1. Pengertian Khalwat
Menurut bahasa, kata Khalwat berasal dari bahasa Arab yaitu khulwah dari akar kata Khala – yakhulu yang berarti “sunyi” atau “sepi”. Sedangkan menurut istilah, Khalwat adalah keadaan seseorang yang menyendiri dan jauh dari pandangan orang lain. Dalam istilah ini khalwat berkonotasi positif, khalwat adalah menarik dari dari keramaian dan menyepi untuk mendekatkan dari kepada Allah. Sedangkan dalam arti negatif, khalwat berarti perbuatan berdua-duaan di tempat sunyi atau terhindar dari pandangan orang lain antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak diikat dengan hubungan perkawinan, keduanya bukan pula mahram (Al-Mahram artinya yang dilarang, sedangkan menurut istilah adalah wanita yang haram dikawini seorang laki-laki baik bersifat selamanya atau sementara). Makna khalwat yang dimaksud dalam kajian ini adalah makna yang kedua.[1]
Dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Nomor 14 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 dijelaskan bahwa, khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan mahram atau tanpa ikatan perkawinan. Akan tetapi, khlawat/mesum tidak hanya terjadi di tempat-tempat tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain, tetapi dapat juga terjadi di tengah keramaian atau di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya, dimana laki-laki dan perempuan berasyik-asyikan tanpa ikatan nikah.[2]
Di dalam buku Al Yasa’ Abu Bakar yang berjudul Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan dijelaskan bahwa: pandangan khalwat menurut fiqh adalah berada pada suatu tempat yang tertutup antara dua orang mukallaf (laki-laki dan perempuan) yang bukan muhrim sudah merupakan perbuatan pidana. Jadi berada pada tempat tertutup itulah yang merupakan unsur utama perbuatan khalwat. Lebih dari itu, perbuatan berciuman dan berpelukan atau duduk berdekatan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim sedemikian rupa, yang dilakukan di tempat umum atau di depan orang lain, juga merupakan perbuatan khalwat karena merupakan perbuatan maksiat (perbuatan yang oleh Syari’at Islam dilarang dilakukan, karena dapat membawa kepada zina).
Jadi ada dua jenis perbuatan yang dapat digolongkan dalam perbuatan khalwat, pertama berada berduaan di tempat terlindung atau tertutup, walaupun tidak melakukan sesuatu, dan kedua melakukan perbuatan yang dapat mengarah kepada zina, baik di tempat ramai atau di tempat sepi.[3]
2. Dasar Hukum Khalwat
Hukum Islam telah mengatur etika dalam pergaulan muda-mudi dengan baik. Cinta dan kasih sayang laki-laki dan perempuan adalah fitrah manusia yang merupakan karunia Allah. Untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, Islam menyediakan lembaga pernikahan. Tujuan utama agar hubungan laki-laki dan perempuan di ikat dengan tali perkawinan adalah untuk menjaga dan memurnikan garis keturunan (nasab) dari anak yang lahir dari hubungan suami istri. Kejelasan ini penting untuk melindungi masa depan anak yang dilahirkan tersebut. Larangan khalwat bertujuan untuk mencegah diri bagi perbuatan zina. Larangan ini berbeda dengan beberapa jarimah lain yang langsung kepada zat perbuatan itu sendiri, seperti larangan mencuri, minum, khamar, dan maisir. Larangan zina justru dimulai dari tindakan-tindakan yang mengarah kepada zina. Hal ini mengindikasikan betapa Islam sangat memperhatikan kemurnian nasab seorang anak manusia.[4]
Khalwat/mesum merupakan salah satu perbuatan mungkar yang dilarang oleh Islam, dan bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina yakni hubungan intim di luar perkawinan yang sah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dibentuk Qanun tentang larangan khalwat/mesum dalam penerapan Syari’at Islam secara kaffah.
Larangan khalwat adalah pencegahan dini bagi perbuatan zina, larangan ini berbeda dengan jarimah lain yang langsung kepada perbuatan itu sendiri, seperti larangan mencuri, minum khamar dan maisir. Larangan zina justru dimulai dari tindakan-tindakan yang mengarah kepada zina, hal ini mengindikasikan bahwa perbuatan zina terjadi disebabkan adanya perbuatan lain yang menjadi penyebab terjadinya zina.[5]
Islam dengan tegas melarang melakukan zina, Sementara khalwat/mesum merupakan washilah atau jalan/peluang untuk terjadinya zina, maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir, sesuai dengan qaidah Syar’iy yang artinya: “Perintah untuk tidak melakukan atau tidak melakukan sesuatu, mencakup prosesnya”.
Dari keterangan bunyi qa’idah di atas, dapat dipahami bahwa suatu perbuatan yang dapat membawa kepada perbuatan yang dilarang atau ditunjukkan itu sama, Demikian juga halnya dengan perbuatan khalwat/mesum. Karena hal itu dapat mengarah kepada perbuatan perzinaan yang telah diharamkan dalam Al-Qur’an, adapun surat yang melarang tentang zina adalah surat Al-Isra’ ayat 32:
WxÎ6y uä!$yur ( t Zpt±Ås»sù b%x. çm¯RÎ) #oTÌh9$# (#qç/tø)s? wur
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina, karena zina itu adalah seburuk-buruk jalan untuk kembali”. (QS: Al-Isra’: 32).
Dalam beberapa hadist, Nabi juga menunjukkan batas-batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. adapun salah satu hadist tentang larangan berduan yang bukan muhrim adalah sebagai berikut:
- Nabi melarang seorang perempuan berhubungan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya tanpa ditemani oleh muhrim si wanita.
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْ لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : لاَ يَخْلُوّنَّ أَحَدُكُمْ بِإِمْرَاةٍ إِلاَّ مَعَ ذَِى مَحْرَمٍ. (رواه البخاري ومسلم)[6]
Artinya: Dari ibnu Abbas RA, Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian berkhalwat (berduaan) dengan perempuan lain, kecuali disertai muhrimnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pelajaran hadist di atas adalah, seorang laki-laki haram berkhalwat dengan perempuan lain, maka dari itu jauhilah perbuatan khalwat, karena khalwat dapat membangkitkan kejahatan dan menjerumuskan ke dalam perzinaan.
- Nabi melarang khalwat dengan wanita yang sudah dipinang, meski Islam membolehkan laki-laki memandang perempuan yang dipinangnya untuk meyakinkan dan memantapkan hatinya,
عَنِ ابْنِ عُمَر َرَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : (نَهَى النَبِّى صلى الله عليه وسلم أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَْيِع بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبُ الرَجُلَ عَلىَ خَطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ َلهُ الخَاِطُب). (رواه البخاري ومسلم) [7]
Artinya: Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a: Nabi Saw melarang seseorang berusaha membatalkan persetujuan yang telah dibuat diantara sejumlah orang dengan menawarkan barang dagangannya. Dan seorang leki-laki tidak boleh meminang perempuan yang telah dipinang oleh saudaranya sesama Muslim, kecuali apabila ia meninggalkan pinangannya atau mengizinkan ia meminangnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan hadist di atas dapat di ambil satu kesimpulan bahwa, Nabi Saw melarang berkhalwat dengan seorang wanita yang sudah di pinang, meski Islam membolehkan laki-laki memandang perempuan yang di pinangnya untuk meyakinkan dan memantapkan hatinya, perbuatan itu juga biasa menjerumuskan kedalam perbuatan zina, karena zina adalah perbuatan yang sangat di benci oleh Allah SWT.
- Nabi melarang seorang laki-laki masuk ke rumah wanita yang tidak bersama muhrimnya atau orang lainnya.
عَن ْ عُْقبَةَ بْنِ عَامِرِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ : أَنّ َ رَسُوْلُ الله صلى الله صلى الله عليه وسلم قال: (إِيَّاُْكمْ وَ الدُخُوْلَ عَلىَ الِنَساءِ). فَقَاَل رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَاِر: يَا رسول الله، أفََرَأَيَْتَ الحَمْوَ؟ قَالَ : (الحَمْوُ المَوْتَ). (رواه البخاري ومسلم) [8]
Artinya: Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir r.a Rasulullah Saw bersabda , “ hati-hatilah masuk ke rumah seorang perempuan.” Bagaimana dengan Al-Hamu?” Nabi Saw, bersabda, “al-hamu (kakak ipar istri) adalah maut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan hadist di atas menjelaskan tentang antuisme Islam terhadap keselamatan masyarakat Islam menutup pintu kejahatan dan mencegah terjadinya perzinaan dan berbagai pendorongnya. Maka dari itu Nabi Saw melarang seorang laki-laki masuk kerumah wanita tanpa di temani oleh muhrimnya.
- Nabi melarang wanita bepergian tanpa ditemani muhrimnya.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَة َ رَضِى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لاَ َيِحِلُّ ِلإِمْرَأةَ تُؤْمِنُ بالله واليَوْمِ الأَخِرِ تُسَاِفرُ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَ َلْيَلَةٍ إِلاَّ مَعَ ذىِ مَحْرَمٍ عَلَيْهَا. (رواه البخاري ومسلم) [9]
Artinya: Dari Abu Hurairah Ra, beliau berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Seorang wanita yang mengaku beriman kepada Allah SWT dan hari akhir tidaklah halal bagi dirinya untuk bepergian selama perjalanan sehari semalam kecuali dengan mahramnya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan hadist di atas menunjukkan bahwa tidak boleh seorang perempuan bepergian tanpa ditemani oleh seorang muhrimnya, karena takut terjadi hal-hal yang mengakibatkan orang lain akan berbuat kejahatan kepada dirinya dan bisa terjadinya perbuatan zina.
Akan tetapi, nilai-nilai etika yang ditawarkan Islam tersebut di zaman modern ini mendapat tantangan yang serius dari budaya sekuler yang serba permisif dan pada umumnya datang dari Barat. Budaya sekuler adalah budaya yang lahir dari aliran filsafat sekularisme yang memisahkan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai duniawi. Menurut aliran ini, agama tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan dunia. Manusia bebas sebebas-bebasnya menentukan urusan dunianya, termasuk dalam hal hubungan laki-laki dan perempuan.
Dalam budaya masyarakat Barat, hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak mesti diikat dengan tali perkawinan. Seorang laki-laki dan perempuan dapat hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, bahkan sampai si perempuan melahirkan anak. Akibat dari cara berpikir seperti ini, maka di Barat berkembang berbagai pemikiran yang mendukung kebebasan sebagaimana digambarkan di atas. Gerakan emansipasi wanita adalah salah satu hasil dari cara berpikir ini.
Meski budaya Barat nyata-nyata bertentangan dengan budaya Islam, tetapi dalam kenyataan, budaya Barat ini berkembang dengan baik di negara-negara Timur yang pada umumnya religius, tak terkecuali dunia Islam. Perkembangan budaya Barat di dunia Islam juga dipengaruhi oleh sistem politik dunia Islam yang mengikut sepenuhnya kepada Barat. Dari sistem politik, kepengikutan itu akhirnya merembes kewilayah-wilayah lain, seperti wilayah sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Budaya-budaya ini juga subur dalam masyarakat Aceh kontemporer, meski masih diuntungkan bahwa masyarakat Aceh masih memiliki tradisi keagamaan yang cukup bisa diandalkan untuk menangkal budaya tersebut.
Dari batasan hadits di atas, maka dapat diketahui bahwa pembolehan Islam dalam hal kontak antara laki-laki dan perempuan sangat minimal sekali. Karena itu, istilah pacaran, tunangan, dan lain sebaginya, hendaklah ditempatkan dalam keempat batasan ini, dan bukan berarti istilah tersebut melegalkan hubungan bebas laki-laki dan perempuan.[10]
Khalwat/mesum adalah perbuatan yang dilakukan dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada terjadinya perbuatan perzinaan.
Qanun tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan sebagai upaya preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘Uqubat dalam bentuk “Uqubat Ta’zir yang dapat berupa ‘Uqubat cambuk dan ‘Uqubat denda (graramah).
Oleh karena itu, Qanun Nomor 14 Tahun 2003 menetapkan beberapa ketentuan material tentang larangan dan pencegahan khalwat tersebut. Di dalam Pasal 4 dan 5 dijelaskan bahwa, “Khalwat/mesum hukumnya haram, dan setiap orang dilarang melakukan khalwat/mesum”.[11]
3. Delik Pidana Khalwat dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003
Delik pidana adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan/Qanun atau suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
Delik pidana khalwat menurut Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum) adalah: “Perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan”. (Pasal 1 ayat (1) Qanun Nomor 14 Tahun 2003).
Di sini dapat diketahui bahwa syarat khalwat adalah dilakukan oleh dua orang mukallaf yang berlainan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), bukan suami istri dan halal menikah, (maksudnya bukan orang yang mempunyai hubungan muhrim). Dua orang tersebut dianggap melakukan khalwat kalau mereka berada pada suatu tempat tertentu yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau berpeluang pada terjadinya zina.[12]
Adapun mengenai ruang lingkup larangan khalwat/mesum sebagaimana yang dimaksud dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 dijelaskan pada Bab II Pasal 2, yaitu segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina. Di sini dapat diketahui bahwa Qanun tersebut telah mengantisipasi terjadinya perbuatan zina, dengan cara melarang segala bentuk jalan ataupun hal-hal yang dapat mengarah kepada perbuatan zina itu sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT dalam Al-Qur’an tentang dilarangnya manusia mendekati perbuatan zina.
Delik-delik tersebut merupakan serangkaian kegiatan yang dilarang dalam Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat, seperti dalam Bab III Pasal 5 disebutkan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan khalwat/mesum”. Dalam Pasal 6 juga dijelaskan pula bahwa “Setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang yang melakukan khalwat/mesum”.
Begitu juga halnya dalam bentuk pencegahan terhadap terjadinya, perbuatan khalwat/mesum tersebut dibutuhkan peran serta masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 “Setiap orang baik sendiri maupun kelompok masyarakat berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan khalwat/mesum”.[13]
4. Ketentuan ‘Uqubat (Hukuman) Terhadap Pelaku Khalwat
Hukuman dalam hukum pidana Islam disebut al-‘uqubah, yang meliputi baik hal-hal yang merugikan maupun tidak kriminal. Syari’at menekankan dipenuhinya hak-hak individu maupun masyarakat secara umum. Hukum yang memberikan kesempatan penyembuhan kepada masyarakat merupakan perkara pidana, dan kalau ia ditujukan kepada perorangan adalah hal yang merugikan.
Adapun bentuk ancaman hukuman cambuk bagi si pelaku tindak pidana khalwat/mesum dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan tindak pidana khalwat/mesum tersebut. Di samping itu hukuman cambuk akan lebih efektif dengan memberi rasa malu dan tidak menimbulkan risiko bagi keluarga. Jenis ‘Uqubat cambuk juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis ‘Uqubat lainnya seperti yang dikenal dalam KHUP sekarang ini.
Mengenai ketentuan ‘Uqubat terhadap pelaku pelanggar terhadap Qanun khalwat tersebut diatur sebagai berikut Pasal 22 berbunyi :
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 diancam dengan “Uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (Sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), dan paling sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
- Setiap orang yang melanggar ketentuan yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud Pasal 5 diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
- Pelanggar terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah jarimah ta’zir.
- Pasal 24 berbunyi: pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, ‘Uqubatnya dapat ditambah1/3 (sepertiga) dari ‘Uqubat maksimal”.
Dengan demikian terhadap pelaku yang terbukti kembali melakukan hal yang sama padahal dia sudah pernah dihukum untuk kejahatan serupa maka hukumannya dapat ditambah 1/3 lagi dari hukuman maksimal menjadi 12 kali cambuk. Begitu pula denda dapat ditambah 1/3 dari ketentuan maksimal.
Pasal 25 berbunyi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 5 dan 6 :
a. Apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘Uqubatnya jatuh kepada penanggung jawab.
b. Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘Uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘Uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang diberikan.
Dari ketentuan hukuman ini, telihat bahwa orang yang melakukan khalwat/mesum sekitarnya terbukti, dapat dijatuhi hukuman cambuk paling banyak sembilan kali, dan paling sedikit tiga kali. Hukuman ini ditambah atau ditukar dengan hukuman lain yaitu berupa denda paling banyak sepuluh juta rupiah, dan paling sedikit dua juta lima ratus ribu rupiah. Sedangkan orang yang memberikan fasilitas, membantu atau melindungi orang lain yang melakukan perbuatan mesum apabila terbukti dapat dijatuhkan hukuman paling lama enam bulan kurungan, paling sedikit dua bulan kurungan. Dikenakan denda paling banyak lima belas juta rupiah, dan paling sedikit lima juta rupiah.
Jadi berbeda dengan ‘Uqubat dalam Qanun tentang minuman keras (khamar) dan judi (maisir), ‘Uqubat di sini di samping bersifat alternatif, dapat juga bersifat kumulatif. Maksudnya di samping dijatuhi hukuman cambuk atau denda, dapat juga dijatuhi kedua-duanya sekaligus untuk perbuatan khalwat/mesum atau penjara atau denda atau kedua-duanya sekaligus. Sedangkan orang yang mengulangi kembali perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dapat dijatuhi hukuman tambahan yaitu sepertiga dari hukuman maksimal yang ditentukan dalam Pasal 22.
Perlu ditambahkan, sekiranya pelanggaran dilakukan oleh badan usaha, maka hukuman akan dikenakan kepada penanggung jawabnya, dan apabila ada hubungan dengan izin usaha yang diperolehnya, maka izin usahanya tersebut dapat dicabut sebagai hukuman administratif atas badan usaha tersebut. selanjutnya, Qanun menetapkan bahwa perbuatan pidana khalwat (perbuatan mesum) ini adalah perbuatan yang dihukum dengan jarimah Ta’zir. Dalam Pasal 23 disebutkan bahwa, denda sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) merupakan penerimaan daerah dan disetor langsung ke kas Baitul Mal.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pelaku pelanggaran terhadap Qanun khalwat akan dijatuhkan hukuman ta’zir apabila terbukti bersalah. Namun mengenai ketentuan jenis hukuman yang akan diberikan kepada terdakwa ditentukan oleh Hakim Mahkamah Syar’iah. Berdasarkan pertimbangannya dan ketentuan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang khalwat yang sedang diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, agar dapat memberikan rasa keadilan dan terciptanya kehidupan yang aman dan tenteram.
Hal ini sesuai dengan maksud pokok hukuman, yaitu: untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.
Untuk menghindari hukuman dalam hal jarimah ta’zir ini, maka sepatutnya dijauhi perbuatan-perbuatan dan pergaulan sehari-hari antara laki-laki dan perempuan, yang dapat mengarah kepada zina. Jika perbuatan demikian dilakukan, bukan hanya hukuman di dunia dan akibat lainnya langsung dirasakan, tetapi juga berakibat mendapat ganjaran Allah SWT di akhirat kelak dengan dimasukkan-Nya ke dalam neraka.
Apabila sudah merasa mampu untuk menikah dan berkeluarga segeralah berkeluarga, untuk menghindari perbuatan dosa ini. Rasulullah SAW menganjurkan setiap pemuda yang sudah mampu untuk menikah segera menikah, apabila tidak atau belum mampu maka Rasul menyuruh berpuasa, karena puasa dapat mengendalikan syahwat dari perbuatan zina.[14]
5. Khalwat Dalam Qanun No. 14 Tahun 2003
Dalam konsiderans “menimbang” antara lain disebutkan:
a. Bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain di bidang Pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat guna terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang tertib, aman, tenteram sejahtera dan adil untuk mencapai ridha Allah;
b. Bahwa khalwat/mesum termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syari’at Islam dan bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina;
Dalam penjelasan resmi, ditemukan uraian untuk menjelaskan konsiderans di atas, sebagiannya penulis kutipkan sebagai berikut:
Secara umum Syari’at Islam di bidang hukum memuat norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/bernegara dan norma hukum yang mengatur moral atau kepentingan individu yang harus ditaati oleh setiap orang. Ketaatan terhadap norma hukum yang mengatur moral sangat tergantung pada kualitas iman, taqwa dan hati nurani seseorang juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.
Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi yang bersifat definitif dari Allah dan Rasul dan sanksi yang diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan Negara. Hukum tidak berjalan bila tidak di tegakkan oleh Negara. Di sisi lain suatu Negara akan tidak tertib bila hukum tidak ditegakkan.
Khalwat/mesum adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu pada tempat yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada terjadinya perbuatan perzinaan. Islam dengan tegas melarang melakukan zina. Sementara khalwat/mesum merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya zina, maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan diancam dengan ‘uqubat ta’zir.
Dalam perkembangannya khalwat/mesum tidak hanya terjadi di tempat-tempat tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain, tetapi juga dapat terjadi di tengah keramaian atau di jalanan atau di tempat-tempat lain, seumpamanya dalam mobil atau kendaraan lainnya, di mana laki-laki dan perempuan berasyik maksyuk tanpa ikatan nikah atau hubungan mahram. Perilaku tersebut juga dapat menjurus pada terjadinya perbuatan zina.
Qanun tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan sebagai upaya primitif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan `Uqubat dalam bentuk `Uqubat Ta`zir yang dapat berupa `Uqubat cambuk dan `Uqubat denda (Gharamah).
Mengenai sistematika, qanun ini terdiri atas 10 bab dan 33 pasal sebagai berikut:
Bab 1, Ketentuan Umum, (pasal 1, 20 angka)
Bab 2, Ruang Lingkup dan Tujuan, (pasal 2-3)
Bab 3, Larangan dan Pencegahan, (pasal 4-5)
Bab 4, Peran Serta Masyarakat, (pasal 8-12)
Bab 5, Pengawasan dan Pembinaan, (pasal 13-15)
Bab 6, Penyidikan dan Penuntutan, (pasal 16-21)
Bab 7, Ketentuan Uqubat, (pasal 22-25)
Bab 8, Pelaksanaan Uqubat, (pasal 26-30)
Bab 9, Ketentuan Peralihan, (pasal 31)
Bab 10, Ketentuan Penutup, (pasal 32-33)
Mengenai isi penting, dapat penulis uraikan sebagai berikut. Dalam pasal 1 yang menjelaskan pengertian-pengertian, ditemukan uraian tentang khalwat sebagai berikut:
20. Khalwat (mesum) adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.[15]
Dari rumusan ini serta penjelasan resmi (penjelasan umum) yang telah dikutipkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa syarat khalwat adalah dilakukan oleh dua orang mukallaf yang berlainan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), bukan suami istri dan halal menikah, (maksudnya bukan orang yang mempunyai hubungan muhrim). Dua orang tersebut dianggap melakukan khalwat kalau mereka berada pada suatu tempat tertentu yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau berpeluang pada terjadinya perbuatan zina. Penjelasan umum menyatakan bahwa perbuatan maksiat di bidang seksual dan lebih dari itu perbuatan yang dapat mengarah kepada zina biasanya hanya dilakukan di tempat sepi (tertutup) yang jauh (terlindung) dari penglihatan orang lain. Tetapi tidak tertutup kemungkinan perbuatan zina tersebut juga dapat terjadi di tempat yang relatif ramai, seperti restoran, ruang tunggu hotel dan tempat rekreasi, atau di jalanan seperti dalam kendaraan (umum atau pribadi) atau tempat-tempat lain. Perbuatan khalwat di tempat ramai ini dalam istilah qanun di atas disebut “Berasyik maksyuk”.[16]
Mengenai tujuan, dalam pasal 3 disebutkan, tujuan larangan khalwat/mesum adalah:
a. Menegakkan Syari’at Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
b. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan;
c. Mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina;
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum;
e. Menutup peluang terjadinya kerusakan moral.
Untuk ini dalam penjelasan resmi dalam bagian umum seperti telah dikutip diatas, disebutkan:
Qanun tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan sebagai upaya pre-emtif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah).
Sedang dalam penjelasan pasal demi pasal, pasal 3 huruf b. Diberi penjelasan:
Yang dimaksud dengan perbuatan yang merusak kehormatan adalah setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan aib bagi si pelaku dan keluarganya.
Rumusan ini kelihatannya masih terlalu umum sehingga perlu kepada penjelasan yang lebih konkret yang mungkin nanti melalui diskusi dan uraian para pakar akan menjadi lebih jelas.
Mengenai larangan dan pencegahan, diatur sebagai berikut:
Pasal 4, Khalwat/Mesum hukumnya haram.
Pasal 5, Setiap orang dilarang melakukan khalwat/mesum.
Pasal 6, Setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang melakukan khalwat/mesum.
Pasal 7, Setiap orang baik sendiri maupun kelompok berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan khalwat/mesum.
Dari ketentuan di atas, sama seperti dalam qanun sebelumnya, pertama sekali ditetapkan bahwa hukum taklifi perbuatan khalwat adalah haram, dan baru setelah itu pelaku perbuatan khalwat dinyatakan dapat dijatuhi hukuman. Mengenai peran serta masyarakat, penyelidikan dan penuntutan, karena relatif sama dengan sebelumnya tidak diulangi lagi.
Mengenai hukuman diatur sebagai berikut:
Pasal 22 berbunyi,
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa cambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000,- (Dua juta lima ratus ribu rupiah);
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah);
(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah jarimah ta’zir.
Pasal 23 Berbunyi,
Denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dan (2) merupakan penerimaan Daerah dan disetor langsung ke Kas Baitul Mal.
Pasal 24 berbunyi,
Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana di maksud dalam pasal 22, ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal.
Pasal 25 berbunyi,
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6:
(a) Apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab.
(b) Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan.[17]
Dari ketentuan tentang hukuman ini, terlihat bahwa orang yang melakukan khalwat (perbuatan mesum) sekiranya terbukti, dapat dijatuhi hukuman cambuk paling banyak sembilan kali dan paling rendah tiga kali. Hukuman ini dapat ditambah atau ditukar dengan hukuman lain yaitu denda paling banyak sepuluh juta rupiah, paling sedikit dua juta lima ratus ribu rupiah. Sedangkan orang yang memberikan fasilitas, membantu atau melindungi orang lain yang melakukan perbuatan mesum sekiranya terbukti dapat dijatuhi hukuman paling banyak enam bulan kurungan, paling sedikit dua bulan kurungan. Atau dikenakan denda paling banyak lima belas juta rupiah, paling sedikit lima juta rupiah. Jadi berbeda dengan ‘uqubah dalam qanun tentang minuman keras dan judi, ‘uqubat di sini di samping bersifat alternatif, dapat juga bersifat kumulatif. Maksudnya, pelaku perbuatan khalwat di samping dapat dijatuhi kedua-duanya sekaligus. Sedang orang yang memberikan fasilitas untuk perbuatan khalwat dapat dijatuhi hukuman penjara atau denda, atau kedua-duanya sekaligus. Sedangkan orang yang dalam pasal 5 dan pasal 6 dapat dijatuhi hukuman tambahan yaitu sepertiga dari hukuman maksimal yang ditentukan dalam pasal 22 di atas.
Perlu ditambahkan, sekiranya pelanggaran di atas dilakukan oleh badan usaha, maka hukuman akan dikenakan kepada penanggung jawabnya, dan apabila ada hubungan dengan izin usaha yang diperolehnya, maka izin usaha tersebut dapat dicabut sebagai hukuman administratif atas badan hukum tersebut.
Selanjutnya, Qanun menetapkan bahwa perbuatan pidana khalwat (perbuatan mesum) ini adalah perbuatan ta’zir.
6. Langkah-Langkah Dalam Menangani Kasus Khalwat
Menurut ketentuan Qanun-qanun Syari’at Islam yang telah diberlakukan di Aceh, khususnya Qanun-qanun jinayah seperti yang telah dibahas sebelumnya, mekanisme penegakan Qanun Syari’at terhadap para pelanggarnya dapat dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat. Berikut akan diuraikan sepintas tentang tahapan-tahapan yang ditempuh, apabila terjadinya kasus pelanggaran Qanun jinayat yaitu:
Apabila masyarakat mengetahui terjadinya pelanggaran terhadap Qanun Khamar (minuman keras dan sejenisnya), Maisir (perjudian) dan khalwat (perbuatan mesum) maka masyarakat diharuskan untuk melapor baik secara lisan ataupun dengan tulisan kepada pejabat yang berwenang. Untuk tingkat kampung lainnya, Laporan masyarakat juga bisa di sampaikan kepada aparat keamanan (Polisi) atau aparat pengawas pelaksanaan syari’at Islam yaitu Wilayatul Hisbah (WH).
Dalam hal pelaku tertangkap tangan atau digerebek oleh masyarakat sedang melakukan perbuatan melanggar Qanun syari’at, maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang seperti Polisi dan Wilayatul Hisbah.[18]
7. Mekanisme dan Teknis Pelaksanaan Hukuman
Dalam Qanun-qanun Syari’at Islam juga telah dijelaskan mengenai teknis pelaksanaan ‘Uqubat pelaksanaan “Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan dalam melaksanakan tugasnya Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam qanun-qanun tersebut dan atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun-qanun tentang hukum formil.
Pelaksanaan ‘Uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap, penundaan pelaksanaan ‘Uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terjadi hal-hal yang membahayakan terhukum, setelah mendapatkan keterangan dokter yang berwenang.
‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk, pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter antara 0,7 cm sampai 1.00 cm, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/tidak dibelah, pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, leher, dada, dan kemaluan, kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai.
Terhukum laki-laki tercambuk dalam posisi berdiri tanpa menyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya, dan pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh hari) hari setelah yang bersangkutan melahirkan. Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.
Pelaksanaan terhadap ‘Uqubat kurungan sebagaimana dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain dari hal-hal sebagaimana yang telah diatur dalam Qanun-qanun syari’at Islam, teknis pelaksanaan ‘Uqubat cambuk juga diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur. (Pergub) Provinsi Nanggro Aceh Darussalam pada tanggal 10 Juni 2005. Dalam Peraturan Gubernur ini dijelaskan bahwa ‘Uqubat cambuk adalah sejenis hukuman badan yang dikenakan atas terhukum dengan cara mencambuk badannya.
Adapun hal-hal yang diatur mengenai teknis pelaksanaan ‘Uqubat dalam peraturan Gubernur (Pergub) sebagaimana telah diuraikan di atas adalah sebagai berikut:
- Wewenang dan Tanggung Jawab
Dalam Pasal 1 Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2005 disebutkan, bahwa pencambukan adalah petugas Wilayatul Hisbah yang di tugaskan untuk melakukan pencambukan atas terhukum. Dan pada Pasal 2 dijelaskan bahwa pelaksanaan ‘Uqubat cambuk adalah kewenangan dan tanggung jawab tersebut jaksa menuntut pencambuk, selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 3 bahwa atas permintaan jaksa, Kepada Dinas Syari’at Islam Kabupaten/kota setempat mempersiapkan pencambuk. dan atas permintaan jaksa, kepada Dinas Syari’at Islam Kabupaten/Kota mempersiapkan dokter yang akan memeriksa kesehatan terhukum sebelum dan sesudah pelaksanaan pencambukan.
- Tempat Terbuka
Berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Teknis Pelaksanaan ‘Uqubat Cambuk, ‘Uqubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka yang dapat disaksikan oleh orang banyak dengan dihadiri oleh jaksa dan dokter sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 Peraturan Gubernur (pergub) Nomor Tahun 2005 tersebut. Pelaksanaan ‘Uqubat cambuk dilaksanakan di atas alas berukuran 3x3 meter. Jarak antara terhukum dengan pencambuk antara 0,70 meter sampai 1 (satu) meter dengan posisi pencambuk berdiri di sebelah kiri terhukum. Jarak antara tempat pelaksanaan pencambukan dengan masyarakat penyaksi paling dekat 10 (sepuluh) meter.
- Prosedur Pencambukan
Dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Teknis Pelaksanaan ‘Uqubat Cambuk, dalam Pasal 5 ayat (1) di jelaskan bahwa, sebelum pelaksanaan pencambukan, terhukum diperiksa kesehatannya oleh dokter. Apabila kondisi kesehatan terhukum menuntut hasil pemeriksaan dokter tidak dapat menjalani ‘Uqubat bersangkutan dinyatakan sehat untuk menjalani ‘Uqubat cambuk. Hasil pemeriksaan dokter terhadap terhukum dituangkan dalam surat keterangan.
Apabila diperlukan, sebelum pelaksanaan pencambukan kepada terhukum dapat diberikan bimbingan rohani singkat oleh ulama atas permintaan jaksa atau terhukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6 Peraturan Gubernur (Pergub) tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 8 dan 9 dijelaskan bahwa, pencambukan hadir di tempat pencambukan dengan memakai penutup wajah yang terbuat dari kain. Sedangkan terhukum pada saat pencambukan harus menggunakan baju tipis yang menutup aurat yang telah disediakan, dan berada pada posisi berdiri tanpa menyangga bagi terhukum laki-laki, sedangkan bagi terhukum perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya. Adapun pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.
Dalam pasal-pasal berikutnya dijelaskan bahwa, setiap terhukum dicambuk oleh seorang pencambuk. Apabila pencambuk tidak sanggup menyelesaikan pekerjaannya, maka pencambuk akan dilanjutkan oleh pencambuk lainnya. Penggantian pencambuk diputuskan oleh jaksa.
Pencambukan akan dihentikan sementara, apabila:
- Terhukum terluka akibat pencambukan.
Diperintahkan oleh dokter yang bertugas berdasarkan pertimbangan medis yang telah ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.
- Terhukum melarikan diri dari tempat pencambukan sebelum hukuman cambuk selesai dilaksanakan.
Dalam hal pencambukan di tunda atau di hentikan sementara, maka terhukum dikembalikan kepada keluarganya. Terhukum atau keluarganya melaporkan keadaan kesehatan terhukum kepada jaksa secara berkala. Apabila dalam waktu satu bulan terhukum ataupun keluarganya tidak menyampaikan laporan, maka jaksa dapat meminta jaksa meminta kepolisian setempat untuk menghadirkan terhukum di hadapan jaksa.
Pencambukan yang dihentikan sementara akan dilanjutkan setelah yang bersangkutan dinyatakan sehat oleh dokter untuk menjalani ‘Uqubat cambuk. Pelanjutan pencambukan yang dihentikan sementara akan dilanjutkan setelah terhukum ditangkap dan diserahkan kepada jaksa.
Dalam hal pencambukan belum dapat dilaksanakan secara sempurna, maka alasan penundaan atau penghentian sementara harus ditulis dalam berita acara. Satu lembar salinan berita acara diserahkan kepada terhukum atau keluarganya sebagai bukti bahwa terhukum telah menjalani seluruh atau sebahagian hukuman. Selain itu. Atas permintaan jaksa, pengawalan terhukum dan pengamanan pelaksanaan ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh kepolisian resort Kabupaten/Kota, dan masing-masing instansi terkait.[19]
[1] Al Yasa’ Abu bakar, Hukum Pidana Islam di Provinsi NAD, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), hlm. 80.
[2] Sri Suyanta, Buku Pelaksanaan Panduan Syari’at Islam Untuk Remaja dan Mahasiswa. Cet, II, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2008), hlm. 279-280.
[4] Muhammad Siddiq, Problematika Qanun Khalwat Analisis Terhadap Perspektif Mahasiswa Aceh, (Banda Aceh: Aceh Justice Resource Centre (AJRC) 2009), hlm. 34-35.
[5] Sri Suyanta, Buku Pelaksanaan Panduan Syari’at Islam Untuk Remaja dan Mahasiswa, Cet II, hlm. 279-280.
[6] Imam Nawawi, Shahih Riyadhush-Shalihin Buku ke-2, Penerjemah, Team KMPC, Editor, Team Azzam, Jakarta: Pustaka Azzam, 2003, hlm. 477.
[11] Sri Suyanta, Buku Pelaksanaan Panduan Syari’at Islam Untuk Remaja dan Mahasiswa, Cet II, hlm. 282.
[12] Ibid., hlm. 284.
[13] Ibid, hlm. 286.
[14] Ibid., hlm. 286-290.
[15] Al Yasa’ Abu Bakar, Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, hlm. 273-276.
[18] Sri Suyanta, Buku Pelaksanaan Panduan Syari’at Islam Untuk Remaja dan Mahasiswa, Cet II, hlm. 291.
[19] Ibid., hlm. 297.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar