Pages

Senin, 02 Mei 2011



HAQ IBTIKAR DALAM PERSPEKTIF FIQH MU’AMALAH

1.1. Tinjauan Umum Tentang Hak Ibtikar
1.1.1. Pengertian Haq Ibtikar
Dalam pembahasan tentang konsep hak ibtikar penulis perlu menegaskan kembali definisi tentang hak, supaya penjelasan tentang hak ibtikar menjadi tegas dan sesuai dengan konsep yang diformat dalam fiqh muamalah. Hak berasal dari bahasa arab haq, secara harfiyah berarti “kepastian” atau “ketetapan”, al-haq juga berarti “menetapkan” atau “menjelaskan”, dan al-haq  juga berarti “kebenaran”[1]. Secara terminologis pengertian hak ialah himpunan kaidah dan nash-nash syari’at yang harus dipatuhi untuk menertibkan pergaulan manusia baik yang berkaitan perorangan maupun yang berkaitan dengan harta benda[2]. Hak ialah “suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum”[3]. Pengertian lain tentang hak dikemukakan oleh pelaku-pelaku hukum (manusia, badan hukum) adalah “kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang pihak lain”.[4]
Secara etimologis al-haq berarti milik ketetapan dan kepastian[5]. Hak diartikan pula dengan menetapkan dan menjelaskan. Sedangkan pengertian hak menurut ulama fiqh dari golongan ulama ialah hak suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara’[6]. Menurut Syekh Ali Al-Khafifi hak ialah kemaslahatan yang diperoleh secara syara’[7].
Para fuqaha berbeda pendapat tentang pengertian hak. Ada ulama yang mengartikan hak mencakup hal-hal yang bersifat materi, sementara dipihak lain ada yang mengaitkannya dengan hal-hak yang bersifat non-materi, seperti pada istilah hak Allah SWT dan hak hamba. Ada pula yang mengartikan hak sebagai hak atas harta benda dan segala sesuatu yang lahir dari suatu akad, baik yang menyangkut hak-hak keagamaan, hak-hak pribadi atau hak-hak secara hukum[8].
Menurut fungsinya, hak merupakan perantara untuk mencapai kemaslahatan tertentu. hak itu sendiri bukanlah suatu maslahat, tetapi merupakan jalan untuk mencapai suatu kemaslahatan. Dengan demikian suatu hak tidak boleh dipergunakan untuk merugikan orang lain, karena merugikan orang lain bukanlah suatu kemaslahatan. Dalam hal inilah para fuqaha membuat kaidah “dalam menggunakan hak, orang lain tidak boleh dirugikan dan tidak boleh pula berhak dirugikan orang lain”. Selain itu hak tersebut tidak dibenarkan dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak diakui syara’. Para fuqaha berbeda pendapat tentang pengertian hak, ada yang mengatakan hak mencakup hal-hal yang bersifat materi, sedangkan di pihak lain ada yang mengkaitkannya dengan hal-hal yang bersifat non-materi,[9].  Hak juga merupakan kewenangan atas sesuatu atau yang wajib atas seseorang untuk orang lain.[10]
Ibnu Nujaim seorang ahli fiqh mendefinisikan hak sebagai suatu kekhususan yang terlindungi. Artinya, hubungan khusus antara seseorang dan sesuatu atau kaitan seseorang dengan orang lain tidak dapat diganggu gugat[11]. Fathi ad-Duraini, juga mengeluarkan pendapatnya tentang pengertian hak merupakan suatu kekhususan kekuasaan terhadap sesuatu atau keharusan penunaian terhadap yang lain untuk memenuhi kemaslahatan tertentu[12]. Dari beberapa definisi diatas maka dapat dipahami bahwa hak ialah suatu ketentuan dan ketetapan dari seseorang terhadap pihak lain yang ia mempunyai kuasa atas suatu hal atau perihal, oleh karenanya jika ada pihak lain yang ingin secara sengaja mengambil atau salah dalam menggunakan haknya, maka pihak itu dapat dianggap telah melanggar hak orang lain. 
 Ulama fiqih mengemukakan macam-macam hak dari berbagai segi, yaitu :
a.         Dari segi pemilik hak. Dilihat dari segi ini hak terbagi menjadi tiga  macam:
1)   Hak Allah SWT, yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah mengagungkan-Nya.
2)   Hak manusia, yang pada hakikatnya untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi manusia.
3)   Hak berserikat (gabungan) antara hak Allah dan hak manusia.[13]
b.        Dari segi obyek hak. Menurut ulama fikih dari segi obyeknya hak terbagi atas:
1)   Haq mali yaitu hak yang berhubungan dengan harta.
2)   Haq qhairu mali yaitu hak-hak yang tidak terkait dengan harta benda (materi).
3)   Haq al-syahshi yaitu hak-hak yang ditetapkan syara’ bagi pribadi berupa kewajiban terhadap orang lain.
4)   Haq al-‘aini yaitu hak seseorang yang ditetapkan syara’ terhadap suatu zat sehingga ia memiliki kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti hak memiliki sesuatu benda. Misalnya, hak ibtikar.
5)   Haq mujarrad yaitu hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila digugurkan melalui perdamaian atau pemaafan, dan qhairu mujarrad yaitu suatu hak yang apabila digugurkan atau dimaafkan meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan.[14]
Menyangkut antara haq al-syakhsi dan haq al-‘aini. Ulama fiqh menyatakan beberapa keistimewaan diantara kedua hak tersebut. Pertama, haq al’aini bersifat permanen dan mengikuti pemiliknya, sekalipun benda itu berada di tangan orang lain[15]. Misalnya, apabila harta seseorang dicuri kemudian dijual oleh pencuri kepada orang lain, maka hak pemilik barang yang dicuri itu tetap ada dan ia berhak untuk menuntut agar harta yang menjadi haknya itu dikembalikan. Hak seperti ini tidak berlaku dalam haq al-syakhsi.
Perbedaan diantara kedua hak tersebut adalah hak seseorang dalam haq al-‘aini terkait langsung dengan materi, sedangkan hak dalam haq al-syakhsi merupakan hak yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang telah mukallaf. Materi dalam haq al-‘aini bisa berpindah tangan, sedangkan pada haq al-syakhsi tidak bisa berpindah tangan pemiliknya. Kedua, haq al-‘aini gugur apabila materinya hancur (punah), sedangkan haq al-syakhsi tidak dapat digugurkan, karena hak itu terdapat dalam diri seseorang, kecuali pemilik hak itu wafat.
c.    Dari segi kewenangan pengadilan (hakim) terhadap hak tersebut. Para ulama membaginya kepada dua macam yaitu:
1)   Haq diyani (keagamaan), yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan kehakiman.
2)   Haq qadhai, yaitu seluruh hak dibawah kekuasaan pengadilan dan Pemilik hak itu mampu membuktikan haknya di depan hakim.[16]
Sumber atau sebab hukum, ulama fiqh telah sepakat menyatakan, bahwa sumber atau sebab hak adalah syara’[17]. Namun adakalanya syara’ menetapkan hak-hak itu secara langsung tanpa sebab dan ada kalanya melalui suatu sebab, ulama fiqh menetapkan bahwa yang dimaksudkan dengan sebab langung yang berasal dari syara’ atau diakui oleh syara.
Adapun akibat hukum suatu hak, ulama fiqh mengemukakan beberapa hukum terkait dengan hak tersebut, di antaranya:[18]
1.        Menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak. Para pemilik hak harus melaksanakan hak-haknya itu dengan cara-cara yang disyariatkan.
2.        Menyangkut pemeliharaan hak. Ahli fiqh menyatakan bahwa syariat Islam telah menetapkan agar setiap orang berhak untuk memelihara dan menjaga haknya itu dari segala bentuk kesewenangan orang lain, baik yang menyangkut hak-hak kepidanaan maupun hak-hak keperdataan. Apabila harta seseorang dicuri, maka ia berhak menuntut secara pidana dan secara perdata. Tuntutan secara pidana dengan melaksanakan hukuman potong tangan dan secara perdata menuntut agar harta yang dicuri itu dikembalikan jika masih utuh atau diganti senilai harta yang dicuri jika harta itu habis.
3.        Menyangkut penggunaan hak. Ulama fiqh berpendapat bahwa hak itu harus digunakan untuk hal-hal yang disyariatkan oleh Islam. Atas dasar itu, seseorang tidak boleh menggunakan haknya apabila merugikan atau memberi mudarat kepada pihak lain, baik perorangan maupun masyarakat, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja.
Menurut para fuqaha, bahwa seseorang sebagai pemilik hak, dibenarkan memindahkan haknya kepada orang lain, dengan ketentuan harus sesuai dengan cara yang disyariatkan dalam Islam, baik yang menyangkut hak kehartabendaan, seperti jual beli dan lain-lain. Adapun sebab-sebab pemindahan hak yang disyariatkan Islam itu sangat banyak, seperti melalui suatu akad (transaksi), melalui pengalihan utang (hiwalah), dan disebabkan wafatnya seseorang. Yang penting pemindahan hak ini menurut para ulama fiqh dilakukan sesuai dengan cara dan prosedur yang ditetapkan oleh syara’. Suatu hak hanya akan berakhir sesuai dengan yang ditentukan oleh syara’ dan  hal ini bisa berbeda pada setiap jenis hak yang dimiliki seseorang.[19]
Dengan demikian, dari beberapa penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa hak ibtikar itu dikatagorikan kedalam haq al-‘aini, karena didalam hak ibtikar, seseorang mencurahkan segenap tenaga dan ilmunya untuk menghasilkan suatu karya yang luar biasa yang bisa membawa manfaat buat orang banyak, dan ia mempunyai hak untuk bertindak sesuai keinginannya terhadap hasil karya itu.[20]
Secara etimologi, ibtikar berarti awal sesuatu atau permulaannya.[21] Ibtikar dalam fiqh Islam dimaksudkan adalah hak cipta/kreasi yang dihasilkan seseorang untuk pertama kali, didalam dunia ilmu pengetahuan al-ibtikar disebut dengan hak cipta. Pengertian terminologi haq al-ibtikar tidak dijumpai dalam literatur fiqh klasik pembahasan yang sistematik tentang haq al-ibtikar, karenanya juga sulit dketahui definisinya dari tokoh-tokoh fiqh klasik.
Pembahasan haq al-ibtikar banyak dijumpai dalam pembahasan ulama kontemporer. Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh di Universitas Damaskus, Syria, menyatakan bahwa ibtikar adalah, gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan melalui kemampuan pemikiran dan analisisnya dan hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama, yang belum dikemukakan ilmuan sebelumnya.[22]
Dari segi hak, definisi ibtikar ini mengandung pengertian bahwa dari segi bentuk, hasil pemikiran ini terletak pada materil yang berdiri sendiri yang dapat diraba dengan alat indera manusia, tetapi pemikiran itu baru berbentuk dan punya pengaruh apabila telah dituangkan kedalam tulisan seperti buku atau media lainnya. Kemudian hasil pemikiran ini bukan jiplakan atau pengulangan dari pemikiran ilmuan sebelumnya dan bukan pula berbentuk saduran. Akan tetapi, ibtikar ini bukan berarti sesuatu yang baru sama sekali, tetapi juga boleh berbentuk suatu penemuan sebagai perpanjangan dari teori ilmuan sebelumnya, termasuk didalamnya terjemahan hasil pemikiran orang lain ke dalam bahasa asing. Dimasukannya terjemahan kedalam ibtikar adalah disebabkan adanya usaha dan kemampuan bahasa penerjemah untuk menyebarluaskan suatu karya ilmiah, sekalipun pemikiran asalnya bukan muncul dari penerjemah.
Menurut Fauzi, ada beberapa pertimbangan kenapa ibtikar lebih cocok dimunculkan sebagai istilah untuk haq ibtikar, yakni:[23]
  1. Empat sebab yang disebutkan dalam konsep milk belum dapat mengakomodir sebab kepemilikan sebuah ciptaan.
  2. Ibtikar perlu dimunculkan sebab perkembangan zaman dan teknologi yang telah melahirkan banyak temuan-temuan baru.
  3. Ibtikar merupakan bentuk usaha sungguh-sunguh dengan segala pengorbanan.
  4. Nass, menisbatkan usaha kepada pemiliknya. Allah swt berfirman dalam surat al-Baqarah 134.

Artinya: Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah:134)
  1. Ciptaan langit dan bumi semuanya dinisbatkan kepada pemiliknya yakni Allah.
Selain kelima sebab di atas, Fauzi juga menyebutkan beberapa sebab lainnya, namun sebab tersebut bukanlah hal yang primer, namun ia merupakan sebab sekunder.[24]
  1. Adanya pasal 3 ayat 2 UUHC no. 19/2002. dalam pasal ini menguraikan tentang bentuk pemindahan kepemilikan kepada pihak lain yang dibenarkan oleh undang-undang. Dalam hukum Islam, pemindahan hak seperti itu dibolehkan kecuali warisan.
  2. Al-khalafiah. Dikecualikan pewarisan. Bukan berarti bahwa warisan tidak menjadi sebab kepemilikian, hanya dalam konsep milk dikatagorikan dalam al-khalafiah yakni orang yang mengganti pencipta dalam segala tindakan hukum berkenaan dengan haq ibtikar dalam hal ini adalah ahli waris.
  3. Sesuatu yang dihasilkan dari harta sebelumnya dan pemiliknya adalah orang yang memiliki harta yang pertama itu (pencipta).
Pada dasarnya, haq ibtikar adalah sejenis kepemilikan pribadi atas suatu ciptaan yang berupa perwujudan dari suatu ide pencipta dibidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.[25] Sifat haq ibtikar ditegaskan dalam Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, yaitu: (1) hak cipta dianggap sebagai benda bergerak. (2) hak cipta dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis; atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Hak cipta merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan hak-hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang pengaturannya terdapat dalam ilmu hukum dan dinamakan Hukum HAKI. Yang dinamakan Hukum HAKI ini, meliputi suatu bidang hukum yang membidangi hak-hak yuridis dari karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah piker manusia bertautan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi dan moral.[26]
Menurut Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta tersebut, hal yang essensial dalam undang-undang ini adalah bahwa “Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian”, antara lain karena pewarisan, hibah, atau perjanjian tertulis. Salah satu makna penting dari ketentuan ini adalah kedudukan hak cipta yang dianggap sebagai benda bergerak. Sebagai benda bergerak yang dapat dialihkan, maka sifat hak cipta yang dapat dialihkan ini menjadi sangat relevan dalam transaksi bisnis sehari-hari. Itulah sebabnya, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta menggunakan istilah “pemegang hak cipta” yang berdampingan dengan istilah pencipta. Begitu juga mengenai dapat diwariskannya hak cipta.
            Apabila haq ibtikar dikaitkan dengan pengertian harta dalam Islam, ulama syafi’iyah, malikiyah, dan Hambaliyah berpendapat bahwa hasil pemikiran, ciptaan, dan kreasi seseorang termasuk harta, karena, menurut mereka, harta tidaknya bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat. Oleh karena itu, menurut mereka, pemikiran hak citpa atau kreasi yang sumbernya adalah pemikiran manusia bernilai harta dan sama dengan nilai hasil suatu tanaman, sewa rumah, susu dan bulu hewan, dan lain sebagainya.[27]
Imam asy- Syafi’i mengatakan bahwa yang dikatakan harta itu adalah yang boleh dimanfaatkan oleh manusia, baik berupa benda maupun bersifat manfaat dari suatu benda. Pemikiran seseorang yang telah dituangkan dalam buku, ciptaan atau kreasi seorang ilmuwan atau seniman, menurut mereka, juga bernilai bermanfaat yang dapat nilai dengan harta, dapat diperjual belikan, dan orang yang sewenang-wenang terhadap haq ibtikar dan kreasi orang lain boleh dituntut di muka pengadilan. Oleh sebab itu, dalam ijtihad para ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah dan sebagai ulama Hanafiyah, haq ibtikar dan kreasi ilmuwan atau seniman termasuk ke dalam pengertian harta (mal) yang bermanfaat, setelah hasil pemikiran itu dituangkan ke dalam buku atau media lainnya.[28]
1.1.2. Dasar Hukum Hak Ibtiqar
Dalam al-Qur’an maupun hadits masalah haq ibtikar belum mempunyai dalil atau landasan nash yang eksplisit. Hal ini karena gagasan pengakuan haq ibtikar itu sendiri merupakan masalah baru yang belum dikenal sebelumnya. Namun demikian secara implisit perlindungan terhadap haq ibtikar ditemukan dalan sistim hukum Islam. Hal ini dikarenakan konsep hak itu sendiri dalam hukum Islam tidak baku dan berkembang secara fleksibel dan implementasinya tetap akan sangat tergantung kepada keadaan.
. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa landasan haq ibtikar atau kreasi dalam fiqh Islam adalah u’rf (suatu kebiasaan yang berlaku umum dalam suatu masyarakat) dan a-maslahah al-mursalah (suatu kemaslahatan yang tidak didukung oleh ayat atau hadits, tetapi juga tidak ditiolak)[29]. Urf dan al-maslahah almursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum dalam fiqh Islam, selama tidak bertentangan dengan teks ayat dan atau hadits, dan hukum yang ditetapkan itu merupakan persoalan-persoalan kemasyarakatan.[30]
Menurut Fauzi Shaleh, pada dasarnya dasar hukum hak dalam Islam adalah syara’, baik itu al-haq al-Syakhsyi yakni suatu tuntutan yang ditetapkan syara’ untuk seseorang terhadap orang lain seperti hak pembeli mendapatkan barang, maupun al-haq al-’aini yakni hak seseorang yang ditetapkan syara’ terhadap suatu zat sehingga ia memiliki kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu.[31]
Sejak dikenalnya dunia cetak mencetak, umat manusia  telah melakukan suatu komoditi baru, yaitu memaparkan hasil pemikiran mereka dalam sebuah media serta memperjualbelikannya pada masyarakat luas. Disamping itu, hasil pemikiran, ciptaan atau kreasi seseorang mempunyai pengaruh besar dalam mendukung kemaslahatan umat manusia sejalan dengan tujuan syari’at. Oleh sebab itu, keberadaan hak sebagai salah satu materi yang bernilai harta tidak diragukan lagi.[32]
Oleh karena itu, diperlukan seperangkat hukum yang menjadi landasan pengaturan yang didasarkan pada ’urf dan al-maslahah al-mursalah. Dalam konteks negara Indonesia, hal tersebut telah dituangkan dalam bentuk undang-undang. Sebagai mana yang telah diketahui, sebelum kemerdekaan Indonesia masalah hak cipta diatur berdasarkan Aurteurswet stb 1912 Nomor 600. setelah kemerdekaan Indonesia hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 LN.TH.1982:No.15. kemudian Undang-Undang ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1997 LN 1997.No.29, dan terakhir telah diubah dengan lahirnya UU.No.19 Tahun 2002, untuk selanjutnya disingkat dengan UUHC.[33]
Haq ibtikar (hak cipta) merupakan harta yang dilindungi oleh syara’, dengan demikian segala sesuatu yang bersifat merugikan atau menzalimi pemilik hak cipta tersebut dilarang dalam islam. pembajakan terhadap hak cipta dilarang kerana termasuk dalam pengambilan hak milik orang lain tanpa izin dari pemegang hak cipta tersebut. Alasan ini dipertegas oleh firman Allah dalam surat (al-Baqarah 2:188) berikut:
Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil, janganlah kamu membawa urusan harta kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah 2:188)

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa, pelanggaran hak cipta termasuk perbuatan yang melanggar etika bisnis atau perdagangan dalam Islam terutama yang berkaitan dengan jenis pelanggaran memperbanyak dan memperjualbelikan ciptaan hasil dan pelanggaran hak cipta. Tindakan inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 29.
Artinya: Hai orung-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan (tijarah) dengan suka sama suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu,. (Q.S An-nisa 4:29)

Adapun hadits yang menjelaskan tentang larangan menjual suatu barang yang bukan milik dirinya yaitu,
عن حكيم بن حزام قال : قلت يارسول الله الرجل يسأ لني البيع وليس عندي أفأ بيعه ؟ قال لاتبع ماليس عندك ( رواه ابن مجة )

Artinya: Dari Hakim bin Hizam ra, ia berkata: Aku berkata,”Ya Rasulullah, ada seseorang akan membeli dariku sesuatu yang tidak kumiliki, bolehkah saya menjawabnya,”maka jawab beliau,”jangan kamu jual sesuatu yang tidak menjadi milikmu. (H.R. Ibnu Majah) [34]
Dari hadis diatas, dapat dipahami bahwa Allah sangat menyukai orang-orang yang mau berusaha dan mencari rezki yang halal lagi baik, bukan harta yang didapatkan dengan cara yang sangat dilarang oleh Allah. Adapun ketentuan atau anjuran diatas dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap karya orang lain, sehingga dapat mendorong mereka untuk berkarya dalam rangka menggali sumber daya alam. Pelanggaran hak cipta juga menimbulkan kerugian terhadap pemegang hak cipta maupun negara
Mejelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa No.1/Munas /VII/MUI/15/2005 tentang perlindungan hak kekayaan intelektual yang memutuskan bahwa dalam hal ini hak kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul dari hasil pikir yang menghasilkan sebuah produk atau proses yang berguna untuk manusia dan diakui oleh negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.yang dalam hal ini hak cipta sebagai hak ekslusif bagi seorang pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan dan memperbanyak hasil ciptaannya atau memberikan izin kepada pihak lain melalui lisensi dengan adanya pembayaran royalty.
1.1.3. Hak Kepemilikan dalam Hak Ibtikar
            Secara etimologi, kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk yang berarti penguasaan terhadap sesuatu dan kewenangan bertindak secara bebas atasnya.[35] Al-milk juga berarti sesuatu yang dimiliki (harta). Milik juga merupakan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, kecuali adanya halangan syara’. Kata “milik” dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari kata al-milk dalam bahasa Arab.
                Sedangkan secara terminologi, ada beberapa definisi al-milk yang dikemukakan para fuqaha, sekalipun secara esensial seluruh definisi itu adalah sama. Al-milk ialah pengkhususan seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap benda itu (sesuai dengan keinginannya), selama tidak ada halangan syara’.[36]
            Menurut ketentuan hukum perdata, hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.[37]
Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa hak kepemilikan pemilik dan pencipta sautu kreasi (mubtakir) terhadap hasil pemikiran dan ciptaannya adalah hak milik yang bersifat material. Oleh sebab itu, haq ibtikar apabila dikaitkan dengan harta dapat ditransaksikan, dapat diwarisi jika pemiliknya meninggal dunia, dan dapat dijadikan wasiat jika seseoarang ingin berwasiat. Dengan demikian haq ibtikar memenuhi segala persyaratan dari suatu harta dalam fiqh Islam, serta mempunyai kedudukan yang sama dengan harta-harta lainnya yang halal. Oleh sebab itu, para ulama fiqh, menyatakan bahwa haq ibtikar seseoarang harus mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan hak-hak lainnya.[38]
            Akan tetapi pakar fiqh Malikiah, berpendapat bahwa sekalipun haq ibtikar merupakan hak bagi pemikirnya, tetapi hak ini tidak bersifat harta, bahkan tidak terkait sama sekali dengan harta, oleh sebab itu, haq ibtikar tidak boleh diwariskan, tidak boleh diwasiatkan, dan tidak boleh ditransaksikan dengan traksaksi yang bersifat pemindahan hak milik. Alasannya adalah karena yang menjadi sumber hak ini adalah akal dan hasil akal yang berbentuk pemikiran tidak bersifat material yang boleh diwariskan, diwasiatkan dan ditransaksikan.
            Akan tetapi, pendapat tersebut mendapat tantangan dari mayoritas ulama Malikiyah lainnya, seperti Ibn ’Urfah, karena menurut Ibn ’Urfah, sekalipun asalnya adalah akal manusia, namun haq ibtikar setelah dituangkan dalam sebuah media memiliki nilai harta yang besar, bahkan melebihi nilai sebagian harta benda material lain. Menurut Ibn ’Urfah, seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa semata-mata pemikiran yang asalnya adalah akal seseorang tidak boleh dipindahtangankan. Akan tetapi, setelah hasil pemikiran itu dituangkan di atas suatu media, seperti kertas, sehingga ia menjadi buku, maka hasil pemikiran itu telah bersifat material dan bernilai harta. Kertas itu sendiri, menurutnya, sekalipun bernilai, tetapi nilainya amat kecil. Akan tetapi, setelah kertas itu isi dengan hasil pemikiran sesorang pemikir, maka ia bernilai berlipat ganda. Dari sisi inilah, menurut Ibn’Urfah, harus dilihat nilai harta dari suatu pemikiran seseorang; bukan dari pemikiran yang belum tertuang dalam buku dan bukan pula sumber pemikiran itu.[39]
Oleh karena itu, terkait dengan haq ibtikar, dalam konsep hukum positif dikenal dua hak yang integral di dalamnya. Kedua hak terebut adalah hak moral dan hak ekonomi. Konsep dasar lahirnya haq ibtikar akan memberikan perlindungan hukum terhadap suatu karya cipta yang memiliki bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan seseorang atas dasar kemampuan dan kreatifitasnya yang bersifat pribadi.[40]
Sifat pribadi yang terkandung didalam haq ibtikar melahirkan konsepsi hak moral bagi sipencipta atau ahli warisnya. Hak moral tersebut dianggap sebagai hak pribadi yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mencegah terjadinya penyimpangan atas karya ciptanya dan untuk mendapatkan penghormatan atau penghargaan atas karyanya tersebut. Hak moral tersebut merupakan perwujudan dari hubungan yang terus berlangsung antara si pencipta dengan hasil karya ciptanya walaupun sipenciptanya telah kehilangan atau telah memindahkan haq ibtikarnya kepada orang lain, sehingga apabila pemegang hak menghilangkan nama pencipta, maka pencipta atau ahli warisnya berhak untuk menuntut kepada pemegang haq ibtikar supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.[41]
Disamping hak moral, haq ibtikar juga berhubungan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi (Economic Rights). Adanya kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi didalam haq ibtikar tersebut, merupakan suatu perwujudan dari sifat haq ibtikar itu sendiri, yaitu bahwa ciptaan-ciptaan yang merupakan produk olah pikir manusia itu mempunyai nilai, karena ciptaan-ciptaan tersebut merupakan suatu bentuk kekayaan, walaupun bentuknya tidak berwujud (intangible).[42]
Bagi manusia yang menghasilkannya, karya cipta tersebut memang memberikan kepuasan. Tetapi dari segi yang lain, karya cipta tersebut sebenarnya juga memiliki arti ekonomi. Hal ini perlu dipahami, dan tidak sekedar menganggapnya semata-mata sebagai karya yang memberi kepuasan batiniah, bersifat universal dan dapat dinikmati oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun juga, apalagi dengan sikap bahwa sepantasnya hal itu dapat diperoleh secara Cuma-cuma. Sikap seperti itu terasa kurang adil, sekalipun seringkali mengatasnamakan paham kekeluargaan, kegotongroyongan dan lain-lain yang sejenis dengan itu. Seandainya sang pencipta selaku pemilik hak atas karya cipta dengan sadar dan sengaja membiarkan dan memberikan karyanya dipakai atau ditiru masyarakat dengan cuma-cuma, hal itu pun tetap tidak mengurangi kewajiban setiap orang untuk menghargai dan mengakui hak tersebut.

1.2.Royalti dalam Penciptaan Lagu dan Musik
1.2.1. Pengertian Royalti, Lagu dan Musik
a.    Pengertian Royalti
Royalti adalah bayaran berasaskan penggunaan yang dibayar oleh suatu pihak ( pemegang lisensi) kepada pihak lain ( pemberi lisensi) untuk suatu aset yang sedang digunakan sebagai hak intelek.[43]
Menurut kamus bahasa indonesia royalti adalah uang jasa yang dibayar Soleh penerbit kepada pengarang untuk setiap buku yang diterbitkan, atau uang jasa yang dibayar oleh orang (perusahaan) atas barang yang diproduksinya kepada orang (perusahaan) yang mempunyai hak paten atas barang tersebut[44]
Royalti merupakan suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas :
  1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta dibidang kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, disain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau hak serupa lainnya;
  2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah;
  3. Pemberian pengetahuan atau informasi dibidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial;
  4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut.
b.    Pengertian Lagu dan Musik
Seiring dengan laju perkembangan teknologi di bidang musik, maka kreatifitas para seniman-seniman semakin terasah. Para seniman-seniman tersebut banyak melakukan inovasi-inovasi yakni penciptaan lagu atau musik dengan peralatan penunjang yang semakin canggih.
Lagu dan musik dalam masyarakat merupakan sarana komunikasi, pengungkapan gagasan-gagasan maupun perasaan tertentu. Setiap orang masyarakat mempunyai gagasan-gagasan mengenai keindahan yang antara lain terungkap dalam musik yang diciptakan oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Musik merupakan kesenian yang berkaitan dengan kombinasi suara yang dihubungkan dengan keindahan serta ekspresi pikiran dan perasaan.
Musik adalah ciptaan utuh yang terdiri dari unsur lagu melodi, syair atau lirik dan aransemen, termasuk notasinya. Karya musik merupakan tiap ciptaan baik yang sekarang telah ada maupun yang dibuat kemudian termasuk didalamnya melodi dengan maupun tanpa lirik, gubahan aransemen atau adaptasi.[45]
Karya musik terdiri dari 4 (empat) macam unsur ciptaan, yaitu: melodi dasar, lirik lagu, aransemen, dan notasi. Keempat unsur tersebut merupakan ciptaan satu orang saja, selain itu juga masing-masing unsur dapat merupakan ciptaan sendiri-sendiri. Jadi bisa saja satu karya cipta dimiliki oleh beberapa orang pemegang hak cipta.
Lagu atau musik sendiri dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi. Yang dimaksud dengan utuh adalah bahwa lagu atau musik tersebut merupakan suatu kesatuan karya cipta.[46] Karya lagu atau musik adalah ciptaan utuh yang terdiri dari unsur lagu atau melodi, syair atau lirik dan aransemen, termasuk notasinya, dalam arti bahwa lagu atau musik tersebut merupakan suatu kesatuan karya cipta.
Dalam UU Hak cipta, pengertian lagu dan musik merupakan satu kesatuan. Berbeda dengan pengertian tentang lagu dan musik berdasarkan kamus bahasa Indonesia dimana dalam pengertian tersebut dipisahkan antara pengertian lagu dengan musik. Lagu merupakan suatu syair atau lirik yang mempunyai irama. Sedangkan musik adalah suatu komposisi yang terdiri dari notasi-notasi yang mempunyai melodi berirama.


1.2.2. Pemilik dan Pemegang Hak Cipta Lagu dan Musik
Sebuah lagu yang telah tercipta pada dasarnya adalah sebuah karya intelektual pencipta sebagai perwujudan kualitas rasa, karsa, dan kemampuan pencipta. Keahlian mencipta bagi seorang pencipta, bukan saja kelebihan/ anugerah yang diberikan Tuhan yang dimanfaatkan hanya sekedar penyaluran ungkapan kandungan cita rasanya belaka, tetapi mempunyai nilai-nilai moral dan ekonomi sehingga hasil ciptaannya menjadi sumber penghidupannya.
Musik yang terlahir dari sebuah kekuatan cipta, karsa dan karya serta pengorbanan pikiran tenaga dan waktu penciptanya. juga merupakan cerminan peradaban dan martabat manusia. Di dalamnya terdapat norma-norma moral yang harus dihormati sebagai bentuk pengakuan terhadap hasil jerih payah penciptanya. Juga bagi manusia disekitarnya.[47]
Yang dimaksud dengan pemilik dan pemegang hak cipta lagu adalah:
a) Pemilik hak cipta adalah pencipta, yaitu seseorang atau beberapa orang yang dengan kemampuan bakat dan pikiran serta melalui inspirasi dan imajinasi yang dikembangkannya sehingga dapat menghasilkan karya yang spesifik dan bersifat pribadi.
b) Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta sesuai dari batasan yang tercantum dalam UU Hak cipta.
Pemegang hak cipta karya musik substansinya sama dengan pemegang hak cipta karya sastra, hanya saja dalam prakteknya agak berbeda. Di dalam hak cipta karya musik biasanya terjadi pemisahan antara pemilik hak cipta (pencipta), Pemegang hak cipta (Publisher, dll), dan Pengguna hak cipta (users).[48]
Di dalam karya musik dapat disimpulkan bahwa seorang pencipta lagu memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan eksploitasi atas lagu ciptaannya. Hal ini berarti bahwa pihak-pihak yang ingin memanfaatkan karya tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada penciptanya sebagai pemilik dan pemegang hak cipta.
1.2.3. Royalti dalam Hak Cipta Lagu dan Musik
Untuk melahirkan suatu karya cipta musik atau lagu diperlukan pengorbanan tenaga, waktu, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga kepada pencipta atau composer diberikan hak eksklusif untuk suatu jangka waktu tertentu mengeksploitasi karya ciptanya. Dengan demikian, segala biaya dan tenaga untuk melahirkan ciptaan tersebut dapat diperoleh kembali. Walaupun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Hak Cipta, namun masalah mengenai royalti, belum banyak dipahami. Royalti adalah bentuk pembayaran yang dilakukan kepada pemilik hak cipta atau pelaku (performers), karena menggunakan kepemilikannya. Royalti yang dibayarkan didasarkan pada prosentase yang disepakati dari pendapatan yang timbul dari penggunaan kepemilikan atau dengan cara lainnya.
Undang-Undang Haq ibtikar No. 19 Tahun 2002 tidak memberi definisi mengenai royalti. Namun, dalam Pasal 45 ayat (3), mengatur tentang kewajiban pembayaran royalti kepada pemegang hak cipta pleh penerima lisensi, dan ayat (4) mengatur besarnya atau jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada pemegang hak cipta oleh penerima lisensi berdasarkan pada kesepakatan dari kedua belah pihak dengan berpedoman pada kesepakatan organisasi profesi.
Pencipta telah memperkaya masyarakat pemakai (user) melalui karya ciptanya. Oleh karenanya pencipta mempunyai hak fundamental untuk memperoleh imbalan yang sepadan dengan nilai kontribusinya. Hukum hak cipta yang memberikan hak eksklusif pada suatu karya cipta pencipta, mendukung hak individu untuk mengontrol karya-karyanya, dan secara wajar diberi kompensasi atas kontribusinya kepada masyarakat.[49]

1 komentar: