainnya. Jika kesepakatan itu sudah ditandatangani, maka semua pihak harus menepati , tidak boleh mungkir janji, sebagaimana firman Allah :
يا يها ا لذ ين اوفوا ءا منوا با لعقد ...
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ..(Qs al-Maidah: 1)
Telah berfirman  :
ج وا وفوا با لعهد كا ن مسولا ....

Artinya:
 ... dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabanya ( Qs al- isra : 34 )

Akad (perjanjian) yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah janji hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Janji itu ada yang tertulis dan ada pula yang hanya dengan lisan saja dan bahkan ada yang berpegang kepada adat-istiadat semata-mata. Hal itu semua dipandang sebagai janji dan tidak boleh dipungkiri, sekiranya terjadi pelanggaran, akan mendapat ancaman hukuman yang berat di akhirat kelak.
Adapun praktek pemakelaran, secara umum, hukumnya boleh, berdasarkan hadist Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani :
خرج علينارسول الله صلم علئ-  ونحن نسمى السماسرة - فقال: يامعشرالتجار: إن الشيطان والاشم يحضران البيع, فشو بوابيعكم بالصد قة.16
Artinya:
" Suatu ketika, Rasulullah SAW Menemui kami – saat itu kami, para pedagang biasa di panggil As-Samsirah (para makelar),- lalu beliau berseru, " Wahai Tujjar (para pedagang), sesungguhnya syetan dan dosa selalu menghadiri jual-beli, campurlah sedekah dalam jual-beli kalian,: (Shahih: Ibnu Majah).

Maksud dari hadits di atas adalah dimana syetan dan dosa selalu menghadiri jual-beli, maka dari itu bersihkanlah jual beli kalian dengan bersedekah supaya jual beli yang para pedagang lakukan tidak mengandung maksiat dan haram. 

 

16Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi, Jakarta : Pustaka Azzam, 2006, hlm.3-4

Ulama' Mazhab Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Muthalli, telah menyatakan definisi makelar, yang dalam istilah fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyatakan: “Dari batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah 'ala samsarah tidak diperbolehkan.
Maksud dari uraian di atas adalah dimana kedudukan seorang makelar adalah sebagai orang tengah, dan apabila seorang makelar memakelari makelar atau dalam istilah lain samsarah ala' samsarah yaitu makelar menjual tiket kepada sesama makelar maka gugurlah kedudukannya sebagai orang tengah.

C.    Pembagian Keuntungan dan Pertanggungan Resiko
Upah makelar menurut undang-undang disebut provisi; dalam praktek hal ini disebut courtage.17 Untuk menghindari jangan terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka barang-barang yang akan ditawarkan dan diperlukan harus jelas. Supaya tidak timbul salah paham, begitu juga dengan imbalan jasa dan pembagian keuntungan harus di tetapkan lebih dahulu, apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya, kalau nilainya besar ditandatangi perjanjian di hadapan notaris.
Dalam masyarakat juga berlaku kebiasaan (adat-istiadat), bahwa imbalannya tidak ditentukan dan hanya berlaku sebagaimana biasanya yaitu 2,5 % dari nilai transaksi. Ada juga yang berlaku 2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari pembeli.

17Achmad Ichsan, Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-aturan Angkutan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993, hlm. 33
Kebiasaan semacam ini pun dapat dibenarkan oleh syariat, sesuai kaidah hukum Islam.                                                                                                             
  العا دة محكمة18
            " Adat kebiasaan itu, diakui sebagai sumber hukum."

Supaya tidak terjadi salah paham, maka pemilik barang dan samsarah dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak samsarah. Boleh mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau mengambil kelebihan dari harga yang di tentukan oleh pemilik barang, itu semua tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Islam menyukai perdamaian, jadi supaya tidak ada yang berselisih paham maka dari itu Islam menganjurkan untuk membuat sebuah perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis supaya kerja sama yang mereka lakukan akan bermanfaat dan memperoleh keuntungan. Sebagai landasan hukumnya ialah sabda Rasulullah saw. :

أ لصلع جا ئز بين المسلمين , إلا صلحا حرم حلأ لا, أؤأحل حراما, والمسلمون علئ شروطهم, إلآشر طاحرم خلألآ, أوأحل حراما19
Artinya:
" Perdamaian antara kaum muslimin boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan syarat yang mereka tetapkan, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (Shahih Sunan Tarmidzi)
 


18M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta : PT Raja Garafindo, 2004, hlm.132

19Muhammad Nashiruddin Al-Alhani, Shahih Sunan Tirmidzi, Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006, hlm.110
Maksud dari hadist di atas adalah kerja sama antara sesama muslim itu halal kecuali kerja sama yang haram tapi di halalkan , seperti menjual minuman keras dan narkotika, maka dari itu mereka harus berpegang kepada syarat-syarat yang telah di tentukan di atas salah satunya obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram.
Dalam sebuah kerja sama juga harus diantisipasi kemungkinan barang rusak atau pailit. Kedua pihak harus menentukan siapa yang bertanggung jawab dari kerusakan dan pailit tersebut. Demikian juga terhadap segala resiko lain yang mungkin terjadi. 
Menurut Subekti, kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian kalau diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.20 Sedangkan menurut pendapat lainnya, resiko ialah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa, yaitu peristiwa bukan karena kesalahan debitur, yang menimpa benda yang menjadi obyek perikatan atau menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi. Dengan demikian, persoalan resiko ini adalah buntut dari suatu keadaan memaksa. Pengaturan resiko dalam KUHPerdata adalah :
a)      Menurut Pasal 1237 KUHPerdata, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalain, kebendaan adalah atas tanggungannya. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian yang sepihak, seperti : perjanjian penghibahan dan perjanjian pinjam-pakai.
                 
20Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. I. ed.rev Jakarta: Djambatan, 2005, hlm.144
b)      Menurut Pasal 1460 KHUPerdata, jika kebendaan yang dipikul itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian jual-beli.
c)      Menurut Pasal 1545 KUHPerdata, jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siapa yang pihaknya telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian tukar-menukar.
d)     Menurut Pasal 1553 ayat (1) KUHPerdata, jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian sewa-menyewa.21
Jadi makelar (samsarah) adalah hanya berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko, dengan kata lain bahwa makelar (simsar) ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli. Makelar yang terpecaya tidak di tuntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak sengaja dan tidak akan merugikan sebelah pihak.


 


21Op.Cit. hlm, 148
D.    Pengertian Agen  
Menurut Sudarsono agen adalah (wakil, perantara), suatu pihak yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual-beli suatu produk dengan imbalan komisi sebesar persentase tertentu dari total hasil penjualannya.22
Berdasarkan penjelasan di atas agen adalah orang yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual-beli dengan persentase komisi dari total hasil penjualan. Persentase komisi tersebut telah disepakati oleh pihak agen dan pemilik barang,  apakah persentase dari total hasil penjualan atau komisi yang berbentuk lain.
Menurut Yan Pramadya Puspa agen adalah wakil tetap, baik yang ditunjuk ataupun tidak dari suatu perseroan dagang yang diberikan kuasa (penuh) untuk melakukan transaksi-transaksi atas nama perseroan yang diwakilinya.23
Maksud dari penjelasan di atas adalah wakil tetap yang ditunjuk maupun yang tidak ditunjuk langsung dari perusahaan, yang memberikan kuasa penuh untuk melakukan transaksi jual-beli atas nama perusahaan yang diwakilinya tersebut, dengan maksud transaksi yang mereka lakukan akan berjalan lancar seperti yang diinginkan pihak perusahaan.



 

22Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank, Jakarta: PT. Rineka Cipta , 1994, hal. 12

23Yan Pramdya Puspa, Kamus Hukum, Bahasa Balanda, Indonesia, Inggris, edisi lengkap Semarang, CV. Aneka, hal. 48-49

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agen adalah orang atau perusahaan perantara yang mengusahakan penjualan bagi perusahaan lain atas nama pengusaha, perwakilan, kaki tangan atau mata-mata negara asing, wakil pengusaha yang merundingkan, memberikan jasa layanan, atau menutup perjanjian asuransi dengan ketentuan yang ada.24
Menurut Abdul Rasyid Saliman jasa keagenan adalah usaha jasa perantara untuk melakukan suatu transaksi bisnis tertentu yang menghubungkan produsen di satu pihak dan konsumen di lain pihak.25
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa agen merupakan wakil yang di tunjuk atau tidak dari suatu perseroan dagang untuk melakukan transaksi jual-beli dengan imbalan komisi sebesar persentase yang telah ditentukan dari total hasil penjualan yang mereka lakukan.
Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum, dimana pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya suatu keagenan adalah adanya wewenang yang dimiliki oleh agen yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal (pihak asing).26



 


24Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahas Indonesia, ed.3, cet.2 Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm.12

25Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : teori dan contoh kasus, ed.2, cet.2 Jakarta: Kencana , 2006, hlm.68

26Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Islam, cet.2 Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003, hlm.53

Dalam hal ini apabila agen bertindak melampaui batas yang telah diberikan  pihak principal, maka pihak agen sendiri yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka, apabila tindakan yang dilakukan oleh agen masih dalam batas perjanjian yang disepakati  maka pihak principal akan bertanggung jawab.
Dalam perjanjian bisnis, agen dan principal biasanya membuat sebuah kontrak kerja tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut. Isi dari kontrak kerja diserahkan kepada para pihak asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan seperti yang tercantum dalam pasal 1388 KUHPerdata, yaitu pembayaran yang dilakukan oleh seorang berutang kepada orang yang memberi utang, tak sah seseorang perutang melakukan perlawanan apabila si pemberi utang melakukan penyitaan karena itu hak si pemberi utang untuk memaksa dan menagihnya kembali.27

Adapun maksud dari Pasal 1388 adalah suatu ketika pihak prinsipal melakukan penyitaan atau pencabutan barang (tiket), maka pihak agen tidak boleh melakukan perlawanan karena hak prinsipal untuk melakukan penyitaan.
Adakalanya prinsipal dan agen membuat sebuah perjanjian sederhana yang memuat pokok-pokok saja seperti hak dan kewajiban para pihak, tetapi tidak sedikit dari mereka yang membuat perjanjian secara terperinci. Membuat perjanjian yang terperinci tidaklah mudah, tetapi perjanjian yang terperinci tersebut akan memper kecil kemungkinan untuk salah menafsirkan isi perjanjian.28 Intinya  perjanjian  terperinci memperkecil kemungkinan untuk salah paham antara kedua belah pihak sangat kecil dan mencegah timbulnya kecurangan yang akan merugikan salah satu pihak. 

 

27Benoe Satryo Wibowo, Himpunan Peraturan Perundangan Ketenaga Kerjaan, ed.11, Yogyakarta, Andi Offset, 2003, hlm.158

28Ibid., hlm. 53.

Dalam praktek perjanjian yang diadakan kedua pihak ternyata terdapat 3 kemungkinan variasi yang terjadi, yaitu :
1.      Dinyatakan bahwa masing-masing pihak baik prinsipal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian atas seluruh hak dan kewajibannya, tanpa adanya persetujuan dari pihak lain.
Maksudnya adalah baik pihak principal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian atau seluruh hak dan kewajiban dari masing-masing pihak tanpa persetujuan dari pihak agen dan principal lainnya.
2.      Prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, tetapi agen tidak boleh.
3.      Prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, akan tetapi agen hanya diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan kewajibannya apabila diperoleh persetujuan dari pihak prinsipal.29
Maksud dari variasi di atas adalah prinsipal tersebut boleh mengalihkan hak dan kewajibannya pada pihak lain, tetapi apabila agen yang ingin mengalihkannya maka harus meminta persetujuan dari pihak prinsipal, seandainya tidak ada persetujuan dari pihak prinsipal maka pihak agen tidak bisa mengalihkannya kepada pihak lain.


 

29Ibid.,  hlm. 55

Biasanya dalam perjanjian kerja sama tersebut kedua belah pihak merumuskan secara jelas peristiwa apa-apa saja yang menjadi perselisihan (events of defaults) antara mereka untuk memutuskan perjanjian, yang dikategorikan events of defauls adalah :
a.       Apabila agen lalai melaksanakan kewajibannya, sebagaimana tercantum pada perjanjian keagenan termasuk kewajiban melakukan pembayaran.
b.  Apabila agen melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan
c.    Apabila para pihak jatuh pailit
d.      Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Pada intinya kerja sama dapat diputuskan dengan beberapa sebab atau masalah yang telah disebutkan di atas. Bila para pihak ingin memutuskan perjanjian, maka mereka tetap harus memperhatikan ketentuan yang ada dalam Pasal 1266 KUHPerdata, yang menentu “pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan setelah adanya keputusan pengadilan. 30
Dengan kata lain apabila seorang prinsipal ingin memutuskan hubungan kerja sama (perjanjian) dengan pihak agen, tidak cukup hanya dengan mengirimkan pemberitahuan secara tertulis. Tetapi principal  harus mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang berwewenang, setelah itu harus menunggu adanya keputusan pengadilan yang membenarkan dilakukannya pemutusan perjanjian keagenan.

 

30Ibid., hlm. 55

Dalam praktiknya, para pihak seringkali menghindari prosedur tersebut, dan mengenyampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata. Dengan alasan mereka dapat melakukan pemutusan perjanjian keagenan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang mereka perjanjikan dalam perjanjiannya.
Dalam praktek perdagangan dijumpai apa yang dikenal dengan nama agen perdangangan, yaitu seorang atau suatu perusahaan yang bertindak sebagai penyalur untuk menjualkan barang-barang keluaran perusahaan lain, umumnya perusahaan luar negeri dan biasanya mereka mempunyai hubungan tetap.
Hubungan ini dapat berupa :
1.      Perusahaan membeli barang-barang itu untuk perhitungannya sendiri dengan mendapatkan komisi dan kemudian menjualnya kembali.
2.      Prusahaan itu merupakan wakil dari perusahaan yang memproduksi barang-barang itu.
3.      Perusahaan itu bertindak sebagai penyalur untuk menemui pembelinya dan mengusahakan suatu penawaran pembelian.31
Maksud hubungan tetap disini adalah hubungan kerja sama antara pihak agen dengan perusahaan yang memproduksikan barang-barang tersebut, pihak agen menjadi wakil dari perusahaan (principal) dan mereka mendapatkan komisi (upah). Hal ini sejalan dengan isi Undang-Undang Perlindungan Upah, pasal 1 Nomor 8 Tahun 1981, menjelaskan bahwa :

 

31Achmad Ichsan, Hukum Dagang, lembaga Perserikatan, Surat-surat Berharga, Aturan-aturan Angkutan, cet.5 Jakarta, Pradnya Paramita, 1993, hlm.45
a.       Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya.
b.                              Pengusaha ialah :
1.      Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri.
2.      Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan miliknya.
3.      Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan termasuk pada orang 1 dan 2, yang berkedudukan di luar Indonesia.32

Maksud dari pasal tersebut adalah dimana para pengusaha wajib membayar upah para buruh atas pekerjaan yang telah mereka lakukan atau pekerjaan yang akan mereka lakukan. Upah tersebut berbentuk uang dimana persentasenya di tetapkan atas persetujuan kedua belah pihak atau menurut peraturan undang-undang
Selanjutnya Undang-Undang Perlindungan Upah, pasal 12 Nomor 8 Tahun 1981 menjelaskan :
1.       Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang.
2.      Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.33



 


32Benoe Satriyo Wibowo, Himpunan Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan, ed.II Yogyakarta, Andi Offset,2003, hlm. 158

33Ibid., , hlm. 161
Dari penjelasan di atas, upah dapat berbentuk uang dan dapat juga diberikan dalam bentuk lain seperti sembako, adapun waktu pembayaran harus tepat tidak boleh menunda-nundanya.
Adapun hubungan hukum antara agen dengan principal merupakan hubungan yang dibangun melalui mekanisme layanan lepas jual, disini hak milik atas produk yang dijual oleh agen tidak lagi berada pada principal melainkan sudah berpindah kepada agen, karena prinsipnya agen telah membeli produk dari principal.34
Maksud dari penjelasan di atas adalah hubungan hukum antara agen dan principal adalah hubungan yang dibangun melalui mekanisme lepas jual. Maksudnya pihak agen membeli produk (tiket) di perusahaan penerbangan, disini hak milik atas tiket yang dijual oleh agen tidak menjadi milik perusahaan penerbangan, melainkan hak milik agen karena prinsipnya agen telah membeli di perusahaan penerbangan.

E.     Relevansi antara Konsep Samsarah dan Konsep Agen dalam Hukum Perdata
Pada prinsipnya konsep samsarah dan konsep agen adalah sama-sama sebagai perantara, di mana mereka sama-sama sebagai penengah antara penjual dan pembeli. Bedanya antara samsarah dan agen yaitu pada nama tetapi maksudnya satu yaitu perantara. Pada masa sebelum Islam perdangangan perantara disebut dengan al-samsarah tetapi Rasul menyebut mereka al-tujjar, pada jaman sudah moderen ini mereka sudah lebih akrap dengan kata-kata agen.35
34Abdul R. Saliman, Hermansyah dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, teori & contoh kasus, ed.II, cet.II Jakarta,Kencana, 2006, hlm. 68

35Abdullah dan Alwi Haji Hassan, Sales and Contracs In Early Islamic Commercial Law, Islamabad: Islamic Research Institute, 1994, hlm, 96-97.
Relevansi antara konsep samsarah dan konsep agen adalah perantara pada masa Rasul (samsarah) hanya berfungsi menjualkan barang milik orang lain dengan diberi upah, upah pada masa itu tidak ditentukan dan hanya berlaku sebagaimana biasanya, yaitu 2,5 % dari nilai transaksi, ada juga yang berlaku 2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari pembeli, keadaan seperti ini disebut dengan adat-istiadat. Supaya tidak terjadi salah paham, maka pemilik barang dan samsarah dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak samsarah. Boleh mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau mengambil kelebihan dari harga yang ditentukan oleh pemilik barang, itu semua tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Sedangkan perantara pada masa sekarang (agen) adalah mereka menggunakan sistem deposit atau dalam istilah hubungan hukum keagenan yang bearti mekanisme layanan lepas jual, artinya pihak agen harus membeli tiket terlebih dahulu ke pihak perusahaan penerbangan setelah itu barulah pihak agen bisa menjualkan kembali kekonsumen. Dalam hubungan hukum keagenan telah disebutkan bahwa hak milik atas produk yang dijual oleh agen tidak lagi berada pada principal melainkan sudah berpindah kepada agen, karena pada prinsipnya agen telah membeli produk dari principal.36



 

36Op. Cit.,  hlm.68
Tetapi pada kenyataan sekarang ini tidaklah seperti itu, pihak agen travel telah membeli tiket ke perusahaan penerbangan tetapi pihak agen tidak bisa memegang secara penuh atas hak tiket tersebut. Harga dan komisi ditetapkan oleh perusahaan penerbangan, komisi yang diberikan oleh perusahaan penerbangan pada saat ini adalah sebesar persentase dari total hasil penjualan.
 Makelar yang terpecaya tidak dituntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak disengaja dan tidak akan merugikan sebelah pihak. Sedangkan agen adalah suatu pihak yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual-beli suatu produk dengan imbalan komisi sebesar persentase tertentu dari total hasil penjualannya.37
Dalam hubungan kerja sama antara pihak agen dan perusahaan penerbangan, apabila pihak agen bertindak melampaui batas yang telah diberikan oleh perusahaan penerbangan, maka pihak agen sendiri yang bertanggung jawab atau menanggung resiko atas tindakan-tindakan mereka. Apabila tindakan yang dilakukan oleh agen masih dalam batas perjanjian yang disepakati maka pihak perusahaan penerbangan akan bertanggung jawab.
Dalam konsep samsarah tidak ada yang namanya jaminan, karena bentuk kerja sama yang mereka lakukan adalah bentuk kerja sama perantara, dimana pihak samsarah hanya berkewajiban menjualkan barang milik pedagang bukan menanam modal sehingga tidak dibutuhkan sebuah jaminan. 


 


37Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1994), hlm, 12
Dari uraian-uraian di atas bisa disimpulkan bahwa konsep samsarah pada masa Rasul dengan konsep agen sekarang sudah banyak yang berubah, yaitu konsep samsarah pada masa rasul mereka hanya berfungsi menjualkan barang orang lain dengan diberikan upah. Sedangkan konsep agen sekarang menggunakan sistem deposit atau dalam hukum keagenan disebut dengan mekanisme lepas jual yang artinya pihak agen harus membeli terlebih dahulu tiket setelah itu barulah dijual ke konsumen.
Pada masa Rasul mereka tidak mengenal kontrak kerja, maka dari itu mereka tidak membuat kontrak kerja dan mereka berprinsip kepada saling percaya dan yakin. Sedangkan sekarang sudah mempunyai ilmu pengetahuan, maka dari itu mengapa tidak membuat kontrak kerja baik yang tertulis atau lisan sehingga tidak akan menyebabkan perselisihan paham di kemudian hari. Pada jaman yang moderen inipun kontrak kerja tidak hanya bisa dengan lisan, tetapi harus dengan tulisan yang mempunyai saksi, sehingga jika suatu saat terjadi pailit atau salah paham maka kedua belah pihak mempunyai bukti yang hitam di atas putih.  

3 komentar:

  1. mohon maaf ana skilas mncritakan,,,,,
    assalam ustad
    dikampung saya ada sebuah akad gadai dengan sistem matean atau istilah bahasa indonesianya “mati”
    contohnya: si A =punya sawah dan si B= pemberi pinjaman
    si A lagi butuh uang untuk keperluan sesuatu dan menggadaikan sawahnya kepada si B dengan jumlah uang tunai sbsar 30 juta. dan si A menerima uang dan si B menerima sawah untuk digarap, tetapi dalam akad gadai tersebut si A mempunyai syarat untuk si B yaitu syarat “matean” artinya si A mensyaratkan si B menggararap sawahnya dengan syarat si B membayar setiap tahunya sebanyak 2 juta rupiah,,dan kesepakatanpun terjadi.
    keuntungan adanya sistem “matean” untuk:
    si A adalah mendapatkan uang tunai setiap tahunnya dari si penggarap sawahnya sebesar 2 juta sehinggga mengurangi beban pengembaalian pinjaman dari si B
    sedangkan si B adalah dapat menggarap sawah si A sebebas mungkin keuntungan dan kerugian sudah menjadi tanggungan penggarap atau si B
    JADI, yang menjadi pertanyaanya disini adalah bagaimana hukum gadai sawah tersebut, dan bagaimana sebaiknya dilakukan?
    mohon jawabannya asaalam…wr…wb….

    BalasHapus
  2. Alhsmdulillah... Sangat bermanfaat, semoga nenjadi amal jariyah amiiin

    BalasHapus