Pages

Rabu, 25 Mei 2011


TINJAUAN UMUM TEORI EVALUASI PEMBIAYAAN
(oleh Prina)[1]
1.      Pengertian Evaluasi Pembiayaan
Kata evaluasi berasal dari Bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran, sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.[2]
Secara umum menurut Yakop Ibrahim, evaluasi merupakan suatu kegiatan yang menilai dan memilih berbagai investasi yang mungkin dikembangkan sesuai dengan kemampuan investasi yang dimiliki. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai beberapa aspek seperti aspek ekonomi, aspek teknis, aspek finansial, aspek organisasi dan aspek manajemen untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menerima atau menolak usaha yang direncanakan.[3]
Evaluasi yang dilakukan dalam menilai suatu pembiayaan dapat dilakukan dalam tiga tahapan. Untuk tahap yang pertama, evaluasi dilakukan  di awal kegiatan dengan tujuan untuk menilai kesiapan usaha atau mendeteksi kelayakan usaha. Tahap yang kedua atau disebut juga evaluasi formatif yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil-hasil yang telah dicapai selama proses kegiatan usaha dilaksanakan. Mengenai waktu pelaksanaannya dapat dilakukan secara rutin, baik itu perbulan, triwulan, semester, atau tahunan sesuai dengan informasi yang dibutuhkan. Selanjutnya adalah evaluasi  sumatif, pada tahap ini  penilaian dilakukan untuk melihat hasil-hasil yang telah dicapai secara keseluruhan dari awal sampai akhir kegiatan. Waktu pelaksanaan dilakukan pada akhir  sesuai dengan jangka waktu usaha yang dilaksanakan. [4]
Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa evaluasi pembiayaan adalah suatu penilaian yang dilakukan oleh suatu badan, dalam hal ini adalah lembaga perbankan untuk melihat dan memantau perkembangan suatu usaha nasabah yang telah diberikan pembiayaan oleh bank tersebut dalam mengembangkan usahanya.
Usaha yang akan dievaluasi dalam penelitian ini adalah suatu proyek pembangunan yang telah diberikan pembiayaan oleh Bank Aceh Syariah dalam menjalankan usaha nasabah (mudharib). Pihak  Bank Aceh Syariah disini hanya sebagai sleeping partner dalam artian tidak ikut serta dalam melaksanakan kegiatan usaha, akan tetapi Bank Aceh Syariah mempunyai wewenang untuk mengetahui laporan berupa perkembangan usaha yang telah dijalankan oleh nasabah (mudharib).
2.       Proses dan Langkah-Langkah Evaluasi Pembiayaan
            Bank Syariah selaku lembaga intermediary dalam masyarakat harus menghindari terjadinya kerugian atau pailit. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi pembiayaan sebagai salah satu fungsi manajemen untuk memberikan penilaian agar tidak terjadi penyimpangan dari usaha yang dijalankan nasabah (mudharib).[5] 
            Langkah-langkah evaluasi pembiayaan yang dilakukan pertama sekali adalah melalui pendekatan. Proses pendekatan ini dilakukan dengan cara monitoring dilapangan. Antara evaluasi dan monitoring yang dilakukan oleh lembaga perbankan harus berjalan seiring, karena monitoring adalah proses rutin pengumpulan data dan pengukuran kemajuan atas objektif program. Dengan adanya monitoring,maka didapatkan data mentah hasil dari pengamatan yang dilakukan di lapangan. Dari hasil data-data tersebut baru dapat dilakukan evaluasi sehingga bisa memberikan nilai terhadap usaha yang dijalankan oleh nasabah (mudharib).[6] Maka dengan demikian jelaslah tanpa monitoring, evaluasi tidak akan ada dasar, tidak memiliki bahan baku untuk dijadikan penilaian.
            Proses monitoring yang dilakukan oleh suatu lembaga terdiri dari tiga bentuk. Ketiganya ini mempunyai keterkaitan serta kesinambungan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu ketiga bentuk monitoring ini harus diterapkan berkesinambungan agar hasil yang didapatkan bisa maksimal. Bentuk-bentuk monitoring tersebut adalah sebagai berikut:
1.        On Desk Monitoring yaitu pemantauan pembiayaan secara administratif melalui instrumen administrasi, seperti laporan-laporan, financial statement (laporan keuangan), kelengkapan dokumen, dan informasi pihak ke tiga. Data administrasi yang dimonitor adalah dari kegiatan nasabah (mudharib) dan lembaga keuangan sendiri.
2.        On Site Monitoring yaitu pemantauan pembiayaan yang dilakukan langsung kepada nasabah (mudharib), baik sebagian, atau khusus tertentu untuk membuktikan pelaksanaan kebijakan pembiayaan, atau secara menyeluruh, apakah ada terjadi deviasi atau penyimpangan-penyimpangan atas terms of lending yang telah disepakati.
3.        Exception Monitoring yaitu pemantauan pembiayaan dengan memberikan tekanan kepada hal-hal yang kurang berjalan baik dan hal-hal yang telah berjalan sesuai dengan terms of lending dikurangi intensitasnya. [7]
Dengan menerapkan ketiga bentuk monitoring di atas, diharapakan dapat di ketahui sedini mungkin apabila terjadi deviasi atau penyimpangan yang akan berakibat terhadap turunnya mutu pembiayaan. Perlu diketahui di sini bahwa, meskipun monitoring merupakan tahap pendekatan pertama tetapi, proses monitoring akan terus berjalan dari awal hingga akhir selama jangka waktu yang ditetapkan sampai semua pembiayaan yang telah diberikan bank kepada nasabah (mudharib) dikembalikan lagi.
Pada tahap pendekatan ini, yang dimonitoring sebagai bahan evaluasi adalah kesiapan si nasabah (mudharib) yang mengajukan permohonan pembiayaan kepada bank. Proses yang dilakukan adalah sebelum pembiayaan diberikan, bank harus mengetahui terlebih dahulu kesanggupan nasabah (mudharib) baik dari aspek yuridis, aspek pemasaran, aspek manajemen, aspek teknis, aspek keuangan, aspek jaminan, dan aspek sosial ekonomi.[8]
Dari segi aspek yuridis, yang dimonitoring oleh bank adalah kondisi nasabah (mudharib)di lapangan sebelum menyetujui permohonan pembiayaan. Unsur yang terkandung dalam aspek yuridis ini dapat didasarkan pada rumus 5C, yaitu charakter, capacity, capital, collateral, dan condition. Dari ketujuh aspek diatas, semuanya hampir memiliki kesamaan dengan aspek yuridis, dalam artian bahwa jika hanya dilakukan monitoring pada aspek yuridis saja maka, keenam aspek lainnya sudah tercover didalamnya. Aspek pemasaran dan manajemen termasuk dalam pembagian condition, aspek teknis bagian dari charakter, aspek keuangan masuk kedalam capacity,  aspek jaminan bagian dari pembahasan collateral, sedangkan aspek sosial dan ekonomi juga masih dalam pembahasan condition. Maka menurut hemat penulis berikut hanya dijelaskan saja penjelasan lebih lanjut mengenai rumus 5C yang terdapat dalam aspek yuridis yaitu sebagai berikut:
1.      Charakter, yaitu menganalisa sifat atau karakter nasabah yang akan mengambil pembiayaan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana tingkah laku, kebiasaan, tanggung jawab, pendidikan, serta cara hidup calon nasabah tersebut termasuk juga untuk mengetahui apakah nasabah mempunyai sifat jujur dan amanah.
2.      Capacity, yaitu menganalisa kemampuan nasabah dalam menjalankan usaha dan mengembalikan pembiayaaan yang diambil dari bank, termasuk didalamnya laporan neraca laba-rugi usaha si nasabah.
3.      Capital, yaitu analisis yang bertujuan untuk mengetahui modal dasar yang dimiliki oleh mudharib ( apakah memiliki modal sendiri dan memerlukan modal tambahan atau tidak memiliki modal sama sekali).
4.      Collateral, yaitu jaminan atau kemampuan nasabah untuk menyerahkan barang jaminan sehubungan dengan fasilitas pembiayaan yang akan diberikan.
5.      Condition, yaitu keadaan usaha nasabah termasuk izin usaha didalamnya,  prospek usaha serta dampak usaha tersebut terhadapa masyarakat. Semuanya ini akan berkaitan erat dengan berhasil atau gagalnya suatu pembiayaan. [9]
Kelima unsur di atas harus tercover seluruhnya oleh nasabah (mudharib). Jika seandainya ada salah satu dianggap cacat atau tidak memenuhi kriteria yang diminta, maka bank dapat membatalkan kerjasama pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabah (mudharib).
Dalam hal ini Bank Aceh Syariah selaku bank Islam atau Bank Syariah yang mengedepankan kemashlahatan bersama, baik untuk nasabah (mudharib) maupun pihak bank maka sekalipun kelima unsur di atas sudah terpenuhi tetapi usaha yang dijalankan bertentangan dengan hukum Islam serta merugikan pihak perbankan, maka bank harus menghindari dan membatalkan pembiayaan tersebut. Adapun jenis-jenis pembiayaan yang harus dihindari oleh Bank Syariah adalah:
1.        Pembiayaan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah
2.        Pembiayaan untuk usaha spekulasi
3.        Pembiayaan untuk usaha tanpa data yang jelas dan informasi yang memadai
4.        Pembiayaan kepada penerima pembiayaan yang bermasalah pada bank lain.[10]
Ini semua diterapkan adalah sebagai suatu bentuk kehati-hatian bank, mengingat bahwa bank merupakan lembaga intermediary dimana dana yang dimiliki bank merupakan dana milik pihak ketiga (nasabah). Selain itu juga prinsip kehati-hatian adalah dasar utama yang harus diterapkan agar evaluasi yang dilakukan dapat menghasilkan data yang akurat.
Langkah yang kedua dalam evaluasi pembiayaan adalah pengawasan terhadap pelaksanaan pembiayaan. Pada langkah yang kedua ini, bank telah memutuskan memberikan pembiayaan untuk usaha nasabah. Keputusan pemberian fasilitas pembiayaan tersebut juga harus didasarkan pada kepercayaan dimana pembiayaan yang telah diberikan (baik berupa uang, barang, maupun jasa) benar-benar akan diterima kembali dimasa yang akan datang. Selain itu kesepakatan juga harus dituangkan dalam suatu perjanjian sehingga masing-masing pihak akan terikat didalam hukum. Apabila ini telah dijalankan maka diharapkan pemberian pembiayaan untuk usaha nasabah tersebut merupakan keputusan yang tepat.
Proses yang dilakukan pada langkah pengawasan terhadap pelaksanaan pembiayaan agar data hasil dari evaluasi akurat maka pihak bank harus melakukan pemantauan secara berskala terhadap usaha yang dijalankan nasabah agar bank tidak mengalami kerugian. Berikut diuraikan proses dalam pengawasan pelaksanaan pembiayaan.
1.      Memantau mutasi rekening koran nasabah
2.      Memantau pelunasan angsuran
3.      Melakukan kunjungan rutin ke lokasi usaha nasabah untuk memantau langsung operasional usaha dan perkembangan usaha.
4.      Melakukan pemantauan terhadap perkembangan usaha sejenis melalui media massa ataupun media lainnya. [11]
Mutasi rekening koran nasabah harus selalu dipantau oleh bank, agar bank mengetahui kondisi keuangan usaha si nasabah. Nasabah diwajibkan menyampaikan laporan secara berskala baik itu laporan stok, piutang, realisasi usaha, laporan keuangan beserta lampirannya. Selain itu, pihak bank juga melakukan survei ke lokasi usaha yang tujuannya untuk membandingkan data laporan yang disampaikan nasabah dengan kondisi yang sesungguhnya di lapangan. Dengan adanya survei langsung ke lokasi, nasabah tidak akan memanipulasi angka laporan dan pihak bank dengan cepat dapat mendeteksi bila terdapat kejanggalan atau memburuknya keadaan usaha dan pembiayaan yang diberikan.
Hal-hal yang perlu disurvei langsung ke lapangan antara lain kebenaran usaha yang dijalankan nasabah,  keberadaan barang yang dijadikan agunan serta kecukupan nilainya dengan jumlah pembiayaan yang diberikan. Hal ini dirasa efektif untuk dijadikan bahan evaluasi terhadap usaha yang dijalankan nasabah. Di samping bank dapat mengetahui keadaan rekening koran nasabah juga kondisi real usaha yang dijalankan di lapangan. Jika dari hasil evaluasi ditemukan kejanggalan, maka bank dapat mengetahuinya sejak dini. Apabila masih bisa dilakukan  pembinaan kepada nasabah agar dapat memenuhi kewajibannya kepada bank maka kerjasama dapat dilanjutkan, akan tetapi jika memang tidak memungkinkan lagi maka bank dapat memutuskan kerjasama dan menutupi kerugian yang dialami dengan agunan yang diberikan nasabah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa evaluasi yang dilakukan pada tahap pelaksanaan pembiayaan adalah dengan membandingkan antara laporan yang diterima bank dengan kondisi real lapangan setelah dilakukan survei untuk memastikan kebenarannya sehingga dapat dilihat efektifitas pencapaian hasil dari usaha nasabah tersebut.
3.      Pengaruh Evaluasi Terhadap Kelancaran Pengembalian Pembiayaan
            Dalam menjalankan usaha tentu keuntungan menjadi suatu harapan yang diinginkan. Begitu juga halnya dalam pembiayaan musyarakah, baik dari pihak bank maupun nasabah sama-sama ingin mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu pihak bank merasa perlu melakukan evaluasi terhadap setiap pembiayaan yang diberikan, salah satunya yaitu pembiayaan musyarakah. Ini dilakukan agar pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dapat dikembalikan lagi sesuai dengan perjanjian yang disepakati di awal.
            Proses evaluasi yang dilakukan seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan suatu jalan yang ditempuh pihak bank agar tidak terjadi kemacetan dalam pengembalian pembiayaan. Namun, meskipun demikian kemacetan masih mungkin juga terjadi apabila ketentuan yang telah ditetapkan tidak dijalankan dengan semestinya.
            Kemacetan pembiayaan tidak hanya terjadi karena keterlambatan nasabah dalam membayar, tetapi juga bisa disebabkan karena pihak bank yang tidak jeli dan teliti dalam memeriksa hasil laporan atau kelalaian dalam melakukan survei terhadap usaha nasabah. Evaluasi yang dilakukan pihak bank tidak membuahkan hasil yang bagus. Ini akan akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran pengembalian pembiayaan oleh nasabah. Bank mungkin saja akan mengalami kerugian yang besar karena pembiayaan yang telah diberikan untuk membiayai usaha nasabah bukannya memberikan keuntungan melainkan kerugian. Tidak menutup kemungkinan juga bank akan mngalami kepailitan. Ini semua terjadi karena proses evaluasi yang dilakukan tidak dengan prosedur yang semestinya. Berikut akan dijelaskan beberapa penyebab terjadinya kemacetan pembiayaan.

1.    Pihak mudharib (nasabah peminjam)
Dari pihak mudharib, kemacetan bisa disebabkan karena terjadinya perubahan manajemen pengelolaan, pergantian pengurus, perselisihan intern dari pihak mudharib, ataupun juga karena ketidakmampuan menangani usaha yang dijalankan. Selain itu juga bisa disebabkan karena operasional usaha yang semakin memburuk baik karena kehilangan pelanggan atau partner kerja, ataupun juga karena i’tikad kurang baik dari nasabah yang sengaja ingin melakukan penipuan. [12]
2.        Pihak bank
Ketidakmampuan sumber daya manusia yang bekerja pada bank juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah karena tidak mempunyai pengetahuan serta keterampilan dalam mengelola pembiayaan. Kelemahan bank dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, serta menyadari pentingnya monitoring sehingga melakukan kelalaian, ini juga faktor pemicu terjadinya kemacetan pembiayaan. Selain itu juga karena i’tikad yang kurang baik dari penjabat bank yang melakukan kolusi dengan pihak mudharib untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

3.    Pihak lainnya
Dalam hal ini kemacetan atau pembiayaan bermasalah terjadi bukan karena keinginan baik dari pihak mudharib maupun pihak bank, akan tetapi kemacetan terjadi disebabkan force majeur, yakni adanya peristiwa yang tidak terduga yang menimbulkan risiko kemacetan. Keadaan ini terjadi akibat adanya bencana alam, kebekaran, perampokan, dan lainnya. Selain itu juga kondisi perekonomian negara yang tidak mendukung perkembangan iklim usaha, merupakan bagian dari faktor pemicu terjadinya kemacetan pembiayaan misalnya krisis moneter.[13]
            Apabila pembiayaan yang diberikan bank telah mengalami kemacetan atau bermasalah maka bank harus segera melakukan penyelesaiannya dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan cara evaluasi. Cara ini ditempuh untuk mencari tahu asal penyebab yang menjadi akar permasalahan tersebut.
            Setelah didapatkan hasil dari evaluasi ternyata didapatkan indikasi adanya masalah dalam pelaksanaan kegiatan nasabah, maka ditempuh beberapa langkah untuk memperbaiki dan memecahkan masalah agar meminimalisir terjadinya kerugian yang semakin besar. Langkah-langkah yang ditempuh tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Rescheduling yaitu suatu tindakan yang diambil dengan cara memperpanjang jangka waktu pembiayaan atau angsuran.
2.    Reconditioning yaitu bank mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti:
a.       Kapitalisasi bagi hasil, yaitu bagi hasil dijadikan hutang pokok.
b.      Penundaan pembayaran bagi hasil sampai waktu tertentu. Disini yang ditunda hanyalah bagi hasilnya saja, sedangkan pokok pinjamannya harus tetap dibayar seperti biasa.
c.       Penurunan suku bunga untuk meringankan nasabah.
d.      Pembebasan bunga diberikan kepada nasabah dengan pertimbangan bahwa ia tidak akan mampu lagi mebayar pembiayaan tersebut.
3.    Retructuring yaitu tindakan bank kepada nasabah dengan cara menambah modal nasabah dengan pertimbangan nasabah memang membutuhkan tambahan dana dan usaha yang dibiayai memang masih layak. Tindakan ini meliputi penambahan jumlah pembiayaan, dan penambahan equity (menyetor uang tunai dan tambahan dari pemilik).
4.    Kombinasi yaitu mengumpulkan tiga langkah di atas dengan melakukan rescheduling, retructuring, dan reconditioning. Misalnya, kombinasi antara retructuring dengan reconditioning atau rescheduling dengan retructuring.
5.    Penyitaan jaminan merupakan jalan terakhir apabila nasabah sudah benar-benar tidak ounya i’tikad baik ataupuntidak mampu lagi untuk membayar semua hutang-hutangnya. [14]
Selain itu pembiayaan bermasalah juga dapat dihapuskan dengan cara penghapusbukuan yang dilakukan bank terhadap debitur karena adanya kondisi yang menyebabkan pembiayaan tidak dapat diselesaikan. Direksi bank memiliki wewenang menghapusbukukan pembiayaan bermasalah dan selanjutnya harus mempertanggungjawabkan ke rapat umum pemegang saham (dalam hal ini adalah Menteri Keuangan RI). [15]
Meskipun demikian hal di atas masih belum tentu terjadi jika evaluasi yang dijalankan oleh pihak bank sesuai dengan prosedur yang diterapkan. Evaluasi yang tepat guna dapat memberikan pengaruh atau flashback  yang baik terhadap kelancaran pengembalian pembiayaan
Evaluasi akhir pembiayaan dilakukan dengan membandingkan dan menyesuaikan data yang diterima oleh bank dengan kondisi real dilapangan. Hasil dari monitoring ini dapat menentukan langkah-langkah yang diambil kedepannya. Jika ditemukan kesalahan maka dapat diatasi sedini mungkin dan ini dapat meminimalisir terjadinya kemacetan pembiayaan sehingga pengembalian pembiayaan dapat terus lancar.
Apabila evaluasi pembiayaan yang dilakukan dapat meminimalisir pembiayaan bermasalah dalam artian pengembalaian pembiayaan yang dilakukan oleh nasabah tidak macet maka akan berdampak sangat positif bagi bank. Diantara dampak atau pengaruh positif yang didapatkan dari kelancaran pengembalian pembiayaan adalah sebagai berikut:
1.      Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha mudharib meningkat dan pengembalian modal kepada bank juga lancar.
2.      Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow usaha mudharib sehingga tidak memberatkan mudharib.
3.      Bagi hasil yang diberikan kepada masing-masing partner sesuai kesepakatan di awal, sedangkan kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi modal yang diberikan.
4.      Kepercayaan serta keyakinan dari para nasabah, ini merupakan modal besar bagi sebuah bank untuk dapat terus maju dan berkembang.[16]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi mempunyai pengaruh terhadap kelancaran pengembalian pembiayaan. Pengaruh tersebut bisa dalam hal positif, bisa juga bersifat negatif. Jika evaluasi yang dilakukan sejalan dengan prosedur yang diterapkan serta tidak ada kolusi baik dari pihak bank maupun nasabah serta kedua pihak sama-sama mempunyai i’tikad yang baik maka ppengembalian pembiayaan dari nasabah kepada bank dapat berjalan dengan lancar serta memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Akan tetapi jika evaluasi yang dilakukan penuh dengan kelalaian baik dari pihak bank maupun nasabah maka dengan sendirinya pembiayaan akan tersendat dan mengalami kemacetan.
Kedua hal tersebut di atas terlepas dari konteks keadaan yang memaksa. Jika terjadi force mejeur, sekalipun kedua belah pihak mempunyai niat dan i’tikad yang baik untuk melakukan pelunasan tetapi terjadi keadaan diluar kesanggupan nasabah atau pihak bank seperti harga bahan baku melonjak tinggi, bencana alam, ataupun kecelakaan, sekalipun evaluasi telah dilakukan dengan baik maka kemacetan pembiayaan tidak dapat terhindari


[1]  Mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Syariah Muamalah wal Iqtishad IAIN Ar Raniry Banda Aceh.
[2] Wikipedia , Defenisi Evaluasi, 2010. Diakses pada tanggal 16 Maret 2011 pada situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Evaluasi

[3] Yacob Ibrahim, Studi Kelayakan Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 164.
[4] Umar Husein. Evaluasi Kinerja Perusahaan. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 99.
[5] Didin Hafidhuddin, Manajemen Syariah Dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 86.

[6] Wikipedia, Defenisi Evaluasi dan Monitoring, 2010. Diakses pada tanggal 16 Maret 2011 pada situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Monitoring.
[7] Ade Artesa, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Jakarta: Indeks, 2009),  hlm. 180.

[8] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Perbankan Syariah,  (Jakarta: Zikrul Hakim, 2003),  hlm. 147.
[9] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.104.
[10]  Abdullah Saed, Bank Islam dan Bunga, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 125
[11] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis..., hlm. 154.

[12] Ade Artesa, Bank dan Lembaga ..., hlm. 182.
[13] Ibid., hlm 183
[14] Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2000),  hlm 102.

[15] Ade Artesa, Bank dan Lembaga Keungan..., hlm 183.

[16] Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar