1.1. Pengertian, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Gadai
1.1.1 Pengertian gadai
Gadai dalam perspektif Islam disebut dengan istilah rahn. Secara bahasa rahn (gadai) bermakna ketetapan dan kelanggengan, disebut juga dengan al-habsu yang artinya menahan.[1] Sedangkan menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan rahn (gadai) adalah:
a. Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[2]
b. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas utang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.[3]
c. Akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.[4]
d. Menjadikan harta sebagai harta benda sebagai jaminan atas utang.[5]
e. Suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang. [6]
f. Menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[7]
Gadai menurut ulama Syafi’iyah yaitu menjadikan sesuatu (harta) pegangan (jaminan) bagi sesuatu utang yang boleh digunakan untuk melunasi jika pengutang gagal melunasinya. Sedangkan definisi gadai menurut ulama Maliki adalah sesuatu barang yang bernilai yang diambil dari pemiliknya sebagai pegangan atau jaminan bagi sesuatu utang yang lazim yaitu suatu akad yang membolehkan memegang harta seperti harta tak alih, binatang, barang dagangan, atau manfaat (yang boleh diambil tempo atau pekerjaan) mengaitkan dengan utang. Ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa gadai merupakan harta yang dijadikan pegangan bagi sesuatu utang, dan dengan itu ia boleh digunakan untuk membayar jika pengutang gagal membayar utangnya.[8] Sedangkan menurut Imam Ibnu Qudamah, salah seorang pakar fiqh mazhab Hanbali, menyatakan rahn (gadai) adalah sesuatu benda yang dapat dijadikan kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.[9]
1.1.2. Dasar hukum gadai
Pada dasarnya gadai menurut Islam, hukumnya adalah boleh (jaiz). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi:
ﻮﺇﻦ ﻛﻧﺘﻡ ﻋﻟﻰ ﺴﻔﺮ ﻮﻟﻢ ﺗﺟﺩﻮﺍ ﻜﺍﺘﺑﺍ ﻔﺮﻫﺍﻦ ﻤﻗﺑﻮﻀﺔ ﻔﺈﻦ ﺃﻤﻦ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﺑﻌﻀﺍ ﻓﻠﻴؤﺩ ﺍﻠﻨﻱ ﺍﺅﺘﻤﻦ ﺃﻤﺍﻨﺘﻪ ﻮ ﻟﻴﺘﻖ ﺍﷲ ﺮﺑﻪ..... ﴿ﺍﻟﺑﻗﺮﺓ : ٢٨٣﴾
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya…... (QAl- Baqarah : 283).[10]
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa bagi yang memberi utang dan yang berutang dalam bepergian dan tidak mendapatkan juru tulis (notaris), maka untuk memudahkan jalannya muamalah ini yang disertai dengan adanya jaminan kepercayaan, dalam hal ini Islam memberikan keringanan dalam melakukan transaksi lisan dan juga harus menyerahkan barang tanggungan kepada yang memberi utang sebagai jaminan bagi utang tersebut. Barang jaminan tersebut harus dipelihara dengan sempurna oleh pemberi utang. Dalam hal ini orang yang berutang adalah memegang amanat berupa utang sedangkan yang berpiutang memegang amanat yaitu barang jaminan. Maka kedua-duanya harus menunaikan amanat masing-masing sebagai tanda taqwa kepada Allah SWT.
Sedangkan kebolehan gadai berdasarkan hadist yaitu berpegang pada hadist Nab saw:
ﻋﻦ ﻋﺍﺀﺸﺔ ﺮﻀﻰﺍﷲ ﻋﻧﻬﺍ ﺍﻦ ﻨﺑﻲ ﺼﻠﻰﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻟﻡ ﺍﺸﺘﺭﻱ ﻤﻦ ﻴﻬﻮﺪﻱ ﻄﻌﺎﻤﺍ ﻮﺭﻫﻧﻪ ﺪﺭﻋﻪ. (ﺮﻭﺍﻩ ﺍﻠﺒﺧﺎﺭﻱ)[11]
Artinya: “Dari Aisyah ra, bahwa Nabi Saw pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan ia menggadaikan baju besinya.”( HR. Bukhari )
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bermuamalah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada kekhawatiran bagi yang memberi pinjaman.[12] Sedangkan kebolehan gadai yang terakhir yaitu berdasarkan ijma’ yang menyatakan bahwa gadai hukumnya boleh dan tidak pernah mempertentangkan tentang hukum mubah gadai dan landasan hukumnya. Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, Tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyari’atkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[13]
Mayoritas ulama berpendapat bahwa syarat tersebut diberlakukan bagi orang yang tidak bepergian dan bepergian, dengan dalil perbuatan Rasulullah Saw terhadap orang Yahudi tersebut yang berada di Madinah. Jika bepergian, sebagaimana dikaitkan pada ayat di atas.[14]
2.1.3. Rukun dan syarat gadai
Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’ (pakar fiqh Yordania asal Syiria) adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad.[15] Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu
a. Shigat (lafadz ijab dan qabul)
b. Orang yang berakad (rahin dan murtahin)
c. Harta yang dijadikan marhun, dan
d. Utang (marhum bih).
Ulama Hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut mereka, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn, bukan rukunnya.[16]
Sedangkan syarat rahn, ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu:
a. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Ulama Hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik dan buruk) boleh melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya[17]. Menurut Hendi Suhendi (salah seorang pakar dalam bidang fiqh muamalah) menyatakan bahwa, syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, artinya mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan yang berkaitan dengan gadai.[18]
b. Syarat sight (lafadz). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang, karena akad rahn itu sama dengan akad jual-beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang 1 bulan, mensyaratkan marhun itu boleh murtahin manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh tersebut, termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu misalnya, untuk sahnya rahn itu, pihak murtahin minta agar akad itu disaksikan oleh 2 orang saksi, sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu jatuh tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.[19] Sedangkan Hendi Suhendi menambahkan, dalam akad dapat dilakukan dengan lafadz, seperti penggadai rahin berkata; ‘Aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp 10.000’ dan murtahin menjawab; ‘Aku terima gadai mejamu seharga Rp 10.000’. Namun, dapat pula dilakukan seperti: dengan surat, isyarat atau lainnya yang tidak bertentangan dengan akad rahn.[20]
c. Syarat marhun bih, adalah: pertama, merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin. Kedua, marhun bih boleh dilunasi dengan marhun itu dan yang ketiga, marhun bih itu jelas/ tetap dan tertentu.[21]
d. Syarat marhun, menurut pakar fiqh, jenis barang yang dijadikan agunan adalah: pertama, barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang. Kedua, barang jaminan itu dinilai harta dan boleh dimanfaatkan. Karena khamar tidak boleh dijadikan barang jaminan dan khamar tidak termasuk ke dalam harta bernilai, juga tidak bermanfaat dalam Islam, maka khamar tidak sah bila dijadikan barang jaminan. Ketiga, barang jaminan itu jelas. Keempat, agunan itu milik sah orang yang berutang. Kelima, barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain. Keenam, barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat dan ketujuh, barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.[22]
2.2. Hak dan Kewajiban Pihak yang Beraqad serta Biaya Pemeliharaan Barang Gadai
2.2.1. Hak dan kewajiban pihak yang beraqad
Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Adapun hak dan kewajibannya adalah sebagai berikut:
2.2.1.1. Hak dan kewajiban murtahin
1). Hak pemegang gadai
a). Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedangkan hasil penjualan marhun tersebut diambil sebagian untuk melunasi marhun bih dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
b). Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
c). Selama marhun bih belum dilunasi, maka murtahin berhak untuk menahan marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak retentie).
2). Kewajiban pemegang gadai
a). Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun, apabila hal itu atas kelalainnya.
b). Pemegang gadai tidak dibolehkan menggunakan marhun untuk kepentingan sendiri
c). Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada rahin sebelum diadakan pelelangan marhun.
2.2.1.2. Hak dan kewajiban rahin
1). Hak pemberi gadai
a). Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun bih;
b). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya marhun, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin.
c). Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan marhun setelah dikurangi biaya pelunasan marhun bih, dan biaya lainnya.
d). Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas menyalahgunakan marhun.
2). Kewajiban pemberi gadai
a). Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimannya dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang telah ditentukan murtahin;
b). Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhun bih kepada murtahin.[23]
2.2.2. Biaya pemeliharaan barang gadai
Para fuqaha sepakat mengatakan bahwa segala perbelanjaan atau biaya yang dikeluarkan untuk perkara-perkara yang berhubungan dengan gadaian ditanggung oleh pemilik barang jaminan (penggadai), karena syara’ telah menetapkan segala untung rugi menjadi tanggungan penggadai. Hal ini berdasarkan sabda nabi yang berbunyi:
ﻋﻥﺃﺑﻰﻫﺭﻳﺭﺓ ﺃﻥ ﺭﺴﻭﻝﺍﷲ ﺻﻟﻰﺍﷲﻋﻟﻳﻪ ﻭﺴﻟﻡ ﻗﺍﻝ:ﻻﻳﻐﻟﻖ ﺍﻟﺭﻫﻦ ﻣﻦ ﺻﺍﺣﺑﻪ ﺍﻟﺫﻯ ﺭﻫﻧﻪ ﻟﻪ ﻏﻨﻣﻪ ﻭﻋﻟﻴﻪ ﻏﺭﻣﻪ. (ﺭﻭﺍﮦﺍﺒﻦﻤﺎﺠﻪ)[24]
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda: gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala nya (kerusakan dan biaya)”. (HR. Ibnu Majah).
Bagaimanapun mereka tidak sependapat mengenai jenis perbelanjaan yang mesti ditanggung oleh rahin. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tagihan perbenlanjaan yang mesti ditanggung oleh rahin, sebagai pemilik barang gadai dan oleh murtahin sebagai orang yang bertanggungjawab menjaganya adalah sebagai berikut: segala perbelanjaan yang diperlukan untuk kepentingan barang gadai hendaklah ditanggung oleh rahin, karena barang tersebut hak-milliknya dan segala perbelanjaan untuk memelihara barang gadaian hendaklah ditanggung oleh pegadai (murtahin), karena ia yang berhak memegangnya maka ia terikat dengan perkara-perkara yang berkaitan.
Dalam hal ini penggadai (rahin) bertanggungjawab untuk menyediakan atau membayar biaya makanan, minuman dan pengembala jika barang jaminannya berupa binatang ternak dan juga bertanggungjawab atau membayar biaya penyiraman, pembersihan, perparitan dan cukai jika barang jaminan berupa tanah karena semua itu merupakan biaya dan perbelanjaan harta yang mesti ditanggung oleh pemilik barang.
Pegadai juga bertanggungjawab menyediakan atau membayarkan biaya upah menjaga, dan tempat pemeliharaan, seperti sewa kandang, sewa tempat simpanan karena sewa pemiliharaan barang gadaian adalah tanggung jawabnya. Berdasarkan tanggung jawab tersebut, pegadai tidak ada hak untuk mengenakan syarat dalam aqad gadaian bayaran upah mesti kepadanya untuk memelihara barang gadaian, karena tanggung jawab tersebut adalah kewajibannya. Tidak ada bayaran upah dikenakan pada perkara yang diwajibkan. Ulama Maliki, Syafi’I, dan Hanbali, (jumhur) berpendapat bahwa semua perbelanjaan dan bayaran perkara-perkara yang berkaitan barang gadaian mestilah ditanggung oleh penggadai (rahin).[25]
2.3. Pemanfaatan, Penjualan Objek Gadai serta Berakhirnya Akad Gadai
2.3.1. Pemanfaatan barang gadai
Pada dasarnya, marhun tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh rahin maupun murtahin, kecuali apabila mendapat izin masing-masing pihak yang bersangkutan. Hak murtahin terhadap marhun hanya sebatas menahan dan tidak berhak menggunakan atau mengambil hasilnya, dan selama marhun ada di tangan murtahin sebagai jaminan marhun bih, rahin tidak berhak menggunakan marhun, terkecuali apabila kedua rahin dan murtahin ada kesepakatan.[26] Adapun mengenai boleh atau tidaknya marhun diambil manfaatnya, beberapa ulama berbeda pendapat. Menurut Syafi’i dari beberapa perbedaan pendapat ulama yang tergabung dalam 4 madzhab tersebut, yaitu Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah, sebenarnya ada titik temu. Inti dari kesamaan pendapat 4 madzhab tersebut, terletak pada pemanfaatan marhun pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh syara’, namun apabila pemanfaatan marhun tersebut sudah mendapatkan izin dari, baik rahin maupun murtahin, maka pemanfaatan marhun itu diperbolehkan. Penjelasan pendapat 4 madzhab itu, tentang pemanfaatan marhun adalah sebagai berikut :[27]
Imam Syafi’i mengatakan bahwa manfaat dari marhun adalah rahin, tidak ada sesuatu pun dari marhun bagi murtahin. Menurut ulama Syafi’iyyah bahwa rahin lah, yang mempunyai hak atas manfaat marhun, meskipun marhun itu ada di bawah kekuasaan murtahin. Kekuasaan murtahin atas marhun tidak hilang, kecuali ketika mengambil manfaat atas marhun tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa yang berhak mengambil manfaat dari marhun adalah rahin tersebut, bukan murtahin, walaupun marhun berada di bawah kekuasaan murtahin. Alasan yang digunakan ulama as-Syafi’iyyah yaitu berdasarkan hadist sebelumnya yang artinya:
“Gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala nya (kerusakan dan biaya)”.[28]
Hadist tersebut menjelaskan bahwa rahin berhak mengambil manfaat dari marhun selama pihak rahin menanggung segalanya. Ulama Malikiyyah berpendapat hasil dari marhun dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya, adalah termasuk hak rahin. Hasil gadaian itu adalah bagi rahin, selama murtahin tidak mensyaratkan. Apabila murtahin mensyaratkan bahwa hasil marhun itu untuknya, maka hal itu dapat saja dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Utang disebabkan karena jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal ini dapat terjadi, seperti orang menjual barang dengan harga tangguh (tidak dibayar kontan), kemudian orang tersebut meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan utangnya, maka hal ini dibolehkan.
2. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun adalah untuknya
3. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi batal atau tidak sah.
Alasan ulama Malikiyah sama dengan alasan ulama Syafi’iyah,. Mengenai hak murtahin hanya menahan marhun yang berfungsi sebagai barang jaminan. Sedangkan apabila membolehkan murtahin mengambil manfaat dari marhun, berarti membolehkan mengambil manfaat dari barang yang bukan miliknya, sedangkan hal itu dilarang oleh syara’. Selain itu, apabila murtahin mengambil manfaat dari marhun, sedangkan marhun itu sebagai jaminan utang, maka hal ini juga tidak dibolehkan. Adapun pendapat ulama Malikiyah tersebut, menurut Syafi’i bahwa yang berhak mengambil manfaat dari marhun adalah pihak rahin, namun pihak murtahin pun dapat mengambil manfaat dari marhun itu dengan syarat yang telah disebutkan di atas.[29]
Ulama Hanabilah lebih memperhatikan marhun itu sendiri, yaitu hewan atau bukan hewan, sedangkan hewan pun dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah atau ditunggangi dan hewan yang tidak dapat diperah atau ditunggangi. Pendapat yang dikemukakan ulama Hanabillah adalah marhun ada kalanya hewan yang dapat ditunggani dan diperah, dan ada kalanya bukan hewan, maka apabila marhun berupa hewan yang dapat ditunggangi, pihak murtahin dapat mengambil manfaat marhun tersebut dengan menungganginya dan memerah susunya tanpa seizin yang menggadaikan. Adapun jika marhun itu tidak dapat ditunggangi dan diperah susunya, maka dalam hal ini dibolehkan bagi murtahin untuk mengambil manfaat marhun tersebut dengan seizin dari rahin, dengan catatan marhun itu bukan disebabkan utang.[30]
Dalam kondisi sekarang, maka akan lebih tepat apabila marhun berupa hewan itu di-qiyas-kan dengan kendaraan. Illat-nya yang disamakan adalah hewan dan kendaraan sama-sama memiliki fungsi yang dapat dinaiki. dan diperah susunya dapat di-illat-kan dengan digunakannya kendaraan itu untuk hal yang ‘menghasilkan’, dengan syarat tidak merusak kendaraan itu. Hal yang dapat dipersamakan illat-nya adalah ‘hasilnya’, yaitu apabila hewan hasilnya susu, maka kendaraan hasilnya uang. Selanjutnya syarat bagi murtahin untuk mengambil manfaat marhun yang bukan berupa hewan yaitu, adanya izin dari penggadai rahin dan adanya gadai bukan sebab mengutangkan. Sedangkan apabila marhun itu tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka barang tersebut dibagi menjadi 2 bagian:[31]
1. Apabila marhun berupa hewan, maka boleh menjadikannya sebagai khadam
2. Apabila marhun bukan hewan, seperti rumah, kebun, sawah dan sebagainya, maka tidak boleh mengambil manfaatnya.[32]
Kebolehan murtahin mengambil manfaat dari marhun yang dapat ditunggangi dan diperah ialah berdasarkan hadist Nabi yang berbunyi:
ﻋﻥﺃﺑﻰﻫﺭﻳﺭﺓ ﺮﻀﻰﺍﷲ ﻋﻧﻪ ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﺮﺴﻭﻝﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻟﻡ: ﺍﻟﻆﻬﺭ ﻳﺭﻛﺏ ﺑﻧﻔﻘﺗﻪ ﺍﺫﺍ ﻛﺍﻥ ﻣﺭﻫﻮﻧﺍ٬ ﻮﻟﺑﻥ ﺍﻟﺪﺮ ﻳﺸﺭﺏ ﺑﻨﻔﻘﺘﻪ ﺍﺫﺍ ﻛﺍﻥ ﻣﺭﻫﻮﻧﺍ٬ ﻭﻋﻟﻰ ﺍﻟﺫﻱ ﻳﺭﻛﺏ ﻭﻳﺸﺭﺏ ﺍﻟﻧﻔﻘﺔ. (ﺭﻮﺍﻩﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ)[33]
Artinya:”Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah Saw bersabda,”Punggung hewan ditunggangi sesuai dengan biayanya apabila digadaikan. Air susu hewan diminum sesuai biayanya apabila digadaikan. Bagi yang menunggang dan meminum wajib menanggung biayanya.” (HR. Bukhari)
Hadist lain yang dijadikan alasan murtahin dapat mengambil manfaat dari marhun adalah Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Hammad:
ﺇﺬﺍ ﺍﺭﺘﻬﻦ ﺸﺍﺓ ﺷﺭﺐ ﺍﻟﻤﺭﺘﻬﻦ ﻟﺑﻨﻬﺍ ﺑﻗﺪﺭﻋﺍﻓﻪ ﻓٳﻦ ﺍﺴﺘﻓﺿﻞ ﻤﻦﺍﻠﻟﺑﻦ ﺷﯾﺊ ﺑﻌﺪ ﺘﻤﻦ ﺍﻠﻌﻠﻑ ﻓﻬﻮﺮﺑﺍ. ﴿ﺮﻮﺍﮦﺤﻤﺍﺮﺍﺑﻦﺴﻼﻤﺔ﴾[34]
Artinya: “Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang menerima gadai boleh meminum susunya sesuai dengan kadar memberi makannya, apabila meminum susu itu melebihi harga memberi nafkahnya, maka termasuk riba”. (HR. Hammar bin Salamah)
Hadist tersebut membolehkan murtahin untuk memanfaatkan marhun atas seizin dari pihak rahin, dan nilai pemanfaatannya harus disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkannya untuk marhun tersebut.
Adapun alasan tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat marhun selain dari barang yang dapat ditunggangi dan diperah susunya adalah sesuai dengan hadist berikut:
ﻋﻥﺃﺑﻰﻫﺭﻳﺭﺓ ﺃﻥ ﺭﺴﻭﻝﺍﷲ ﺻﻟﻰﺍﷲﻋﻟﻳﻪ ﻭﺴﻟﻡ ﻗﺍﻝ: ﻻﻳﻐﻟﻖ ﺍﻟﺭﻫﻦ ﻣﻦ ﺻﺍﺣﺑﻪ ﺍﻟﺫﻯ ﺭﻫﻧﻪ ﻟﻪ ﻏﻨﻣﻪ ﻭﻋﻟﻴﻪ ﻏﺭﻣﻪ. (ﺭﻭﺍﮦﺍﺒﻦﻤﺎﺠﻪ)[35]
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaannya dia dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala nya” (HR. Ibnu Majah)
Alasan ketidakbolehan mengambil manfaat marhun oleh murtahin dalam Hadist tersebut, adalah sama dengan alasan yang dikemukakan Imam as-Syafi’i, Imam Maliki, dan ulama lainnya. Menurut ulama Hanafiyah tidak ada bedanya antara pemanfaatan marhun yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, maka apabila rahin memberi izin, maka murtahin sah mengambil manfaat dari marhun oleh rahin. Adapun alasan ulama Hanafiyah bahwa yang berhak mengambil manfaat dari marhun adalah sebagai berikut :[36]
Pertama, Hadist Rasulullah Saw:
ﻋﻥﺃﺑﻰﻫﺭﻳﺭﺓ ﺮﻀﻰﺍﷲ ﻋﻧﻪ ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﺮﺴﻭﻝﺍﷲ ﺼﻠﻰﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻟﻡ٬ ﺍﻟﻆﻬﺭ ﻳﺭﻛﺏ ﺑﻧﻔﻘﺗﻪ ﺍﺫﺍ ﻛﺍﻥ ﻣﺭﻫﻮﻧﺍ٬ ﻮﻟﺑﻥ ﺍﻟﺪﺮ ﻳﺸﺭﺏ ﺑﻨﻔﻘﺘﻪ ﺍﺫﺍ ﻛﺍﻥ ﻣﺭﻫﻮﻧﺍ٬ ﻭﻋﻟﻰ ﺍﻟﺫﻱ ﻳﺭﻛﺏ ﻭﻳﺸﺭﺏ ﺍﻟﻧﻔﻘﺔ. (ﺭﻮﺍﻩﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ)[37]
Artinya:”Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah Saw bersabda,”Punggung hewan ditunggangi sesuai dengan biayanya apabila digadaikan. Air susu hewan diminum sesuai biayanya apabila digadaikan. Bagi yang menunggang dan meminum wajib menanggung biayanya.” (HR. Bukhari)
Nafkah marhun itu adalah kewajiban murtahin, karena marhun tersebut berada di kekuasaan murtahin. Oleh karena yang memberi nafkah adalah murtahin, maka para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang berhak mengambil manfaat dari marhun tersebut adalah pihak murtahin.
Kedua, menggunakan alasan dengan akal. Sesuai dengan fungsinya marhun sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi murtahin, maka marhun dikuasai murtahin. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah berpendapat, yaitu apabila marhun dikuasai rahin, berarti keluar dari tangannya dan marhun menjadi tidak ada artinya. Sedangkan apabila marhun dibiarkan atau tidak dimanfaatkan murtahin, maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, apabila barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaannya. Kemudian, jika setiap saat rahin harus datang kepada murtahin untuk memelihara dan mengambil manfaatnya. Hal ini akan mendatangkan madharat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pihak rahin. Demikian pula, apabila setiap kali murtahin harus memelihara dan menyerahkan manfaat barang gadaian kepada rahin, ini pun sama madharat-nya, maka dengan demikian, murtahin yang berhak mengambil manfaat dari marhun tersebut, karena murtahin pulalah yang memelihara dan menahan barang tersebut sebagai jaminan. Pendapat ulama Hanafiyah tersebut, menunjukkan bahwa yang berhak memanfaatkan marhun adalah pihak murtahin. Hal ini disebabkan karena marhun tersebut yang telah dipelihara pihak murtahin dan ada di bawah kekuasaannya.[38]
2.3.2. Penjualan objek gadai
Upaya pelelangan barang gadai dilakukan jika nasabah atau rahin tidak dapat melunasi pinjaman sampai batas waktu yang telah ditentukan. Barang yang digadaikan adalah jaminan dari utang dan dijual ketika utangnya tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo. Apabila hasil dari penjualan barang jaminan lebih dari beban utang yang harus ditangggung oleh rahin maka kelebihan itu adalah milik rahin sebagai pemilik barang jaminan dan murtahin harus mengembalikan kepadanya sebagai hartanya. Dan apabila hutang itu tersisa karena tidak terbayar dengan harga barang yang digadaikan, maka sisa itu adalah tanggungan orang yang menggadaikan barang dan wajib baginya untuk menanggung dan melunasi sisa utang tersebut.[39]
merkur 1520 Merkur 1520 Merkur 1520 Merkur - Xn
BalasHapusmerkur 1520 메리트 카지노 주소 Merkur 1520 Merkur 1520 Merkur Classic deccasino The Merkur-15 is a double-edge safety razor which 바카라 사이트 features a longer handle,