Pages

Senin, 25 April 2011

KONSEP AKAD RAHN DAN IJARAH DALAM FIQH MUAMALAH

1.1. Rahn dalam Perspektif Fiqh Muamalah
 1.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum Rahn
Dalam bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn yang secara etimologi mengandung pengertian menggadaikan, merungguhkan.[1] Namun demikian, ada juga pengertian lain dari kata rahn yang menurut istilah bahasa (lughah) berarti tetap, kekal dan jaminan.[2] Dalam definisi lainnya, rahn atau gadai menurut bahasa disebut dengan al-tsubut (الثبوت) dan al-habs (الحبس) yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan rahn adalah terkurung atau terjerat.[3]
Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:
a.       Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin    diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[4]
b.      Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang atau untuk mengambil sebagian uang itu.[5]
c.       Akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.[6]
d.      Sesuatu yang diletakkan pada seseorang yaitu sesuatu barang yang diganti dengan barang yang lain.[7]
e.       Menjadikan zat suatu benda jaminan hutang.[8]
f.       Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang.
g.      Suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[9]
h.      Menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[10]
Dalam Islam, rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa. Rahn hukumnya jaiz (boleh) menurut Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’.[11] Adapun dasar hukum pegadaian syari’ah ini yaitu:
1.         Al-Qur’an
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته وليتق الله ربه... {البقرة: ۲۸۳}
Artinya:   Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang menghutangkan). Akan tetapi jika sebagian  kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang)iya dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya... (QS. Al-Baqarah: 283)

Dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa apabila sesorang berada dalam keadaan bepergian dan hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu transaksi hutang-piutang, kemudian ia tidak mendapatkan seseorang yang adil dan pandai dalam hal penulisan transaksi hutang, maka hendaklah meminta kepadanya suatu bukti lain sebagai bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan menyerahkan sesuatu berupa benda atau barang yang berharga sebagai jaminan yang dapat dipegang atau hutang.[12] Hal ini dipandang perlu karena untuk menjaga agar kedua belah pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul rasa saling mempercayai antara satu sama lainnya, sehingga dalam transaksi gadai tersebut tidak menimbulkan kecurigaan yang kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak yang bersangkutan.
Jaminan yang ada di tangan pihak piutang adalah amanah dan si piutang tidak memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang yang berhutang pada hakikatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan pinjaman, maka ia harus membayar hutangnya itu tepat pada waktunya, agar orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berhutang sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berhutang harus ingat kembali kepada ketentuan dasar yang diatur dalam hukum Islam dan tidak menzalimi orang lain dengan memakan hartanya secara batil.[13]
2.         Hadits
عن عائشة رضى الله عنها قال: ان رسول الله صلى الله عليه وسلم اشترى من يهودى طعام  ورهنه  درعامن حديد.{رواه  البخارى}[14]

Artinya: Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau. (HR. Bukhari)
3.      Ijma’
Para ulama telah bersepakat bahwa rahn/gadai itu boleh dan mereka tidak pernah mempermasalahkan kebolehannya, demikian pula dengan landasan hukumnya.[15] Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[16]
1.1.2.      Rukun dan Syarat-syarat Rahn
a.       Rukun Rahn
Sebelum melakukan transaksi gadai atau rahn, maka harus diketahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk ke dalam rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn ada empat yaitu:
1)      Shigat (lafal ijab dan qabul).
2)      Orang yang berakad (al-rahin dan al-murtahin).
3)      Harta yang dijadikan agunan (al-marhun).
4)      Hutang (ar-marhun bih). [17]
b.      Syarat-syarat Rahn
Menurut jumhur ulama, ada beberapa syarat sahnya akad rahn yaitu berakal, baligh (dewasa), wujudnya marhun yang dipegang sebagai jaminan oleh murtahin.[18] Di samping syarat-syarat sah rahn, juga terdapat syarat-syarat lain dari rahn atau gadai yang harus dipenuhi secara hukum fiqh, di antaranya yaitu:
1)      Cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum diwajibkan kepada orang yang telah baligh dan berakal.
2)      Syarat sighat (lafal), yaitu ucapan/lafal yang dibarengi dengan syarat tertentu. Misalnya, orang yang berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan hutang belum terbayar, maka rahn itu di perpanjang selama satu bulan atau memberi hutang serta mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Untuk sahnya rahn, pihak pemberi hutang harus disaksikan oleh dua orang saksi. Apabila agunan dijual ketika rahn jatuh tempo dan orang yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya, maka syarat tersebut batal.[19]
3)      Syarat marhun bih (hutang) yaitu: pertama, merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat berhutang. Kedua, hutang itu boleh dilunasi dengan agunan dan ketiga, hutang itu jelas dan tertentu.[20]
4)      Beberapa hal yang menjadi syarat marhun (barang yang dijadikan agunan), di antaranya, yaitu: pertama, barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan hutang. Kedua, barang jaminan itu dinilai harta dan boleh dimanfaatkan. Sebagai contoh, khamar tidak boleh dijadikan barang jaminan dan khamar tidak termasuk ke dalam harta bernilai, juga tidak bermanfaat dalam Islam, maka khamar tidak sah bila dijadikan barang jaminan. Ketiga, barang jaminan itu jelas. Keempat, agunan itu milik sah orang yang berhutang. Kelima, barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain. Keenam, barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat dan ketujuh, barang jaminan itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.[21] Apabila barang yang digadaikan itu secara hukum telah berada di tangan pemberi hutang dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam hutang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah yang diberikan, tetapi cukup surat jaminan tanah dan surat-surat rumah yang dipegang oleh pemberi hutang.
Syarat terakhir yang merupakan kesempurnaan rahn yang disebut sebagai qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang). Syarat ini menjadi sangat penting sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 283 yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, hutang tersebut terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila hutang tidak dapat dilunasi, maka barang jaminan dapat dijual dan uang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya (rahin).
Mengenai al-qabdh juga terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: pertama, al-qabdh harus ada izin dari orang yang menggadaikan (rahin). Kedua, pihak yang melakukan akad rahn cakap bertindak hukum ketika terjadinya al-qabdh.[22] Syarat tersebut sesuai dengan tuntutan surat al-Baqarah ayat 283 sebagaimana telah disebutkan di atas.
Dalam pemahaman mazhab Syafi’i, ketetapan mengenai syarat-syarat sah gadai adalah sebagai berikut:
a.       Syarat luzum (tetap), yaitu syarat serah terima barang gadaian. Jadi bila barang gadaian itu belum diterima oleh penerima gadai, maka bagi pemberi gadai masih berhak menarik kembali perjanjiannya.
b.      Syarat sah gadai yaitu:
1.      Syarat yang berhubungan dengan akad. Hal ini hendaknya jangan dikaitkan dengan syarat yang tidak sesuai dengan akad itu sendiri, karena yang demikian itu akan membatalkan akad gadai.
2.      Syarat yang berhubungan dengan para pihak, misalnya kedua belah pihak sudah cakap dalam bertindak, sampai umur, berakal sehat dan tidak dalam pengampuan.
3.      Syarat yang berhubungan dengan barang gadai adalah:
a)      Barang gadaian itu haru hak milik sempurna.
b)      Barang gadaian itu harus benda yang tahan lama.
c)      Barang gadaian itu harus benda yang suci.
d)     Barang gadaian itu harus bermanfaat dan bernilai menurut pandangan syara’.
4.      Syarat yang berhubungan dengan marhun bih yaitu:
a)      Gadai itu harus disebabkan hutang yang pasti.
b)      Hutangnya sudah tetap seketika atau masa yang akan datang.
c)      Hutang itu sudah diketahui benda, jumlah dan sifat-sifatnya.[23]
Berdasarkan dari beberapa uraian yang telah disebutkan tentang syarat sahnya gadai, maka dapatlah dipahami bahwa syarat merupakan suatu yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan perjanjian gadai, sehingga perjanjian gadai tersebut sah menurut ketentuan syara’.
1.1.3.      Pemeliharaan Objek Gadai dan Biayanya Menurut para Fuqaha
Selama barang gadai ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukannya hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai. Sebagai pemegang amanat, murtahin berkewajiban memelihara kemaslahatan barang gadai yang diterimanya sesuai dengan keadaan barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat diadakan persetujuan penyimpanannya. Kemudian barulah persetujuan diadakan setelah perjanjian gadai terjadi.[24]
Mengenai biaya perawatan atau pemeliharaan barang gadai, pada prinsipnya fuqaha sepakat bahwasanya segala risiko atau biaya yang timbul untuk pemeliharaan menjadi tanggung jawab pemilik barang, yaitu rahin.[25] Karenanya setiap manfaat atau keuntungan yang ditimbulkannya menjadi hak pemilik barang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW berikut:
عن ابى هريرة رضى الله عنه ان النبى صلى الله عليه وسلم قال: ﻻﻳﻐﻟﻖ اﻟﺭﻫﻦ ﻣﻦ ﺻﺍﺣﺑﻪ ﺍلذﻯ ﺭﻫﻧﻪ ﻟﻪ ﻏﻨﻣﻪ  ﻭﻋﻟﻴﻪ ﻏﺭﻣﻪ.{ﺭﻭﺍﮦ ﺍﻟﺸﺍﻓﻌﻰﻭالدﺍﺭﻗﻄﻨﻰ}

Artinya:   Gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala nya (kerusakan dan biaya)”. (HR. Asy-Syafi’i dan Daruquthny).[26]
Bagaimanapun mereka tidak sependapat mengenai jenis perbelanjaan yang mesti ditanggung oleh rahin. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tagihan pembelanjaan yang mesti ditanggung oleh rahin, sebagai pemilik barang gadai dan oleh murtahin sebagai orang yang bertanggungjawab menjaganya adalah sebagai berikut: segala perbelanjaan yang diperlukan untuk kepentingan barang gadai hendaklah ditanggung oleh rahin, karena barang tersebut hak miliknya dan segala perbelanjaan untuk memelihara barang gadaian hendaklah ditanggung oleh pegadai (murtahin), karena ia yang berhak memegangnya maka ia terikat dengan perkara-perkara yang berkaitan.[27]
Dalam hal ini penggadai bertanggung jawab untuk menyediakan atau membayar biaya makanan, minuman dan penggembala jika barang jaminannya berupa binatang ternak dan juga bertanggungjawab atau membayar biaya penyiraman, pembersihan, perparitan dan cukai jika barang jaminan berupa tanah karena semua itu merupakan biaya dan perbelanjaan harta yang mesti ditanggung oleh pemilik barang.
Pegadai juga bertanggung jawab menyediakan atau membayarkan biaya upah menjaga dan tempat pemeliharaan, seperti sewa kandang, sewa tempat simpanan karena sewa pemeliharaan barang gadaian adalah tanggung jawabnya. Berdasarkan tanggung jawab tersebut, pegadai tidak ada hak untuk mengenakan syarat dalam aqad gadaian bayaran upah mesti kepadanya untuk memelihara barang gadaian, karena tanggung jawab tersebut adalah kewajibannya. Tidak ada bayaran upah dikenakan pada perkara yang diwajibkan. Ulama Maliki, Syafi’i dan Hanbali, (jumhur) berpendapat bahwa semua perbelanjaan dan bayaran perkara-perkara yang berkaitan barang gadaian mestilah ditanggung oleh penggadai (rahin).[28]

1.1.4.      Pemanfaatan Objek Gadai Menurut para Fuqaha
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan hutang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka menurut para fuqaha barang gadai atau jaminan boleh dimanfaatkan. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barangnya itu. Tetapi sebagai pemilik marhun (rahin), apabila barang gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi milik rahin.[29]
Para ulama fiqh juga sepakat bahwa barang yang dijadikan jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali. Sebab tindakan tersebut termasuk menyia-nyiakan harta yang dilarang oleh Rasul SAW. Tetapi mengenai boleh tidaknya pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan meskipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat para ulama fiqh.
Jumhur ulama fiqh selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan. Apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, maka barulah ia boleh menjual atau menghargai barang tersebut untuk melunasi piutangnya.[30]
Jika pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang tersebut selama berada di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkan. Karena dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkannya. Namun sebagian ulama Hanafiyah lainnya, ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa meskipun pemilik barang mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan tersebut merupakan riba yang dilarang syara’ sekalipun diizinkan dan diridai pemilik barang. Bahkan menurut mereka, ridha dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam. Selain itu dalam masalah riba, izin dan ridha tidak berlaku.[31] Berkaitan dengan hal di atas, Rasul SAW bersabda sebagai berikut:
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال رسول صلى الله عليه وسلم: ﺍﻟﻆﻬﺭ  ﻳﺭكب بنفقته ﺍﺫﺍ ﻛﺍﻥ ﻣﺭﻫﻮﻧﺍولبن الدر ﻳﺸﺭﺏ ﺑﻨﻔﻘﺘﻪ ﺍﺫﺍ ﻛﺍﻥ ﻣﺭﻫﻮنا ﻭﻋﻟﻰ الذى ﻳﺭكب ﻭﻳﺸﺭﺏ النفقة. {ﺭﻮﺍﻩ البخارى}[32]

Artinya:   Dari Abu Hurairah r.a., bersabda Rasul SAW: binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan. (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, diusahakan agar dalam perjanjian gadai itu dicantumkan ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama.[33] Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari tidak berfungsinya harta benda atau mubazir.

1.2.      Ijarah dalam Perspektif Fiqh Muamalah
1.2.1.      Pengertian dan Dasar Hukum Ijarah
Dalam fiqh muamalah, sewa-menyewa disebut dengan kata ijarah. Ijarah berasal dari kata "al-ajru" yang secara bahasa berarti "al-'iwadhu" yaitu ganti. Sedangkan menurut istilah syara', ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.[34] Lafal ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Dalam arti yang luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.[35]
Selain pengertian di atas, para ulama mazhab juga memberikan definisi terhadap ijarah. Kelompok Hanafiyah mengartikan ijarah dengan menggunakan akad yang berisi pemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam jumlah yang disepakati.[36] Definisi lain menurut ulama Hanafiyah yaitu transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.[37] Ulama Syafi'iyah mendefinisikan ijarah sebagai transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.[38] Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[39]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa ijarah adalah pengambilan manfaat suatu benda, dalam hal bendanya tidak berkurang sama sekali. Dengan perkataan lain, dalam praktik sewa-menyewa yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan, sedangkan kepemilikan tetap pada pemilik barang. Sebagai imbalan pengambilan manfaat dari suatu benda, penyewa berkewajiban memberikan bayaran. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ijarah merupakan suatu kesepakatan yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang yang melaksanakan kesepakatan yang tertentu dan mengikat, yaitu dibuat oleh kedua belah pihak untuk dapat menimbulkan hak serta kewajiban antara keduanya.
Dalam hukum Islam, orang yang menyewakan diistilahkan dengan "mu’ajjir", sedangkan penyewa disebut "musta’jir" dan benda yang disewakan disebut "ma’jur". Imbalan atas pemakaian manfaat disebut "ajran" atau "ujrah".[40] Perjanjian sewa-menyewa dilakukan sebagaimana perjanjian konsensual lainnya, yaitu setelah berlangsung akad, maka para pihak saling serah terima. Pihak yang menyewakan (mu’ajjir) berkewajiban menyerahkan barang (ma’jur) kepada penyewa (musta’jir) dan pihak penyewa berkewajiban memberikan uang sewa (ujrah).
Adapun dasar hukum dari ijarah terdapat dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 233 Allah SWT berfirman:
...وإن أردتم أن تسترضعوا اولادكم فلا جناح عليكم إذا سلمتم ما ءاتيتم بالمعروف واتقوا الله واعلموا أن الله بما تعملون بصير. {البقرة: 233}

Artinya:   ...Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Baqarah: 233)
Dengan demikian surat al-Baqarah ayat 233 merupakan dasar yang dapat dijadikan landasan hukum dalam persoalan sewa-menyewa. Sebab pada ayat tersebut diterangkan bahwa memakai jasa juga merupakan suatu bentuk sewa-menyewa, oleh karena itu harus diberikan upah atau pembayarannya sebagai ganti dari sewa terhadap jasa tersebut. [41]
Dalam periwayatan hadits-hadits tentang al-ijarah, sering kali terkait dengan beberapa aspek hukum muamalah lainnya seperti jual beli (buyu'), musyarakah dan lain sebagainya. Karena hal tersebut berkenaan dengan hukum perjanjian (akad). Unsur yang terpenting untuk diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum yaitu punya kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk (berakal/tidak gila). Dengan demikian terjadi perjanjian sewa-menyewa yang kontras dan transparan dan tidak ada saling merugikan di antara kedua belah pihak.
Adapun dasar hukum dari hadits adalah:
عن عائشة رضى الله عنها قالت: إستأجر رسول الله صلى الله عليه وسلم و أبو بكر رجلا من بنى الديل خريتا، وهو على دين كفارقريش فدفعا لله راحلتيهما ووأعداه  غار ثور بعد ثلاثة ليال براحلتيهما.{رواه البخارى}[42]

Artinya:   Dari Aisyah r.a, beliau mengabarkan: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang ahli dari Bani ad-Dail dan orang itu memeluk agama kafir Quraisy, kemudian beliau membayarnya dengan kendaraannya kepada orang tersebut dan menjanjikannya di Gua Tsur sesudah tiga malam dengan kendaraan keduanya (HR. Bukhari).

Pada hadits di atas dijelaskan bahwa Rasul SAW sendiri telah melakukan praktik ijarah, yaitu dengan menyewa seseorang guna dipakai jasanya menunjukkan jalan ke tempat yang dituju dan beliau membayar orang yang disewanya tersebut dengan memberikan kendaraannya. Dalam hal ini, Rasul tidak membeda-bedakan dari segi agama terhadap orang yang disewa atau dipakai jasanya.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
عن سعدبن ابى وقاص ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:كنا نكرى الأرض بما على السواقى من الزرع فنهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك وامرنا ان نكريها بذهب أو ورق. {رواه  أحمد, ابو  داود و النسائى}[43]

Artinya: Dari Sa’ad bin Abi Waqqash sesungguhnya Rasul SAW bersabda: dahulu kami menyewa tanah dengan (jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas dan perak. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasa'i).
Hadits tersebut menerangkan bahwa pada zaman dahulu praktik sewa-menyewa tanah pembayarannya dilakukan dengan mengambil dari hasil tanaman yang ditanam di tanah yang disewa tersebut. Oleh Rasul SAW, cara seperti itu dilarang dan beliau memerintahkan agar membayarkan upah sewa tanah tersebut dengan uang emas dan perak.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
عن ابى هريرة  ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه .{رواه  ابن ماجه}[44]
Artinya: Dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasul SAW bersabda: berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah).
Hadits di atas menjelaskan bahwa, dalam persoalan sewa-menyewa, terutama yang memakai jasa manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan, upah atau pembayaran harus segera diberikan sebelum keringatnya kering. Maksudnya, pemberian upah harus segera dan langsung, tidak boleh ditunda-tunda pembayarannya.
Dari semua ayat dan hadits di atas, Allah menegaskan kepada manusia bahwa apabila seseorang telah melaksanakan kewajiban, maka mereka berhak atas imbalan dari pekerjaan yang telah dilakukan secara halal sesuai dengan perjanjian yang telah mereka perjanjikan. Allah juga menegaskan bahwa sewa-menyewa dibolehkan dalam ketentuan Islam, karena antara kedua belah pihak yang melaksanakan perjanjian (akad) sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang harus mereka terima.
Dengan demikian, dalam ijarah pihak yang satu menyerahkan barang untuk dipergunakan oleh pihak yang lainnya dalam jangka waktu tertentu dan pihak yang lain mempunyai keharusan untuk membayar harga sewa yang telah mereka sepakati bersama. Dalam hal ini, ijarah benar-benar merupakan suatu perbuatan yang sama-sama menguntungkan antara kedua pihak yang melakukan perjanjian (akad).
Sayyid Sabiq menambahkan landasan ijma' sebagai dasar hukum berlakunya sewa-menyewa dalam muamalah Islam. Menurutnya, dalam hal disyari'atkan ijarah, semua umat bersepakat dan tidak seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ini.[45] Para ulama menyepakati kebolehan sewa-menyewa karena terdapat manfaat dan kemaslahatan yang sangat besar bagi umat manusia.

1.2.2.      Rukun dan Syarat-syarat Ijarah
Ijarah merupakan bagian dari muamalah yang sering diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian muamalah adalah hubungan antara sesama manusia, maksudnya di sini adalah hubungan antara penyewa dengan orang yang menyewakan harta benda dan lainnya. Di mana dalam kehidupan, manusia tidak dapat terlepas dari manusia lainnya untuk saling melengkapi dan membantu serta bekerja sama dalam suatu usaha.[46] Oleh sebab itu, muamalah menyangkut hubungan sesama manusia dan kemaslahatannya, keamanan serta ketenteraman, maka pekerjaan ini harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas oleh penyewa dan yang menyewakan.
Rukun merupakan hal yang sangat esensial artinya bila rukun tidak terpenuhi atau salah satu di antaranya tidak sempurna (cacat), maka suatu perjanjian tidak sah (batal).
Para ulama telah sepakat bahwa yang menjadi rukun ijarah adalah:
1.      Aqid (pihak yang melakukan perjanjian atau orang yang berakad).
2.      Ma'qud 'alaihi (objek perjanjian atau sewa/imbalan).
3.      Manfaat.
4.      Sighat.[47]
Aqid adalah para pihak yang melakukan perjanjian, yaitu pihak yang menyewakan atau pemilik barang sewaan yang disebut "mu’ajjir" dan pihak penyewa yang disebut "musta’jir" yaitu pihak yang mengambil manfaat dari suatu benda.[48]
Para pihak yang mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap hukum artinya mampu. Dengan kata lain, para pihak hendaklah yang berakal dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak-anak yang belum dapat membedakan, maka akad itu tidak sah. Mazhab Imam Syafi’i dan Hanbali bahkan menambahkan satu syarat lagi yaitu, baligh (sampai umur dewasa). Menurut mereka, akad anak kecil sekalipun sudah dapat membedakan, dinyatakan tidak sah.[49]
Ma'qud 'alaihi adalah barang yang dijadikan objek sewa, berupa barang tetap dan barang bergerak yang merupakan milik sah pihak mu’ajjir. Kriteria barang yang boleh disewakan adalah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara agama dan keadaannya tetap utuh selama masa persewaan.[50]
Rukun ijarah yang terakhir adalah sighat. Sighat terdiri dari dua yaitu ijab dan qabul. Ijab merupakan pernyataan dari pihak yang menyewakan dan qabul adalah pernyataan penerimaan dari penyewa. Ijab dan qabul boleh dilakukan secara sharih (jelas) dan boleh pula secara kiasan (kinayah).[51]
Dewasa ini perjanjian ijarah lazimnya dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis, oleh karenanya ijab dan qabul tidak lagi diucapkan, tetapi tertuang dalam surat perjanjian. Tanda tangan dalam surat perjanjian berfungsi sebagai ijab dan qabul dalam bentuk kiasan (kinayah).[52]
Di samping rukun yang telah disebutkan di atas, ijarah juga mempunyai syarat-syarat tertentu, yang apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ijarah menjadi tidak sah. Syarat-syarat tersebut adalah:
a.       Adanya kerelaan para pihak dalam melakukan perjanjian sewa-menyewa
Maksudnya bila di dalam perjanjian sewa-menyewa itu terdapat unsur pemaksaan, maka sewa-menyewa itu tidak sah. Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa' ayat 29:
ياأيها الذين ءامنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ...{النساء: 29}

Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu ... (QS. An-Nisa’: 29).
Berdasarkan ayat ini dapat dijelaskan bahwa ijarah yang dilakukan secara paksaan ataupun dengan jalan yang batil, maka akad ijarah tersebut tidak sah, kecuali apabila dilakukannya secara suka sama suka di antara kedua belah pihak.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa ijarah tidak sah menurut syari'at kecuali bila disertai dengan kata-kata yang menunjukkan persetujuan. Sedangkan Imam Malik, Hanafi dan Imam Ahmad cukup dengan serah terima barang yang bersangkutan karena sudah menandakan persetujuan dan suka sama suka.[53]
b.      Segala hal yang berhubungan dengan objek sewa-menyewa harus jelas dan transparan
Layaknya suatu perjanjian, para pihak yang terlihat dalam perjanjian sewa-menyewa haruslah merundingkan segala sesuatu tentang objek sewa, sehingga dapat tercapai suatu kesepakatan. Mengenai objek haruslah jelas barangnya (jenis, sifat serta kadar) dan hendaknya si penyewa menyaksikan dan memilih sendiri barang yang hendak disewanya. Di samping itu, harus jelas tentang masa sewa dan saat lahirnya kesepakatan sampai saat berakhirnya. Besarnya uang sewa sebagai imbalan pengambilan manfaat barang sewaan harus jelas diketahui oleh kedua belah pihak artinya bukan kesepakatan di satu pihak.
Di samping hal yang tersebut di atas tata cara pembayaran uang sewa haruslah jelas dan harus berdasarkan kesepakatan kedua pihak.
c.       Hendaklah barang yang menjadi objek transaksi (akad) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, realita dan syara'
Sebagian di antara para ulama ahli fiqh ada yang membebankan persyaratan ini. Menyewakan barang yang tidak dapat dibagi kecuali dalam keadaan lengkap (seperti kendaraan) hukumnya tidak boleh, sebab manfaat kegunaannya tidak dapat ditentukan. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Abu Hanifah. Akan tetapi jumhur ulama (mayoritas para ulama ahli fiqh) menyatakan bahwa menyewakan barang yang tidak dapat dibagi dalam keadaan utuh secara mutlak diperbolehkan, apakah dari kelengkapan aslinya atau bukan. Sebab barang dalam keadaan tidak lengkap itu termasuk juga dapat dimanfaatkan dan penyerahan dilakukan dengan mempraktikkan atau dengan cara mempersiapkannya untuk kegunaan tertentu, sebagaimana hal ini juga diperbolehkan dalam masalah jual beli. Transaksi sewa-menyewa itu sendiri adalah salah satu di antara kedua jenis transaksi jual beli dan apabila manfaat barang tersebut masih belum jelas kegunaannya, maka transaksi sewa-menyewa tidak sah atau batal.
d.      Dapat diserahkan sesuatu yang disewakan berikut kegunaan (manfaat)
Tidak sah penyewaan binatang buron dan tidak sah pula binatang yang lumpuh, karena tidak dapat diserahkan. Begitu juga tanah pertanian yang tandus dan binatang untuk pengangkutan yang lumpuh, karena tidak mendatangkan kegunaan yang menjadi objek dari akad itu.
e.       Bahwa manfaat adalah hal yang mubah, bukan diharamkan
Tidak sah sewa-menyewa dalam hal maksiat, karena maksiat wajib ditinggalkan. Orang yang menyewa seseorang untuk membunuh seseorang atau menyewakan rumah kepada orang yang menjual khamar atau digunakan untuk tempat main judi atau dijadikan gereja, maka ia termasuk ijarah fasid (rusak). Demikian juga memberi upah kepada tukang ramal atau tukang hitung-hitung dan semua pemberian dalam rangka peramalan dan berhitung-hitungan, karena upah yang ia berikan adalah sebagai pengganti dari hal yang diharamkan dan termasuk dalam kategori memakan uang manusia dengan batil. Tidak sah pula ijarah puasa dan shalat, karena ini termasuk fardhu 'ain yang wajib dikerjakan oleh orang yang terkena kewajiban.[54]
Dalam buku Fath al-Qarib, dijelaskan bahwa untuk sahnya ijarah sebagai berikut: [55]
1.      Untuk sahnya ijarah bahwa setiap benda dapat diambil manfaat serta tahan keadaannya tetapi jika tidak kuat, maka tidak sah sewa-menyewa.
2.      Harus adanya ucapan ijab kabul antara kedua belah pihak, lafadznya yaitu: "Saya menyewakan rumah ini kepadamu" dan jawabannya: "saya terima rumah ini".
Namun untuk tercapainya akad-akad yang sah dan mengikat bagi mereka yang mengadakan akad tersebut secara keseluruhan dapat dilihat berikut:
1)      Tidak menyalahi hukum syariat
Hal ini adalah suatu akad (perjanjian) yang telah disepakati oleh para pihak dan bukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan syariat. Sebab perjanjian (akad) yang bertentangan dengan hukum syariat bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian (akad) yang bertentangan dengan ketentuan hukum syariat, maka perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum.
2)      Harus sama ridha dan ada pilihan
Maksudnya apa yang telah diakadkan para pihak haruslah didasarkan oleh kesepakatan para pihak, yaitu masing-masing pihak harus ridha akan isi perjanjian tersebut atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak.
Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya, dengan sendirinya perjanjian (akad) yang diadakan tidak didasarkan kepada kehendak bebas para pihak yang mengadakan perjanjian.[56]
3)      Harus jelas dan gamblang
Maksudnya apa yang diperjanjikan para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian (akad), sehingga tidak mengakibatkan kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.
Dengan demikian semua perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak harus sama dengan apa yang telah mereka perjanjikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 34:
...وأوفوا بالعهد إن العهد كان مسئولا.{الإسراء: 34}

Artinya:  ...Dan tepatilah janji sesungguhnya janji itu diminta pertanggungjawaban. (QS. Al-Isra: 34).
Demikianlah pembahasan mengenai rukun dan syarat ijarah sebagaimana telah diatur menurut ketentuan hukum Islam.

1.2.3.      Macam-macam Ijarah
Dilihat dari segi objeknya, para ulama fiqh membagi akad ijarah kepada dua macam:[57]
1.      Ijarah bil 'amal, yaitu sewa-menyewa yang bersifat pekerjaan/jasa. Ijarah yang bersifat pekerjaan/jasa ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut para ulama fiqh, ijarah jenis ini hukumnya dibolehkan apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik dan tukang sepatu. Ijarah seperti ini terbagi kepada dua yaitu:
a.       Ijarah yang bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga.
b.      Ijarah yang bersifat serikat yaitu, seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik dan tukang jahit.
Kedua bentuk ijarah terhadap pekerjaan ini (buruh, tukang dan pembantu), menurut para ulama fiqh hukumnya boleh.[58]
2.      Ijarah bil manfaat, yaitu sewa-menyewa yang bersifat manfaat. Ijarah yang bersifat manfaat contohnya adalah:
a.       Sewa-menyewa rumah.
b.      Sewa-menyewa toko.
c.       Sewa-menyewa kendaraan.
d.      Sewa-menyewa pakaian.
e.       Sewa-menyewa perhiasan dan lain-lain.
Apabila manfaat dalam penyewaan sesuatu barang merupakan manfaat yang dibolehkan syara' untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa.[59]
Dalam pembahasan lain, menurut ketentuan fiqh muamalah, ijarah dibagi kepada 3 macam yaitu:
1).    Sewa-menyewa tanah
Melihat betapa pentingnya keberadaan tanah, Islam sebagai agama yang luwes membolehkan persewaan tanah dengan prinsip kemaslahatan dan tidak merugikan para pihak, artinya antara penyewa yang menyewakan sama-sama diuntungkan dengan adanya persewaan tersebut. Sebagai agama yang mencintai perdamaian dan persatuan, Islam mengatur berbagai hal mengenai persewaan tanah agar terhindar dari kesalahpahaman dan perselisihan di antara para pihak yang melakukan perjanjian sewa-menyewa.
Dalam suatu perjanjian persewaan tanah, haruslah disebutkan secara jelas tujuan persewaan tanah tersebut, apakah untuk pertanian, mendirikan tempat tinggal atau mendirikan bangunan lainnya yang dikehendaki penyewa.
Bila persewaan tanah dimaksudkan untuk pertanian, maka penyewa harus menyebutkan jenis tanaman yang akan ditanaminya kecuali pemilik tanah memberikan kebebasan kepada penyewa untuk menanam sesuai dengan yang diinginkannya. Menurut Sayyid Sabiq, jika syarat yang tersebut di atas tidak terpenuhi, maka rusaklah sewa-menyewa tersebut, karena pada dasarnya kegunaan tanah sangatlah beragam.[60]
Dengan tidak jelasnya penggunaan tanah dalam perjanjian dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada hakikatnya akan menimbulkan persengketaan antara kedua pihak. Di samping itu penyebutan jenis tanaman yang akan ditanam akan berpengaruh terhadap waktu sewa dan dengan sendirinya berpengaruh pula terhadap jumlah uang sewa.
2).    Sewa-menyewa binatang
Dalam perjanjian sewa-menyewa binatang, hendaklah disebutkan dengan jelas jangka waktu penyewaan, kegunaan atau tujuan penyewaan, apakah untuk alat pengangkutan atau untuk kepentingan lainnya.
Sebagaimana halnya dengan persewaan lainnya maka persewaan binatang juga mengandung resiko. Resiko dalam persewaan binatang adalah terjadinya kecelakaan atau matinya binatang sewaan. Bila binatang sewaan sejak awal sudah mempunyai cacat atau aib kemudian mati ketika dalam tanggungan penyewa maka persewaan menjadi batal. Tetapi bila binatang tersebut tidak cacat kemudian terjadi kecelakaan dan mati ketika berada dalam tanggungan penyewa maka persewaan itu tidak batal dan orang yang menyewakan wajib menggantinya.[61]
3).    Sewa-menyewa toko dan rumah
Toko merupakan tempat seseorang menjalankan usahanya dengan cara berdagang. Tidak semua orang bisa mempunyai toko pribadi, tetapi bila seseorang berkeinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan cara berdagang. Islam memberikan kemudahan dengan membolehkan persewaan toko atau rumah untuk dijadikan tempat usaha atau sebagai tempat tinggal.
Ulama fiqh yang sangat populer pembahasannya tentang persewaan toko dan rumah adalah ulama Hanafiyah. Mereka memasukkan persewaan toko dan rumah ke dalam pembahasan barang-barang yang sah disewakan, di samping persewaan tanah, binatang, tenaga manusia dan pakaian. Menurut beliau toko-toko dan rumah-rumah boleh disewakan tanpa disertai dengan penjelasan tentang tujuan penyewaan.[62]
Berdasarkan pendapat ulama Hanafiyah tersebut di atas dapat dipahami, bahwa penyewa mempunyai kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang dikehendakinya dalam batas-batas yang wajar, artinya tidak mengakibatkan kerusakan pada bangunan yang disewa. Namun wajib menggantikannya apabila terjadi kerusakan terhadap rumah atau toko yang dikhususkan untuk didiami namun dipergunakan untuk kepentingan lain.
Pada dasarnya Islam membolehkan persewaan berbagai barang yang mempunyai manfaat dan memberikan keuntungan kepada manusia. Islam hanya memberikan batasan-batasan agar terciptanya kerja sama yang baik antar berbagai pihak dan terlaksananya prinsip sewa-menyewa itu sendiri yaitu "keadilan" dan "kemurahan hati", sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 90:
إن الله يأمر بالعدل والإحسان... {النحل: 90}

Artinya:  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan... (QS. An-Nahl: 90)
Selain itu, tidak saling menzalimi antara kedua belah pihak (penyewa dan yang menyewakan), sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 279:
...لا تظلمون ولا تظلمون .{البقراة : 279}

Artinya: ...Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) teraniaya. (QS. Al-Baqarah: 279)
Berlaku adil dan berbuat kebajikan menjadi kewajiban setiap muslim dalam segala aktivitas kehidupan, begitu pula dengan perintah Allah untuk tidak saling menyakiti dan menganiaya orang lain. Dalam hubungannya dengan sewa-menyewa merupakan  suatu bentuk transaksi bisnis yang melibatkan banyak pihak, sehingga dituntut untuk berlaku adil dan saling menghormati.



[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Al-Qu’an, 1983), hlm. 148.

[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, Cet. VIII, (Terj. Kamaruddin A. Marzuki dkk.), (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 139.

[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002), hlm. 105.
[4] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 86-87.

[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 187.
[6] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1998), hlm. 153.
[7] Jamaluddin Muhammad Ibnu Mandhur, Lisan al-Araby, Jilid XIII, (Beirut: Dar al-Shadri, t.t.), hlm. 188.

[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 106.

                [9] Ibid., hlm. 106.
[10] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, (Bandung: Al-Ma‘arif, 1983), hlm. 50.

[11] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 139.
[12]Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid III, (Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly), (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 98.
[13] Ibid., hlm. 99.

[14] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Sha’bi, t.t.), hlm. 132.

[15] M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, Cet. I, (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003), hlm. 52.

[16] Ibid., hlm. 52.
[17] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 254. 

[18] M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah , hlm. 53.
[19] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 254.

[20] Ibid., hlm. 255.

[21] Ibid.
[22] Ibid.                                                                                                     
[23] Muslim Ibrahim Abdurrauf, Nadhariyah al-‘Iqalah fi al-Fiqh al-Mukarran, (Mesir: Jamia’ah al-Azhar, 1983), hlm. 328-329.
[24] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, hlm. 53.

[25] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 178.

[26] Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 182.             
[27] Ibid.
[28]Ibid., hlm. 221-222.
[29] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm 55.
[30] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid III, (Semarang: Asy-Syifa, 1996), hlm. 272.

[31] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 257.

[32] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, hlm. 78.
[33] Khalil Umam, Agama Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994), hlm. 19.

[34] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 15.

[35] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 228.
[36] Helmi Karim, Fiqh Mu'amalah, (Bandung: Al-Ma'arif, 1997), hlm. 73.

[37] Al-Kasani, Al-Bada'i ash-Shana'i, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 174.
[38]Asy-Syarbaini al-Khathib, Mughniy al-Muhtaj, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), hlm. 233.
[39] Ibnu Qudamah, Al- Mughniy, Jilid V, (Mesir: Riyadh al-Haditsah, t.t.), hlm. 398.
[40] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian Islam, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 92.

[41] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hlm. 67.
[42] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, hlm. 332.
[43] Imam Nasaiy, Sunan Nasaiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 271.

[44] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Kairo: Darul Fikri, t.t.), hlm. 87.
[45] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 18.
[46]Ibid., hlm. 19.

[47] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 231.

[48] Abdul Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 100.
[49] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 19.

[50] Ibid.

[51] Ibid., hlm. 101.

[52] Abdul Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, Juz III, hlm. 101.
[53] Salem Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, (Surabaya: Bina Ilmu, 1989), hlm. 361.
[54] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 20.

[55] Syekh Muhammad bin Qasim Asy-Syafi'i, Fath al-Qarib, (Terj. Imran Abu Umar), Jilid I, (Surabaya: Menara Kudus, 1992), hlm. 298.
[56] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Islam, hlm. 3.
[57] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 759-761.
[58] Ibid.

[59] Ibid.
[60] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 30.
[61]  Ibid.

[62] Abdul Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, Juz III, hlm. 129.

1 komentar:

  1. mohon maaf ana skilas mncritakan,,,,,
    assalam ustad
    dikampung saya ada sebuah akad gadai dengan sistem matean atau istilah bahasa indonesianya “mati”
    contohnya: si A =punya sawah dan si B= pemberi pinjaman
    si A lagi butuh uang untuk keperluan sesuatu dan menggadaikan sawahnya kepada si B dengan jumlah uang tunai sbsar 30 juta. dan si A menerima uang dan si B menerima sawah untuk digarap, tetapi dalam akad gadai tersebut si A mempunyai syarat untuk si B yaitu syarat “matean” artinya si A mensyaratkan si B menggararap sawahnya dengan syarat si B membayar setiap tahunya sebanyak 2 juta rupiah,,dan kesepakatanpun terjadi.
    keuntungan adanya sistem “matean” untuk:
    si A adalah mendapatkan uang tunai setiap tahunnya dari si penggarap sawahnya sebesar 2 juta sehinggga mengurangi beban pengembaalian pinjaman dari si B
    sedangkan si B adalah dapat menggarap sawah si A sebebas mungkin keuntungan dan kerugian sudah menjadi tanggungan penggarap atau si B
    JADI, yang menjadi pertanyaanya disini adalah bagaimana hukum gadai sawah tersebut, dan bagaimana sebaiknya dilakukan?
    mohon jawabannya asaalam…wr…wb….

    BalasHapus